Sebagaimana telah dijelaskan dalam artikel sebelumnya bahwa :
- Nabi mencontohkan Peringatan Maulid ( http://www.mqnaswa.id/orang-yang-pertama-merayakan-maulid-nabi-shallallahu-alaihi-wa-sallam/ )
- Para sahabat dan umatnya mengikuti peringatan Maulid ( http://www.mqnaswa.id/apakah-kita-harus-ikut-merayakan-peringatan-maulid-nabi-shallallahu-alaihi-wa-sallam/ )
- Peringatan maulid dapat dilakukan dengan berbagai cara ( http://www.mqnaswa.id/dalil-maulid-3-apakah-harus-dengan-puasa/ )
Kemudian muncul pertanyaan, “Jika Maulid Nabi adalah Peringatan yang Benar, mengapa Makkah Madinah tidak melakukannya”? Mengapa kita tidak mendengar Peringatan Maulid Nabi di dua kota suci itu? Padahal Makkah adalah tempat kelahiran Nabi dan Madinah adalah tempat hijrah beliau hingga wafat.
Pertama, kebenaran suatu perbuatan tidak tergantung apakah itu pernah terjadi di dua kota suci atau tidak. Sebuah hadits yang sangat terkenal menceritakan ketika Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengutus sahabat Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anh ke Yaman.
Sebelum Mu’adz berangkat, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam membriefing beliau agar mampu melaksanakan tugas dengan baik.
Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bertanya, “Bagaimana cara engkau memutuskan suatu perkara?”
Mu’adz radhiyallahu ‘anh menjawab, “Berdasar kitabullah”
Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wasallam kembali bertanya, “Bagaimana jika engkau tidak menemukannya dalam kitabullah?”
Muadz radhiyallahu ‘anh menjawab, “Aku putuskan berdasar sunnah rasulullah”
Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wasallam kembali bertanya, “Bagaiman jika engkau tidak terdapat dalam sunnah rasulullah?”
Mu’adz radhiyallahu ‘anh menjawab, “Aku akan berijtihad”
Muadz bin Jabal adalah sahabat pilihan, ia tentu paham isi kitabullah dan seluruh sunnah Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, tetapi Rasulullah juga paham, bahwa setiap daerah pasti memiliki tradisi tradisi yang tidak terdapat di daerah lain.
Sangat mungkin, di Yaman terdapat banyak perkara atau kebiasaan yang tidak terdapat di kota Madinah. Banyak di antara kebiasaan/ tradisi itu adalah hal yang mulia, yang sejalan dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul. Inilah makanya Rasul bertanya jika Mu’adz menemukan sesuatu yang tidak ada dalam sunnah rasul. Ternyata Muadz memang telah memahaminya.
Muadz tidak menjawab “Akan menghilangkannya”. Karena meski tidak ada dalam sunnah Rasul bisa jadi itu sesuai dengan tujuan kitabullah dan sunnah. Jadi, jika pun peringatan Maulid Nabi di Indonesia ini tidak ada di Makkah dan Madinah tidak apa apa. Sebab peringatan Maulid Nabi sangat sejalan dengan Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Kedua, ternyata di Makkah dan Madinah pun melakukan peringatan Maulid Nabi secara meriah.
Hal ini telah paparkan pada artikel sebelumnya, menukil dari kitab kitab Ar-Rihal karya Ibnu Jubayr (Abad ke-6), kitab Durrul Munadhdham karya Abul Abbas Al-Azafi dan puteranya Abul Qasim Al-Azafi (abad ke-7), dan Kitab Ar-Rihlah karya Ibnu Bathuthoh (Abad ke-8).
Dan disini kita lengkapi dengan nukilan Syaikh Hisyam Kabbani [1] yang menggabungkan kitab Al-Jamiul Lathif Fi Fashlil Makkah Wa Ahliha karya Ibnu Muhayrah, Kitab Maulidusy Syarifil Mu’adhdham karya Ibnu Hajar al-Haitsami, dan kitab Al-I’lam bi A’lami Baytillahil Haram, dan kitab Tarikhul Khomis karta Diyarbakri (semuanya ulama abad 10 H), menggambarkan suasana Perayaan Maulid Nabi di Makkah dan Madinah sebagai berikut :
“Setiap tahun pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal, setelah shalat Isya, empat qadli (hakim) kota Makkah yang mewakili 4 madzhab, dan sekelompok besar masyarakat yang meliputi para fuqaha dan tokoh kota Makkah, para syekh, para guru, para murid zawiyah, para pemimpin dan para orang terpelajar, semua meninggalkan masjid dan berangkat bersama sama untuk berkunjung ke tempat kelahiran Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sambil membaca dzikir dan tahlil.
Rumah-rumah di sepanjang jalan dihiasi dengan lentera dan lilin yang besar. Sejumlah besar orang berkumpul di luar dan di mana mana. Semuanya mengenakan pakaian yang bagus dan membawa anak anak bersama mereka.
Setelah sampai di tempat kelahiran Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam di dalamnya diselenggarakan khotbah khusus untuk menyambut peristiwa kelahiran Nabi yang menceritakan berbagai keramat yang terjadi pada peristiwa itu. Berikutnya, do’a untuk sultan, amir Makkah, dan qadli Madzhab Syafi’i dibacakan dan semuanya berdo’a dengan khusyuk dan tawadlu’.
Beberapa saat sebelum shalat malam, seluruh rombongan kembali dari tempat kelahiran Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ke Masjidil Haram yang penuh jama’ah. Di dalam masjid, seorang khatib pertama tama membacakan tahmid dan tahlil, dan sekali lagi do’a dibacakan. Setelah itu panggilan untuk shalat malam diserukan. Setelah selesai shalat malam, jama’ah pun bubar”.
Dikatakan bahwa peristiwa seperti itu terjadi di Makkah dan Madinah sampai tahun 1917. Setelah itu, terhentilah perayaan Maulid Nabi semacam ini. Tetapi di rumah rumah masih banyak dilakukan.
Seiring perebutan kekuasaan dan menguatnya faham wahabi, amaliyah Maulid Nabi menjadi terlarang. Bahkan banyak sekali situs situs sejarah yang dihancurkan. Seperti rumah tinggal Nabi dengan Ibu Khadijah. Bahkan rumah kelahiran Nabi, tempat lahirnya junjungan seluruh alam semesta, dijadikan perpustakaan umum yang pintunya sering tertutup. Jamaah yang datang pun disuguhi larangan untuk berdo’a di tempat itu.
Wallahu A’lam
Kertanegara, Senin Legi, 11 November 2018 M / 4 Rabi’ul Awwal 1440 H
Wawan Setiawan
[1] Syekh Hisyam Kabbani, Maulid dan Ziarah ke Makam Nabi (terj)
One Reply to “Dalil Maulid 4 – Suasana Peringatan Maulid Nabi Shallallahu…”