Kisah tentang hubungan batin Ahli Kubur dan keluarga yang masih hidup
Bismillaahir rahammanir rahiim
Habib (keturunan Rasulullah) yang wajahnya teduh itu tidak pernah berhenti tersenyum. Aku sendiri tidak ingat apa yang kami bicarakan, atau aku dengarkan dari lisan yang suaranya menggetarkan sampai ke hati. Namun, sepersekian detik berikutnya, betapa terkejutnya aku. Tiba tiba wajah habib itu berubah, dan kemudian aku terpana, wajah itu berubah menjada guruku, yang telah wafat.
Wajahnya nampak duka. Aku sampai terisak melihat wajah beliau (atau merasakan sesuatu yang tidak bisa dikatakan). Sampai-sampai lupa kalau aku harus menyalaminya, ayah ruhaniku, pembimbingku mengeja ayat-ayat Al-Qur’an, menemaniku dalam waktu waktu kritis dalam perjalanan hidupku, bahkan beliau sering memilih tidur di lantai ruang tamu bersamaku. Hingga aku terbangun, tidak hilang perasaan campur aduk memenuhi diriku.
Mimpi itu jelas sekali. Apakah guru kangen kepadaku? Beliau sudah wafat. Memang, sudah sangat lama aku tidak berziarah kesana. Tapi, apakah mimpi itu berarti beliau betul kangen? Apakah ahli kubur masih diberi perasaan rindu kepada orang-orang yang dicintainya?
Dalam satu kitab, terdapat sebuah riwayat seorang laki laki bernama Fadhl bin Muwafiq yang dirundung duka karena kehilangan sang Ayah. Ia berkisah bahwa, pada awalnya iaberziarah ke makam ayahnya
setiap hari. Tapi, seiring waktu berjalan, ia semakin jarang berziarah. Bahkan kemudian ia hanya berziarah “sesempatnya” saja. Pada ziarahnya yang terakhir ia menceritakan :
“Pada hari ketika aku ziarah ke sana. Aku duduk dan tertidur di dekat makam ayahku. Aku bermimpi melihat ayahku duduk di atas kuburnya, memakai kain kafannya. Aku terisak, menangis melihat wajahnya.
Lalu ia berkata, “Wahai anakku, mengapa engkau jarang menjengukku?”
Aku berkata, “ Apakah ayah mengetahui kedatanganku?”
Dia menjawab, “Setiap engkau datang berziarah, aku mengetahuinya dan aku merasa gembira dengan kedatanganmu serta do’amu”
Sejak itu Fadhl bin Muwaffiq melazimkan untuk berziarah kepada ayahnya.
Meski kualitas hadits di atas tergolong dlo’if, namun banyak sekali didukung hadits-hadits lain yang maknanya senada. Misalnya dalam sebuah riwayat, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Seseorang yang berziarah ke kuburan saudaranya, kemudian duduk di samping kuburnya, maka si mayit merasa gembira akan kedatangannya hingga dia pulang”.
Apakah ini terjadi pada masa Rasul?
Setahuku iya. Para sahabat kerap bermimpi bertemu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Misalnya sahabat Abu Bakar Ash-Shiddiq yang sangat rindu kepada beliau hingga meminta kepada Allah untuk bertemu beliau meski hanya dalam mimpi. Lebih lengkap baca di : https://www.mqnaswa.id/mimpi-abu-bakar-shiddiq-melihat-rasul-di-padang-mahsyar/
Lebih gamblang lagi dalam kisah perginya sahabat Bilal bin Rabbah selepas wafatnya Rasulullah. Dikisahkan, ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam wafat, sahabat Bilal memilih pergi ke tempat yang jauh, Syam.
Bilal tidak sanggup tinggal di Madinah. Setiap melihat apa saja, ia terkenang Sayidil Wujud, Sayidina Muhammad. Melihat mihrab, melihat tiang masjid, mimbar, bahkan melihat jalan jalan kota madinah, Bilal selalu menangis. Apalagi melihat rumah dan keluarga Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Kepergiannya ke Syam bersama keluarga tentu bisa mengurangi beban rasa semacam itu.
Tapi suatu malam Rasulullah menjumpai Bilal dalam mimpi. Tampak sekali kerinduan Rasulullah kepada muadzin terkasihnya. Beliau berkata, “Mengapa jauh sekali wahai Bilal? Kapan engkau akan mengunjungiku?”. Dan keesokan harinya Bilal segera menuju Madinah, mengunjungi tempat peristirahatan junjungan terkasihnya.
Apakah Ahli Kubur, orang-orang yang sudah wafat memiliki rasa rindu?
Entahlah, Aku segera bangun dan berazam, besok aku akan berziarah ke makam guruku.
Wallahu A’lam
Alhamdulillaahi robbil ‘aalamin
Kertanegara, Jum’at Pahing, 8 Maret 2019 M / 1 Rajab 1440 H
Wawan Setiawan