Kisah tentang Nabi Sulaiman ‘Alaihis salam dan Air Keabadian
Bismillaahir rahmaanir rahiim
Dalam pujian jaman old kita sering mendengar syair seperti ini :
Sholli wa sallim daaa-iman ‘ala Ahmada
Sholli wa sallim daaa-iman ‘ala Ahmada
Wal aali wal ash-haabi man qod wahhada
Wal aali wal ash-haabi man qod wahhada
Solawat salam semoga terlimpah atas ‘Ahmad senantiasa
Juga keluarga dan sahabat, yang sungguh sungguh mentauhidkanNya
Eman eman temen wong sugih ora sembahyang
Eman eman temen wong sugih ora sembahyang
Nabi Sulaiman sugih, tapi gelem sembahyang
Nabi Sulaiman sugih, tapi gelem sembahyang
Sayang sekali, orang kaya yang tidak mau mendirikan sholat
Nabi Sulaiman, orang paling kaya pun mau mendirikan sholat
Nabi Sulaiman ‘AlaihisSalam, memang bukan hanya kaya. Ia adalah penguasa terbesar pada masa hampir 1000 Tahun sebelum kelahiran Nabi Isa, atau lebih dari 1500 tahun sebelum kelahiran Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.
Ketika Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam ditawari oleh Allah untuk menjadi Nabi sekaligus Raja, Nabi Muhammad menolak, dan memilih menjadi Nabi yang Hamba saja. Menurut sebagian ahli tafsir, hal ini salah satu maknanya agar Nabi Sulaiman, tetap menjadi seorang figur Nabi sekaligus penguasa yang paling luhur sejak zaman diciptakan hingga dunia ini berakhir.
Allah memberi Nabi Sulaiman ‘AlaihisSalam kerajaan yang besar, pasukan yang kuat dari jenis manusia, binatang, dan jin. Bahkan Allah pun menundukkan angin untuk Nabi Sulaiman. Tidak ada Raja yang sehebat Nabi Sulaiman putra Nabi Dawud ‘AlaihimasSalam.
Lebih hebatnya lagi, segala kekayaan dan kekuasaan yang tidak ada bandingannya itu sama sekali tidak menjadi “himmah”, urusan terpenting baginya. Urusan yang membebani pikirannya. Malah seringkali ia memandang semua itu sebagai sumber masalah saja baginya.
Alkisah, Nabi Sulaiman ‘AlaihisSalam memiliki seekor burung kakaktua yang sangat disayanginya. Ia sering bincang bincang dengan burung itu. Dalam Al-Qur’an Nabi Sulaiman memang secara eksplisit diceritakan kisahnya berbincang bincang dengan berbagai macam hewan. Dalam suatu kunjungannya ke burung kakaktua itu, Nabi Sulaiman melihat kakaktua itu tampak sedih. Ketika ditanya oleh Sang Nabi, ternyata Burung Kakaktua itu sedang sangat merindukan kampung halamannya.
Ngomong ngomong tentang burung kakaktua, ada cerita humor yang berkaitan dengan burung kakaktua. Ada seekor kakaktua yang memiliki hafalan kosakata luar biasa banyak. Sehingga pada suat hari burung laku dilelang di Istanbul dengan harga yang fantastis.
Nasruddin Hoja (seorang sufi yang seringkali memberikan pendidikan melalui lelucon) terhenyak melihat hal ini. Keesokan harinya ia mengumpulkan masyarakat. Ia membawa ayam kalkun yang besar. Ia mengatakan akan melelang ayam kalkun itu. Ternyata masyarakat hanya mau membayar dengan harga murah.
Nasruddin meminta masyarakat memberi harga tinggi. Lebih tinggi dari harga burung kakaktua kemarin. Maka masyarakat berkata, “Kemarin burung itu sangat bagus sekali. Ia bisa berkata kata seperti manusia”.
Maka Nasruddin menjawab, “Yang ini juga sangat bagus”
Masyarakat bertanya, “Dia bisa apa?”
Nasruddin menjawab, “Dia bisa berfikir seperti manusia”
Masyarakat pun bubar. Karena burung berfikir tidak bisa ditonton. Tapi dari cerita ini kita memahami, seringkali kita bersedia membayar mahal untuk tontonan, hiburan semacam itu.
Kembali ke burung kakaktua Nabi Sulaiman.
Nabi Sulaiman mengizinkan burung itu untuk pulang menengok kampung halamannya. Dia diberi cuti 3 bulan lamanya. Karena perjalanan pulang balik dari kerajaan ke kampung halamannya memakan waktu dua bulan. Sebulan perjalanan pulang dan sebulan balik. Sebulan untuk dia menikmati kampung halamannya.
“Jika dalam 3 bulan kamu belum kembali, maka aku akan utus angin atau jin untuk menjemputmu” kata Nabi Sulaiman.
Burung itu pun berterima kasih dan menyanggupi untuk datang “dinas” tepat pada waktu yang ditentukan.
Si Kakaktua pun pulang ke negerinya. Di sana ia melewatkan waktu bersama dengan keluarga dan teman temannya. Tak terasa sudah hampir sebulan lamanya ia di kampung halaman. Memang, waktu akan berlalu sangat cepat jika kita bersama orang-orang yang kita kasihi. Tapi waktu akan berjalan sangat lambat jika kita sedang sakit gigi.
Pada saat kakaktua akan berangkat, keluarganya membekali dengan sebotol kecil air yang dinamakan “air keabadian”. Sebuah hadiah yang khusus untuk Raja agung mereka Nabi Sulaiman ‘AlaihisSalam. Kakaktua mengikatkan botol itu ke sayap kanannya dan ia pun terbang lagi menuju kerajaan.
Sesampainya di kerajaan. Di dalam balairung istana, Nabi Sulaiman menyambut kedatangan burung kakaktua itu. Dan pada kesempatan itu, burung kakaktua menyerahkan oleh oleh dari keluarganya berupa air keabadian untuk Raja yang dimuliakan.
Sang Nabi mengucapkan terima kasih atas perhatian keluarga burung itu kepadanya. Tapi untuk meminumnya ia meminta pertimbangan dari para penasehat. Ia ingin tahu apakah sebaiknya ia meminum air keabadian itu atau tidak.
Seluruh dewan penasihat yang hadir di majelis itu, dari manusia dan jin berkata, “Ya. Kami ingin Tuan meminumnya. Kami ingin Tuan mendapat umur yang panjang. Kami ingin engkau menjadi raja kami selama lamanya”.
Semuanya meminta sang Nabi meminum air keabadian itu, kecuali seekor burung hantu. Burung hantu itu berkata, “Sebelum engkau meneguk air keabadian itu, datanglah ke sebuah gua. Aku akan menunjukkannya jika engkau berkenan. Lihatlah siapa yang ada di gua itu. Setelah itu putuskanlah apakah engkau akan meminumnya atau tidak”.
Raja Sulaiman pun pergi menuju gua itu ditemani burung hantu. Sangat terkejut Nabi Sulaiman ketika masuk ke dalamnya. Di sana beliau menemukan seorang laki laki, yang sedang meratap. Meratap dengan penuh kesedihan agar Tuhan mencabut nyawanya. Mengakhiri hidupnya. Ya, lelaki itu berdo’a ingin mati.
Burung hantu itu berkata kepada Nabi Sulaiman, “Lelaki itu pernah mencicipi air keabadian. Ia tidak bisa mati. Sementara ia melihat, keluarganya satu persatu telah pergi. Bahkan dia yang menguburkan anak cucunya sendiri. Sekarang dia menyendiri di gua ini untuk mendekat pada Tuhan, agar berkenan menutup kesempatannya hidup di dunia ini.
Di sebuah kampung Kertanegara, ada syair yang biasa disenandungkan para santri Nasy’atul Wardiyah, semoga cocok untuk mengakhiri kisah ini :
Urip ning alam dunya kaya wong lelungan
Urip ning alam dunya kaya perjalanan
Pasti bakal balik ning kampung halaman
Pasti bakal balik ning kampung halaman
Hidup di dunia ini seperti orang bepergian
Hidup di dunia ini seperti sebuah perjalanan
Pasti akan pulang ke kampung halaman
Kampung halamane ngliwati kuburan
Menusa kabeane wis olih undangan
Pasti nekani laka sing ketinggalan
Pasti nekani laka sing ketinggalan
(Jalan menuju) kampung halaman kita melewati pekuburan
Semua manusia sudah mendapat undangan
Pasti akan mendatangi tanpa ada yang ketinggalan
Ayu mikir sangu aja mung dolanan
Belajar madep Gusti ora mung brinjalan
Ora duwe sangu bakal kerepotan
Ora duwe sangu bakal kerepotan
Mari kita memikirkan bekal, jangan hanya bermain main di dunia ini
Belajar menghadap Allahu jangan terus semau sendiri
Jika tidak punya bekal, pasti akan repot nanti
Belajar nglakoni sembayang wiridan
Belajar maca Qur’an wirid sholawatan
Akur dulur urip ayem tentrem aman
Akur batur urip ayem tentrem aman
Kita belajar mendirikan sholat dan wiridan
Membaca Qur’an, dzikir dan solawatan
Akur dengan saudara dan teman supaya hidup tentram dan aman
Mun wayae ngadep ning ngarsa pengeran
Sing jemput Izroil malaikat utusan
Siap mangkat ora keder belingsatan
Siap mangkat ora keder belingsatan
Jika telah tiba waktunya menghadap Tuhan
Malaikat Izrail yang datang menjemput sebagai utusan
Maka kita akan siap berangkat tanpa kebingungan dan ketakutan
Duh Gusti kula nyuwun rahmat lan ampunan
Kula tiang bodoh katah keluputan
Melu guru kula nunut lan gandulan
Gusti Nabi kula nunut lan gandulan
Ya Allah, hamba mohon rahmat dan ampunan
Hamba hanyalah orang bodoh yang banyak dosa dan kesalahan
Hamba ikut rombongan para Guru, ikut dan berpegangan
Duhai Nabi, hamba ikut padamu dan berpegangan
Wallahu A’lam
Alhamdulillaahi robbil ‘alamin
Kertanegara, Rabu Legi, 20 Februari 2019 M / 15 Jumadil Akhir 1440 H (Repost)
Wawan Setiawan