Artikel kehidupan rumah tangga tentang hubungan pengabdian suami isteri
Bismillaahir rahmaanir rahiim
Dalam kitab ‘Uqudullujain, maqolah ini beriringan dengan hadits “Suami milik Ibunya” (Lihat postingan sebelumnya di http://www.mqnaswa.id/memahami-hadits-suami-milik-ibunya/ ). Bagi yang berpandangan letterlijk / hanya membaca terjemah atau sepintas saja pasti akan terkejut dan langsung antipati sebelum berusaha memahaminya.
Bahkan ada sekelompok wanita yang melakukan kajian, mengatakan khabar (ucapan shahabat) ini tergolong munkar dan mengkritik Syaikh Nawawi dengan kritikan yang tajam dan kurang pantas. Padahal wanita wanita peneliti itu sama sekali bukan ahli hadits/ riwayat. Alangkah beraninya jika akademisi menuduh Syaikh Nawawi Banten yang diberi gelar “Sayidu Ulama Hijaz” menulis sesuatu yang munkar dalam kitabnya.
Kita tidak akan mengikuti mereka, tapi kita pun tidak akan mengikuti paham tekstualis yang memaknai sesuatu hanya mengikuti dhahirnya saja. Kita memilih mengalihkan makna ke dalam makna lain yang lebih sesuai dan tepat, berdasarkan petunjuk para ulama.
Mari kita mulai. Kitab ‘Uqudullujain mengutip ungkapan tersebut sebagai berikut :
قَالَتْ أُمُّ الْمُؤْمِنِيْنَ عَائِشَةُ رَضِيَ اللهُ تَعَالٰى عَنْهَا : يَا مَعْشَرَ الْنِّسَاءُ لَوْ تَعْلَمْنَ بِحَقِّ أَزْوَاجِكُنَّ عَلَيْكُنَّ لَجَعَلَتِ الْمَرْأَةُ مِنْكُنَّ تَمْسَحَ الْغُبَارَ عَنْ قَدَمَىْ زَوْجِهَا بِحُرِّ وَجْهِهَا.
“Berkata ibu kaum beriman, Sayidah ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anhaa : “Wahai kaum wanita, kalau saja kalian mengetahui hak suami suami kalian atas kalian, pastilah salah seorang wanita di antara kalian mengusapkan debu dari kaki suaminya untuk wajahnya”.
Kalau zaman sekarang, gampangnya : Wanita itu menjadikan debu dari kaki suami sebagai “bedaknya”.
Bagaimana kita memahaminya?
Sebenarnya tidak telalu “mengerikan” jika kita memalingkannya makna ungkapan ini seperti makna sebuah ucapan yang sangat terkenal, yakni, “Syurga di bawah telapak kaki ibu”.
Apakah syurga benar benar di telapak kaki ibu?
Tentu tidak, (meskipun mulia) kaki ibu pun tempatnya najis dan berbagai kotoran. Masak syurga di tempatkan di tempat yang kotor?
Tentu saja, maksudnya adalah : syurga-nya seorang anak terletak pada “pengabdiannya” kepada ibu. Seberapa banyak ia berbuat baik, berbakti kepada ibu nya, seberapa mulia dan tinggi pula syurganya.
Sampai di sini kita sudah menemukan suatu titik terang akan makna ucapan di atas.
Jadi, yang dimaksud wanita mengusapkan debu kaki suami ke wajah artinya “Hiasan terbaik bagi seorang wanita adalah “pengabdian / berbuat baik/ bakti” kepada suaminya”.
Mungkin suatu waktu wajah seorang wanita tampak lusuh, mukanya tampak kotor karena baru “beres-beres” debu debu di kamar. Atau baru pulang berdagang keliling untuk membantu keuangan keluarga. Atau baru pulang dari sawah ikut kuli di masa panen. Tubuhnya kotor, wajahnya kotor dan gelap terkena lumpur dan terik matahari sepanjang siang. Tapi sebenarnya wajah itu tampak indah di mata Allah dan Rasulullah. Karena wajah itu berhias pengabdian kepada suami dan keluarganya.
Sebaliknya, mungkin ada seorang wanita, wajahnya penuh hiasan, wajahnya bersih, harum dan wangi, sangat indah dipandang mata manusia, tapi ternyata wajah itu buruk di mata Allah, karena ia banyak meninggalkan pengabdian dan melupakan kewajiban terhadap keluarganya.
Banyak kisah, orang orang yang dibuka bashirah (mata bathinnya) oleh Allah ta’ala, melihat manusia dalam wujud yang “bukan manusia”. Bagi kebanyakan orang wajah orang tersebut tampak seperti manusia yang tampan atau cantik. Tapi bagi orang yang diberi kemampuan melihat dengan mata hatinya ia tampak seperti binatang.
Saya pernah mendengar penjelasan bahwa, kelak di akhirat, wajah manusia yang dibangkitkan dari kubur disesuaikan dengan “kelakukannya dan sifatnya yang dominan”. Misalkan sifat yang dominan orang itu adalah sifat licik, maka dibangkitkanlah dia dengan wajah tampak “seperti ular”. Jika sifat yang dominan adalah serakah dibangkitkan dengan wajah -misalnya- seperti monyet dan sebagainya. wallahu A’lam.
