Budak yang Sesungguhnya ?

1 min read

Kisah tentang Budak dan Raja

Bismillaahir rahmaanir rahiim

Pada suatu hari seorang sultan mengadakan lawatan di dalam negeri dengan para pembantunya. Ia didampingi perdana menteri mengunjungi seantero negeri yang berada di bawah kekuasaannya. Kemana pun mereka pergi, di mana pun mereka datang, rakyat menyambur mereka dengan suka cita. Raja pun merasa gembira dengan penyambutan rakyatnya yang istimewa.

Tapi, ada seorang sufi yang sedang menjaga toko miliknya, memandang semua orang itu dan Raja dengan pandangan masygul. Ia kembali menekuri pekerjaanya. Kebetulan Raja menginginkan masuk ke dalam toko itu, semua pengawal mengikutinya, bahkan rakyat berdesakan ingin mengiringinya. Tapi si pemiliki toko tidak memberi perhatian sebagaimana diharapkan Raja. Ia melayaninya dengan biasa saja.

Hal ini sangat mengganggu ego Si Raja. Ia berkata kepada Perdana Menteri dan para pengiringnya, “Ajari orang ini tata krama, sopan santun ketika berhadapan dengan raja”.

Sebaliknya sufi itu, alih alih menjawab si Raja, ia malah berkata kepada Perdana Menteri, “Beritahukan kepada Sultan, sejak lahir di dunia ini aku baru pertama kali bertemu dengannya. Aku telah dicukupi oleh Allah dalam hidupku. Aku telah melayaninya dengan baik di rumahku sendiri. Jika ia mengharapkan aku menyanjung dengan penghormatan yang ia harapkan, sia sia harapannya. Ia bisa mengharapkan hal itu dari siapa saja, tetapi biarkanlah kesendirianku bersama Tuhanku yang Maha Agung lagi Maha Mulia”.

Ucapan sufi yang tenang dan dengan kemantapan jiwa membuat si Raja agak menyesali ucapannya. Bagaimana pun ia adalah raja yang baru saja melakukan lawatan ke seluruh negeri, dan ia baru saja menerima penghormatan luar biasa dari rakyatnya. Penghormatan yang “sederhana” terasa tidak memuaskan dirinya.

Ia berkata, “Sufi ini berbicara dengan perkataan yang benar. Ia orang yang baik, jujur dan punya pendirian. Katakan padaku apa yang bisa aku bantu. Katakan saja apa keperluanmu, aku akan memberinya padamu”.

Tapi si sufi itu hanya terdiam saja. Hingga perdana menteri mengulang pertanyaan Raja, “Hai Sufi, tidakkah engkau mendengar titah raja? Apakah yang kau minta dan perlukan? Raja akan memberimu?”

Sufi itu kembali berkata, “Apa yang bisa diberikan seorang budak terhadap orang yang merdeka. Bagaimana mungkin Raja memberi sesuatu padaku. Sedangkan budakku, adalah tuan bagi Raja?”

Ucapan ini mengejutkan si Raja, ia bertanya, “Aku seorang budak. Tuanku adalah budakmu?”

Sufi menjawab, “Ya. Budakku yang menjadi tuan anda adalah hawa nafsu. Anda menjadi tawanan bagi hawa nafsu anda, Anda mungkin terlihat seperti sorang raja, tetapi bukankah anda selalu mengikuti apa yang nafsu anda inginkan? bahkan ketika anda menawarkan kebaikan kepadaku, bukankah semata karena Tuan ingin menunjukkan bahwa Tuan adalah raja yang berkuasa?

Wallahu A’lam

Alhamdulillaahi robbil ‘aalamiin

Wallahu A’lam

Alhamdulillahi robbil ‘alamin

Kertanegara, Rabu Kliwon, 10 April 2019 M / 04 Sya’ban 1440 H

Wawan Setiawan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *