Coba anda fikirkan, humor apa yang bisa anda ciptakan dari nama Carsadi?
Orang-orang cerdas pada umumnya punya selera humor yang tinggi. Demikian kata sementara ahli. Saya meng-amini hal ini dan saya melihat ini dalam diri Gus Muwafiq.
Hari Senin pagi, pukul 10, diantar seorang teman, saya mendapat kesempatan sowan ke Perumahan Jombor baru Jogjakarta. Kediaman seorang Kiai yang lebih koncara dengan panggilan Gus Muwafik. Ternyata di sana sudah banyak tamu. Gus Muwafiq duduk dengan kaos putih, sarung putih dan peci yang agak tinggi, yang menjadi khas beliau dalam keadaan santai. Para tamu duduk di sisi sisi tembok ruangan yang tidak luas itu. Mungkin hanya 2,5 x 2,5.
Saya sendiri karena datang paling akhir duduk di sudut, agak di belakang teman yang mengantar saya itu.
Terlibatlah kami semua dalam obrolan yang gayeng. Gus Muwafiq sebenarnya sedang menjelaskan tentang “keringnya Islam” di perkotaan, “industrialisasi” dan “materialisasi” agama. Hingga peranan penting Nahdlatul ‘Ulama.Tema yang kompleks. Tapi beliau sampaikan sambil cerita cerita dari dakwah pabrik ala Jakarta sampai “Runtuhnya” Protestan di Eropa. Saya hanya sibuk mendengarkan dan sesekali ikut tertawa, karena memang beliau banyak humornya.
Ditengah pembicaraan yang serius itu, tiba-tiba, seorang lelaki nyelonong masuk, salam, langsung jalan muter ngajak salaman para tamu hingga sempat –maaf- pantatnya membelakangi Gus Muwafiq. Apalagi ruangan itu tidak luas, maka pengertia “memantati” itu denotatif hampir 90 %. Lalu terakhir dia menyalami Gus Muwafiq, itu pun sambil berdiri.
“Luar biasa” desis saya dalam hati.
Dia pasti bukan orang pernah yang mengaji adab dengan baik. Sangat tidak sopan sekali. Pertama, dia nyelonong masuk padahal di dalam sedang “ngaji”. Adabnya, tungguh reda dulu. Tampilkan muka di pintu. Dipersilahakna masuk, barulah masuk. Kedua dia menyalami para tamu terlebih dahulu, dan mengakhirkan Kiai. Adabnya tentu yang harus disalami tuan rumah dulu yang duduk lebih dekat dengan pintu, apalagi beliau seorang ulama. Ketiga, dan yang paling parah ya itu tadi, dia –sekali lagi maaf- memantati Pak Kiai. Waduuh, kalau ada Sayidina Umar di sini, sudah di tendang out ini orang. He he he,,,
Dan saya terhenyak lebih luar biasa lagi dengan orang ini. Dia langsung duduk di pinggir pak Kiai, bahkan lututnya hampir numpang di paha Kiai. Waduuuh,,, semua tamu langsung cemburu. Kita yang dari tadi duduk, “atur jarak sopan” dengan Kiai. Ini datang datang langsung ndeprok di situ. Dalam sekian detik semua diam dengan tingkat keheranan level 9.
Dengan wajah lugu, lelaki itu berkata sambil menatap wajah Gus Muwafiq, “Pak, saya ingin dagangan saya laris”
Dari tadi saya melihat wajah Gus Muwafik, wajahnya biasa saja. Bahkan sekarang beliau tersenyum rada lebar. Kalau zaman Nabi, ini seperti kisah orang Badui yang tiba tiba datang ke Masjid Nabi dengan cara yang jauh dari sopan santun. Spontan para sahabat menegur dengan keras. Tapi Nabi tetap menyapanya dengan lembut.
“Kamu dagang apa?”
“Mie ayam Pak”
“Terus maunya gimana?”
“Ya, supaya dagangan saya maju pak”
“Oo, ya tinggal didorong,,,”
Pecah, semua tertawa. Maksudnya tertawa lega. Gus Muwafiq benar benar bisa menempatkan tamunya “sebagaimana mestinya”. Kalau saya, sudah tak nasehatin dulu adab adab bertamu, adab adab salaman dan lain lain. Satu SKS kitab akhlak saya tumpahin dulu. Ini tidak. Malah beliau lanjut bertanya sambil tertawa-tawa dan menepuk nepuk paha orang itu. Seisi ruangan pun cemburuuu. Bejooo bejoo.
“Kamu namanya siapa?”
“Carsadi Pak”
“Carsadi?”
“Iya pak”
“Lha,,, pantes kamu jualannya kurang maju, wong salah. Nama kamu kan “Carsadi”, “Car” artinya mobil, “Sadi” artinya jual. Harusnya kamu jual mobil. (Car dalam Bahasa Inggris memang berarti mobil. Sedangkan dalam pengucapan lidah Jogja, “sadi” kadang diucapkan agak imalah sehingga mirip sade, dan sade artinya jual).
Semua hadirin tertawa lagi, termasuk pak Carsadi yang semakin santai dengan muka innocent-nya itu. Saya sendiri semakin kagum, humor yang pas dengan tema, tidak merendahkan, menggabungkan dua bahasa dan dibuat spontan tanpa jeda. Menurut saya ini cerdas. Karena banyak orang, pinter bikin humor model itu tapi isinya melecehkan. Misal Darman, dar artinya air, man artinya hidung. Itu humor ngaco dan tidak cerdas.
Setelah mendengar kisah perjalanan 12 tahunnya jualan mie ayam untuk menghidupi keluarga. Dari semula tinggal di Sindang Laut sampai hijrah ke Kebumen. Kini ia bercita cita agar anak perempuan sulungnya bisa masuk perguruan tinggi, Gus Muwafiq mulai tampak agak serius.
“Kamu punya isteri nggak?”
“Punya Kiai”
“Setiap malam isterimu suruh baca fatihah untuk anak-anakmu. Setiap anak difatihai 41 kali”
“Terus kamu subuh sudah bangun belum?”
“Sudah Pak”
“Sebelum shalat shubuh, kamu shalat sunnah dua rakaat. Lalu baca “subhaanallah wabihamdil subhaanallahil adhiim, astaghfirullah”.
“Berapa kali Pak?”
“Berapa saja yang ikhlas. Lalu kamu minta kepada Allah agar punya uang banyak buat kuliahin anak kamu”
“Kalau dagangan saya gak laris, bagaimana saya dapat uang Pak”
“Lho terserah Allah, Allah mau kasih uang tidak tergantung dari dagangan”
Carsadi masih agak heran. Tapi saya dapat menangkap pelajaran yang komplit dari pertemuan Carsadi dan Kiai Ahmad Muwafiq ini. Pelajaran tentang aqidah yang benar kepada Allah. Pelajaran ibadah. Pelajaran dzikir taqorrub ilallaah. Pelajaran cara mendidik anak. Pelajaran kerja keras. Komplit benar benar komplit.
“Sudah, saya doakan semoga laris dagangannya, ya”
Carsadi pun mengangguk meski masih kelihatan rada bingung. Dia merogoh kantong. Saya menebak, Carsadi akan memberi amplop sebagaimana lazimnya, sebagai ucapan terima kasih.
Kiai langsung bilang, “Sudah sudah, nggak usah”.
Carsadi pun keluar menuju ojeg yang menunggunya di jalanan depan rumah Kiai.
Saya melihat kepergiannya dengan satu kekhawatiran. Saya khawatir dia tidak hapal atau lupa ijazah dzikir tasbih malaikat yang diijazahkan Kiai tadi.
Kertanegara, Rabu Wage, 31 Oktober 2018 M / 22 Shafar 1440 H