Sedangkan wajah seorang yang beriman dan banyak beramal shaleh tampak seperti bulan purnama. Indah dan bercahaya. Meskipun di dunianya (maaf) dia berkulit hitam legam dan buruk rupa. Karena “wajah yang sebenarnya” di mata Allah adalah “wajah pengabdian”, “wajah ketaatan”, “wajah amal shaleh”. Kita jadi teringat lagi sebuah hadits yang sangat terkenal, “Sesungguhnya Allah tidak melihat wajah/ rupamu, tapi Allah melihat hatimu”.
Makna ini menguatkan para wanita agar tidak terlalu resah dengan penampilan wajahnya, apalagi sampai operasi plastik dan sebagainya. Karena yang paling indah dari penampilan sebenarnya adalah “wajah ketaatan dan wajah pengabdian”. Sebaliknya, seorang laki-laki ketika memilih calon isteri jangan hanya melihat wanita dari “penampilan di dunia nya saja”, karena bisa jadi di akhirat nanti penampilan calon isterinya itu berubah menjadi sangat buruk.
Kita teringat juga pesan rasulullah tentang kriteria untuk memilih calon isteri/suami, Rasul mengatakan, “pilihlah karena Wajahnya/ parasnya, nasabnya, kekayaannya, dan agamanya”, yang terakhir inilah kuncinya. Agama yang baik akan membuat “wajahnya” indah di dunia dan akhirat. Agama yang baik akan membuat “nasabnya” mulia dunia akhirat. Agama yang baik akan membuat “kekayaannya” kekal dunia akhirat. Isteri yang memiliki kriteria seperti inilah yang menjadi isteri terbaik di dunia dan akhirat.
Jadi kembali ke ucapan ibunda Aisyah di atas, kesimpulannya, kita memahami ungkapan “mengusapkan debu kaki suami ke wajah atau menjadikan debu kaki suami sebagai penghias wajah” maksudnya adalah “Hiasan wajah terbaik bagi seorang isteri adalah pengabdian/ ketaatan/ berbuat baik kepada suaminya”.
Sudah agak lega, tapi masih ada rasa mengganjal.
Karena sebagaimana banyak dikritik para akademisi wanita. banyak Hadits dan ungkapa dalam kitab ‘Uqudullujain ini dianggap menjadikan wanita makhluk yang “marginal” , “hanya pelengkap saja”. dan “selalu menjadi sasaran”.
Kenapa ungkapan ini hanya menyoroti wanita? Apakah ungkapan ini berlaku juga untuk laki-laki?
Apakah benar ungkapan ini tidak adil karena hanya menyoroti wanita ? Benarkah demikian?
Menurut kami tidak !. Pertama, Syaikh Nawawi hanya mengungkapkan ucapan Ibu Aisyah berdasarkan riwayat yang beliau terima. Hemat kami, sangat tidak mungkin beliau merubah ucapan Ibunda Aisyah, menguranginya atau menambahinya.
Beliau adalah akademisi ulung yang mengerti kode etik ketika mengutip ucapan seseorang. Apalagi beliau adalah ulama yang sangat paham adab, apalagi terhadap isteri Nabi. Apakah syaikh Nawawi akan berbohong atas nama Ibu Aisyah? kami yakin tidak. Jadi sekali lagi, dalam hal ini, beliau hanya mengemukakan ucapan ibu Aisyah, apa adanya.
Kedua, Syaikh Nawawi menempatkan khabar ini dalam bab Kewajiban Isteri kepada Suami. Bukankah beliau sudah tepat? Ungkapan ini diletakan pada tempat yang tepat.
Apakah ini berlaku juga untuk laki-laki/ suami ?
Perlu diingat, bahwa pusat dari pembahasan tentang pergaulan antara suami dan isteri adalah ayat :
وَعَاشِرُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
“(Wahai suami) Pergaulilah mereka (isteri) dengan cara yang baik” (QS. An-Nisa : 19).
Justru pada ayat ini, laki laki lah yang disorot (alias dianggap harusbertanggung jawab) menjaga keharmonisan pergaulan hubungan suami isteri (keluarga).
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِيْ عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
“Bagi isteri (ada hak yang harus ditunaikan suami), seperti juga Atas isteri (ada kewajiban yang harus dilakukan untuk suami) dengan cara yang baik” (QS. Al-Baqarah : 228).
Artinya suami punya hak dari isteri dan juga punya kewajiban yang harus dilakukan untuk isteri. Sebaliknya, isteri pun demikian. Keduanya saling timbal balik. Saling memberi dan menerima dengan cara yang baik. Syaikh Nawawi pun sudah mengungkapkan hal ini di awal kitab. Kalau kita memandang penjelasan dalam kitab ini secara utuh dari awal maka kita akan bisa memahami ungkapan ibu Aisyah ini dengan lebih baik.
Tegasnya, ucapan ini pun “berlaku untuk suami”. Yakni, hiasan wajah terbaik suami adalah “wajah pengabdian” kepada isteri dan keluarganya.
Seringkali, ketika pulang bekerja, di ladang, dagang, kuli atau bahkan dari kantor, wajah suami lebih kusut dibanding wajah isteri. Karena lelah atau pun masalah. Seringkali wajah suami tampak kotor karena debu dan panas dalam pekerjaannya. Tapi itulah kelak yang menjadi hiasan terindah baginya ketika dia berdiri di hadapan Allah. Dia bangga dengan debu debu yang menempel di wajahnya, karena itu berarti ia telah sungguh sungguh menunaikan amanat Allah yang di berikan kepadanya.
Wallahu A’lam.
Alhamdulillahirabbil ‘alamin
2018
Kertanegara, Kamis Kliwon, 14 Februari 2019 M / 9 Jumadil Akhir 1440 H
(Repost)
Wawan Setiawan