Kisah yang menjelaskan kriteria mencintai Dunia
Bismillaahir rahmaanir rahiim
Mungkin, di antara kita masa kini mengetahui Andalusia (Spanyol) hanya pada sepak bolanya saja. Padahal tanah Andalusia (Spanyol) adalah tanah pusat peradaban dunia pada masanya. Sebut saja seorang ulama yang termasyur yang sulit dicari bandingannya. Ibnu Arabi namanya. Ibnu Arabi adalah seorang cendekiawan besar, bahkan ia mendapat julukan Syaikhul Akbar (guru terbesar).
Ketika melakukan perjalanan di Tunisia, beliau bertemu dengan nelayan yang sangat tekun beribadah. Ia juga menjalani hidup dengan cara yang sangat sederhana. Nelayan itu tinggal di sebuah gubuk yang hanya berdinding bata dilumuri lumpur. Itu pun hanya bagian bawah dindingnya. Bagian atasnya ditutup dengan anyaman bambu. Setiap hari ia melaut dengan perahunya untuk menangkap ikan. Tapi kemudian seluruh hasil tangkapannya hari itu akan ia sedekahkan kepada orang-orang miskin. Ia sendiri hanya mengambil sepotong kepala ikan untuk direbus sebagai lauk makanannya.
Nelayan itu kemudian belajar kepada Ibnu ‘Arabi, dan selang berlalunya waktu ia pun sendiri ternyata menjadi seorang Syaikh (Tuan Guru) dan memiliki murid yang banyak. Suatu ketika salah seorang murid nelayan itu akan melakukan perjalanan ke Spanyol. Maka nelayan itu meminta muridnya menemui gurunya, yakni Ibnu Arabi.
Nelayan itu berkata, “Sampaikan salam ta’dhimku, pada guru ku yang mulia. Semoga beliau selalu dalam kesentosaan. Lalu katakan padanya. Aku muridnya sangat membutuhkan nasihatnya. Aku merasa bertahun tahun perkembangan jiwaku tidak lagi mengalami kemajuan”
Maka berangkatlah murid itu ke Spanyol. Ia terlebih dahulu mencari rumah Ibnu Arabi. Ia harus mendahulukan amanat gurunya sebelum ia akan menyelesaikan urusannya.
Ketika sampai di kota tempat tinggal Ibnu ‘Arabi, segera ia menanyakan pada penduduk, di mana ia bisa bertemu dengan ulama besar itu. Orang orang menunjukan jalan yang menuju sebuah bukit kecil. Di puncak bukit kecil itu lah rumahnya.
Terkejut sekali si murid melihat rumah ibnu Arabi. Rumah itu tampak seperti istana. Sepanjang jalan menuju rumah itu ada ladang ladang yang terawat. Bahkan jalan yang membelah ladang ladang itu tampak bagus sekali.
Kumpulan domba domba, bahkan sapi yang gemuk gemuk tampak merumput di padang luas, terlihat dari jalan yang dilaluinya. Setiap bertemu orang yang sedang mengurus ladang itu, dan menanyakan siapa pemilik ladang ini? siapa pemilik kambing ini? siapa pemilik sapi ini? Ia selalu mendapat jawaban yang sama, Ibnu Arabi.
Ia sendiri kemudian bertanya tanya, bagaimana mungkin seorang sufi yang identik dengan kesederhanaan, hidup di tengah kekayaan. Bagaimana mungkin seorang yang terlihat sang materialis menjadi Syaikhul Akbar. Maha Guru para Sufi.
Sesampainya di rumah Ibnu Arabi, keterkejutannya semakin berlipat ganda. Di sana dia melihat kekayaan yang belum pernah dibayangkan, bahkan dalam mimpi mimpinya. Seluruh ruangan ditutupi dengan karpet yang indah. Bahkan pakaian para pelayan pun lebih indah dari pakaian orang orang kaya di kampungnya.
