Dalil Maulid 3 – Apakah Harus dengan Puasa ?

2 min read

Pada artikel Dalil Maulid ke-1, kita telah memahami bahwa, peringatan Maulid langsung dicontohkan oleh Sayidina Muhammad Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam [1]. Dan dalam Dalil Maulid ke-2, kita juga telah paham bahwa contoh tersebut, bukan hanya untuk Nabi, tapi harus diikuti oleh kita semua sebagai umat beliau.[2]

Tetapi muncul sebuah pertanyaan bahwa kedua contoh dalam kedua dalil tersebut, semuanya dengan cara puasa. Bukan dengan cara membuat pengajian, membagi nasi kuning atau apa pun yang menjadi tradisi masyarakat yang tidak dilakukan oleh Nabi. Bagaimana menjawabnya?

Pertama, mari kita perhatikan suasana Maulid Nabi di kota Makkah pada Abad 6 dan 7 Hijriyah.

Mengutip penjelasan Syaikh Hisyam Kabbani dalam Buku Maulid dan Ziarah ke Makam Nabi[3], yang menukil salah satu karya ulama Abad ke-6 Hijriyah, Ibnu Jubayr dalam kitab Ar-Rihal dijelaskan bahwa Rumah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dibuka, dan semua orang masuk ke dalamnya untuk mendapatkan berkah. Yaitu pada hari Senin 12 Rabi’ul Awwal, karena pada hari itu dan pada bulan itu Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dilahirkan.

Kemudian Syaikh Hisyam juga mengutip dari Kitab Durrul Munadhdham karya ulama abad ke-7, Abul Abbas Al-Azafi dan puteranya Abul Qasim Al-Azafi yang mengatakan bahwa “Jamaah haji yang saleh dan para pelancong memberi kesaksian tentang hal itu. Pada hari Maulid, di Makkah, tidak ada aktifitas yang dikerjakan, dan tidak ada yang dijual atau dibeli, kecuali orang orang yang sibuk mengunjungi tempat kelahiran Nabi yang mulia. Pada hari itu, Ka’bah dibuka dan dapat dikunjungi”.

Ibnu Bathuthah juga menguatkan penjelasan di atas dengan mengatakan, “Pada setiap hari Jum’at, setelah shalat Jum’at, dan pada hari Maulid (kelahiran) Rasulullah , pintu Ka’bah dibuka oleh kepala suku Bani Syaybah, yang menjadi juru kunci Ka’bah. Pada hari Maulid, qadli (hakim) bermadzhab Syafi’i, Najmuddin Muhammad bin Umam Muhyiddin Ath Thabari membagikan makanan kepada para syarif (keturunan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam) dan semua orang Makkah”.

Dari uraian di atas kita memahami bahwa :

  1. Peringatan Maulid Nabi dilakukan oleh semua penduduk Makkah (tercatat) pada masa abad 6 – 8 hijriyah.
  2. Hal yang dilakukan untuk memperingati kelahiran Nabi adalah dengan : mengunjungi tempat kelahiran Nabi (berziarah), mengunjungi Ka’bah yang dibuka pintunya secara khusus dan membagi makanan. Jadi tidak dengan berpuasa.

Semua itu dilakukan pada masa ulama salafush shaleh yang memahami syari’at Islam.

Kedua, dalam kitab Hawl Ihtifal Bidzikrin Nabiyisy Syarif Sayid Muhammad bin Alwi Al-Maliki mengutip pendapat Al-Hafidz Jalaluddin As-Suyuthi yang menungkapkan suatu hadits riwayat Imam Baihaqi, bahwasanya Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alihi Wasallam melakukan aqiqah (syukuran kelahiran) untuk dirinya sendiri setelah beliau diutus menjadi rasul.

Imam Suyuthi menjelaskan bahwa Nabi sudah diaqiqahi oleh kakek beliau, Abdul Muthalib, dan aqiqah itu tidak perlu diulangi. Maka yang dilakukan Nabi itu adalah aqiqah (mensyukuri kelahirannya sendiri) yang ternyata oleh Allah kelahiran beliau itu aga menjadi rahmat bagi seluruh alam semesta, menjadi utusan Allah dan menjadi tauladan dalam segala perilaku.

Dari penjelasan itu dapat kita pahami dengan mudah bahwa Nabi melakukan syukuran kelahiran (Maulidan) dengan menyembelih hewan, yang berarti membagi makanan. Ini adalah contoh paling kuat tentang pelaksanaan Maulidan oleh Nabi sendiri yang dilakukan bukan dengan cara berpuasa.

Kesimpulannya :

  1. Peringatan Maulid Nabi dicontohkan oleh Nabi sendiri
  2. Perignatan Maulid Nabi harus diikuti oleh umat beliau
  3. Peringatan Maulid Nabi tidak mesti dilakukan dengan berpuasa

Untuk poin yang terakhir ini, Sayid Muhammad mengatakan bahwa masalah tata cara adalah masalah ijtihadiyah (ditentukan berdasarkan keadaan, dan lain lain agar dapat tercapai tujuan syari’at sesuai dengan kemaslahatan yang ada di suatu wilayah).

Misalnya menghafal Al-Qur’an. Semua sepakat bahwa menghafal Al-Qur’an disyari’atkan sebagai amal yang utama. Adapun tata caranya, metodenya, pengajarannya, bermacam macam sesuai dengan ijtihad (hasil pemikiran manusia). Ada yangn membuat mushaf khusus untuk hafalan, bahkan di zaman sekarang ada yang mengunakan VCD untuk menghafal Al-Qur’an. Itu sama sekali tidak ada pada masa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.

Wallahu A’lam.

 

Kertanegara, Ahad Kliwon, 11 November 2018 M / 3 Rabi’ul Awwal 1440 H

Wawan Setiawan

[1] http://www.mqnaswa.id/orang-yang-pertama-merayakan-maulid-nabi-shallallahu-alaihi-wa-sallam/

[2] http://www.mqnaswa.id/apakah-kita-harus-ikut-merayakan-peringatan-maulid-nabi-shallallahu-alaihi-wa-sallam/

[3] Syekh Hisyam Kabbani, Maulid dan Ziarah ke Makam Nabi (terj) hlm. 33

One Reply to “Dalil Maulid 3 – Apakah Harus dengan Puasa ?”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *