Pada artikel sebelumnya (Artikel Maulid – 1)[i] telah disampaikan bahwa memperingati Maulid Nabi benar benar dilakukan bahkan dicontohkan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Beliau melakukan puasa setiap hari Senin dengan alasan beliau dilahirkan pada hari Senin.
Tetapi muncul sebuah pertanyaan bahwa apakah itu hanya untuk Nabi yang mensyukuri kelahirannya sendiri? Atau kita umatnya juga harus turut serta bersyukur atas kelahiran beliau?
Pertama, Jika kita memerhatikan hadits tentang Nabi yang puasa hari Senin, dengan alasan “Pada hari itu aku dilahirkan”, kita dapat menemukan 2 faidah (pengertian) :
- Kita dicontohi untuk mensyukuri “hari kelahiran kita sendiri”. Alasannya, karena Nabi pun mensyukuri hari kelahirannya. Misal kita lahir pada hari Rabu, maka kita memperingatinya (misalkan dengan berpuasa) pada hari tersebut, Hal ini sudah sangat lazim di daerah kita. Namanya puasa weton (puasa hari kelahiran).
- Kita dicontohi untuk memperingati “hari kelahiran Kanjeng Nabi”. Alasannya? Karena Kanjeng Nabi mensyukuri hari kelahirannya dan kita adalah umatnya yang harus ikut bersyukur atas lahirnya beliau. Bukankah sepantasnya anak ikut bersyukur pada hari kelahiran kedua orang tuanya? Karena dengan sebab orang tua lah anak lahir ke dunia ini. Dan sebab Nabi lah kita mengenal Allah serta mengerti semua syari’at Islam.
Untuk lebih menguatkan, mari kita perhatikan penjelasan yang Kedua, dari Sayid Muhammad bin Alwi AlMaliki,[ii] menukil pendapat Al-Imam Al-Hafidz Abul Fadhl Ibnu Hajar Al-Asqalani yang berkata :
وَقَدْ ظَهَرَ لِى تَخْرِيْجُه عَلَى أَصْلٍ ثَابِتٍ, وَهُوَ مَا ثَبَتَ فِى الصَحِيْحَيْن مِنْ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدِمَ الْمَدِيْنَةَ. فَوَجَدَ الْيَهُوْدَ يَصُوْمُوْنَ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ. فَسَئَلَهُمْ. فَقَالُوْا : هُوَ يَوْمٌ أَغْرَقَ اللهُ فِيْهِ فِرْعَوْنَ وَنَجَى مُوْسَى. فَنَحْنُ نَصُوْمُهُ شُكْرًا لله تَعَالَى. فَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : نَحْنُ أَوْلَى بِمُوْسَى مِنْكُمْ.
“(Tentang penjelasan masalah Maulid ini) telah tampak bagi saya keterangan yang kuat, sebagaimana ditetapkan dalam kitab Shahih Bukhari dan Muslim, bahwasanya ketika Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam datang ke Madinah, beliau mendapati orang orang Yahudi berpuasa pada Hari ‘Asyura (10 Muharram).
Maka beliau bertanya kepada mereka (tentang puasa mereka itu). Mereka menjawab, “Hari ini (10 Muharram) adalah bertepatan dengan hari ketika Allah menenggelamkan Fir’aun dan menyelamatkan Musa. Maka kami berpuasa sebagai rasa syukur kepada Allah ta’ala.
Maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda, “Kami (Nabi dan kaum mulimin) lebih berhak –untuk bersyukur- terhadap Musa daripada kalian”.
Dari keterangan di atas diambil beberapa kesimpulan :
- Boleh (bahkan dianjurkan) melakukan suatu kebaikan (seperti puasa) sebagai wujud ungkapan rasa syukur atas karunia Allah pada hari tertentu. Dan perbuatan itu terus diulang setiap tahun, pada hari yang sama (seperti puasa setiap tanggal 10 Muharram sebagaimana kisah di atas)”.
- Nabi mensyukuri nikmat “selamatnya Nabi Musa”, dan para sahabat turut mensyukuri nikmat yang diberikan Allah kepada Nabi Musa. Padahal Kanjeng Nabi dan para sahabat bukan umatnya Nabi Musa ‘Aaihis salam. Justru Kanjeng Nabi adalah penghulu para Nabi dan – dalam satu riwayat – Nabi Musa malah meminta kepada Allah untuk jadi umat Nabi Muhammad.
Jadi, Jika Nabi Muhammad dan para sahabat saja bersyukur, memperingati, merayakan keselamatan Nabi Musa sebagai “nikmat yang agung dan harus diperhatikan”, maka bagaimana dengan “nikmat Allah berupa lahirnya Sayidina Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam untuk kita semua umatnya?.
Maka kita sepantasnya lebih bersyukur lagi, lebih memerhatikan dan merayakan peringatan atas hadirnya beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Karena kehadiran Kanjeng Nabi adalah nikmat yang sangat agung, sebagaimana firman Allah :
لَقَدْ مَنَّ اللهُ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ إِذْ بَعَثَ فِيْهِمْ رَسُوْلًا مِّنْ أَنْفُسِهِمْ …
“Sungguh Allah telah memberi nikmat karunia kepada orang beriman (kita semua), ketika Allah mengutus seorang Rasul dari golongan mereka” QS. Ali ‘Imran/3 : 164
Siapakah Rasul dari golongan mereka itu? Yang merupakan nikmat karunia dari Allah untuk kita orang beriman? Tiada lain Kanjeng Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, orang yang sangat memikirkan keadaan umatnya dan menyayangi kaum beriman (kita semua), sebagaimana dalam firman Allah ta’ala :
لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُوْلٌ مِنْ اَنْفُسِكُمْ عَزِيْزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيْصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِيْنَ رَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ
“Telah datang kepada kalian, Rasul dari golongan kalian, (sifatnya) : berat terasa olehnya beban (penderitaan) kalian, sangat menginginkan keselamatan untuk kalian, amat belas kasih dan penyayang kepada orang beriman” QS. AtTaubah/9 : 128
Kesimpulannya, kita –seluruh umat Islam tanpa terkecuali- harus ikut memperingati, merayakan kelahiran Kanjeng Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sebagai bentuk syukur kita kepada Allah ta’ala atas nikmat diutusnya beliau kepada kita dan dijadikanNya kita umat beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Lalu muncul pertanyaan, dalam dua kasus di atas (Nabi puasa hari Senin dan Puasa Asyura), kedua duanya menjelaskan hal memperingati / merayakan/ mensyukuri nikmat dengan melakukan puasa. Bukan dengan mengadakan pengajian atau bagi bagi nasi kuning dan berbagai hal yang tidak diperbuat oleh Nabi sehingga termasuk dalam bid’ah? (Bid’ah lagi,, he he,,)
Insya Allah pada artikel berikutnya. Wallahu A’lam.
Kertanegara, Sabtu Wage, 10 November 2018 M / 2 Rabi’ul Awwal 1440 H
Wawan Setiawan
[i] http://www.mqnaswa.id/orang-yang-pertama-merayakan-maulid-nabi-shallallahu-alaihi-wa-sallam/
[ii] Sayid Muhammad bin Alwi AlMaliki, Hawl Ihtifal Bidzikrin Nabiyisy Syarif
One Reply to “Dalil Maulid 2 – Apakah Kita Harus Ikut Merayakan…”