“Apa keperluan anda ?” tanya para pelayan muda itu dengan wajah tersenyum ramah.
Dengan kepala yang masih penuh tanda tanya ia menjawab, “Aku ingin bertemu Ibnu ‘Arabi”
Pelayan itu menjawab, “Tuan Syaikh sedang mengunjungi khalifah”.
Setelah menunggu sebentar, tak lama kemudian terlihatlah iring iringan mendatangi rumah itu. Bagian depan dari iring-iringan adalah tentara khalifah yang diberi tugas mengawal ibnu ‘Arabi. Kemudian terlihatlah Ibnu ‘Arabi duduk di atas kuda yang sangat bagus dengan pakaian dan sorban seperti seorang sultan.
Ketika si murid muda ini diantar menghadap kepada Ibnu Arabi, pelayan laki laki yang tampan segera membawakan mereka kopi dan kue kue. Akhirnya setelah diberi kesempatan murid ini menyampaikan pesan gurunya kepada Ibnu Arabi. Dengan harapan Ibnu Arabi memberinya nasihat.
Kini murid ini sampai pada puncak ketidakmengertiannya. Ibnu Arabi berkata, “Sampaikan kepada gurumu, masalah dirinya yang paling utama adalah ia masih terikat dengan dunia”.
Betapa “tidak terima” hatinya. Gurunya yang demikian sederhana. Hidup jauh dari kemewahan dunia. Dikatakan punya masalah dengan keterikatan dunia. Yang lebih membuat hatinya “tidak terima” tentu saja keadaan Ibnu Arabi yang demikian bertentangan dengan ucapannya sendiri.
Setelah urusannya di Spanyol selesai, ia kembali ke kampungnya dan menemui sang Guru. Ketika ia kembali dan menghadap gurunya, gurunya sangat ingin mendengar hasil perjalanannya. Apakah ia berhasil bertemu dengan Syaikhul Akbar. Dengan enggan ia menjawab bahwa ia memang telah berhasil menemuinya.
“Nah, bagaimana, apakah engkau menyampaikan pesanku ? dan apakah beliau menitipkan nasihat untukku?”
Sang murid mencoba menghindar dari menyampaikan nasihat dan teguran dari Ibnu Arabi kepada gurunya. Sebab ia merasa nasihat itu sungguh tidak pantas. Betapa berlimpahnya kemewahan Ibnu ‘Arabi dan betapa sederhananya kehidupan gurunya. Bagaimana mungkin orang seperti Ibnu Arabi member nasihat “Masalah utama gurumu adalah terikat pada dunia”. Di samping itu, ia khawatir akan membuat gurunya tersinggung dengan menyampaikan nasihat yang semacam itu.
Sang nelayan (gurunya) terus memaksanya bercerita, hingga akhirnya si murid muda ini menyampaikan juga apa yang dikatakan Ibnu ‘Arabi kepadanya. Meledaklah tangis sang nelayan mendengar teguran Ibnu Arabi kepadanya. Muridnya, terheran heran dan bertanya, bagaimana mungkin Ibnu ‘Arabi yang hidup dalam kemewahan menasihati gurunya dengan nasihat seperti itu.
“Beliau benar” kata si nelayan di sela sela tangisnya.
“Beliau sungguh sungguh tidak peduli sama sekali dengan semua yang ada padanya. Beliau tidak peduli apakah semua miliknya akan hilang seketika darinya. Hal itu sama sekali tidak mengganggu jiwanya. Sementara aku, setiap malam aku hanya menyantap kepala ikan, tapi aku sebenarnya tamak (berharap) seandainya kepala ikan itu adalah seekor ikan yang utuh”.
Wallahu A’lam.
Alhamdu lillahi robbil ‘alamin
Kertanegara, Ahad Kliwon, 24 Februari 2019 M / 19 Jumadil Akhir 1440 H (repost)
Wawan Setiawan