Karomah Wali ketika Shalat Jum’at : Di mana Tempat Itu ?

2 min read

Kisah tentang karomah sebab istiqomah duduk di shaf awal / terdepat waktu shalat jum’at

Bismillaahir rahmaanir rahiim

Kalau kita mendengar kata “Iran” di zaman now,  – mungkin – kebanyakan kita hanya mengenal satu kata “Syi’ah”. Kita tidak tahu banyak selain itu. Kita tidak tahu betapa Iran pun punya andil dalam peradaban Islam. Namun, bangunan peradaban Iran sendiri kemudian banyak yang hancur, luluh lantak  karena “perang saudara” dengan negara tetanggnya, yakni Irak pada tahun 1998. Bahkan di Irak, sampai sekarang, masih banyak bom bunuh diri yang berkeliaran, hingga memakan korban anak anak yang masih suci.

Dahulu orang mengenal Iran dengan Persia. Persia pernah menjadi sebuah kekasisaran yang sangat besar wilayah kekuasaannya. Persia pun punya hubungan dekat dengan nusantara. Persia atau Iran melahirkan banyak tokoh, cendekiawan, waliyullah (kekasih Allah). Salah satunya adalah Sahl at-Tusturi. Ia lahir di Iran dan wafat di Irak.

Sahl at-Tusturi berada di shaf awal pada shalat Jum’at. Seperti itulah biasanya. Ia selalu berusaha datang ke masjid ketika orang lain masih sibuk dengan perdagangan mereka. Maka Sahal selalu berada  di shaf awal.  Untuk menungguh shalat Jum’at didirikan, ia sudah biasa shalawat yang tak terbilang jumlahnya. Bukankah hari Jum’at memang hari yang sangat khusus. Nabi sendiri bersabda, “Barangsiapa yang banyak bershalawat kepadaku, dialah yang paling dekat denganku pada hari kiamat nanti.”

Namun pada Jum’at kali ini, di shaf terdepan itu Sahal nampak gelisah. Ia menahan buang air kecil. Mungkin karena telah lama duduk. Ia ingin buang air kecil, tapi jika keluar tentu ia harus melewati banyak orang karena masjid telah penuh dengan manusia. Lagi pula pasti sulit baginya untuk kembali ke tempat semula. Kalau berdiam lebih lama, ia takut menumpahkan najis di masjid. Ia merasa sangat bimbang.

“Kau ingin buang air kecil?” tanya seorang pemuda yang duduk di sebelahnya. Wajahnya sangat tampan, bercahaya. Tapi Sahal tidak mengenalnya.

“Ya” jawab Sahal.

Pemuda itu lalu menyelendangkan rida’ (sorban) nya ke pundak Sahal. Tiba-tiba Sahal telah berada di sebuah hutan. Di hutan itu ada kamar kecil, baknya penuh dengan air dan dilengkapi juga dengan handuk.

Di sekeliling kamar mandi tumbuh pohon-pohon kurma. Sahal lalu melepaskan hajat (buang air kecil), berwudlu dan mengeringkan tubuhnya dengan handuk. Segar sekali airnya.

“Bagaimana? Sudah?” tanya si Pemuda.

“Ya”

Pemuda itu lalu merangkul Sahal. Tiba tiba Sahal kembali berada di shafnya semula. Ia masih melihat tangan pemuda itu mengangkat rida’ dari pundahknya dan mengenakan kembali di punggungnya sendiri. Sahal merasa takjub dengan kejadian ini.

“Mimpikan aku?” kata Sahal di dalam hati. “Jika mimpi, tentu bekas buang air kecilku akan mengotori masjid ini. Bahkan kesegaran wudlunya pun masih terasa” gumam Sahal.

Ia lalu memandang pemuda yang kini sedang memejamkan mata dengan penuh tanda tanya. Pemuda itu terlihat khusyu’, nafasnya teratur, meskipun matanya terpejam, Sahal yakin dia tidak tertidur. Sahal mengetahui orang-orang yang tampak sedang tidur, tapi dia sebenarnya sedang mendaki hadirat ilahi, berusaha menghilangkan segala bayangan bayangan yang memenuhi imajinasi, dan hanya menghadirkan Allah. Sahal tak mau mengganggu pemuda itu.

Selesai shalat, jama’ah masjid pun bubar. Sahal masih menunggu pemuda itu menyelesaikan dzikirnya. Ketika dia beranjak keluar Sahal mengikutinya.

“Wahai Sahal mengapa kau mengkutiku” tanya pemuda itu. Suaranya terdengar biasa, tapi wibawanya dirasakan oleh Sahal.

“Aku tidak tahu harus berkata dan bertanya seperti apa padamu” jawab Sahal diplomatis. Tampaknya ia ingin mengatakan tidak percaya, tapi takut menyinggung perasaan pemuda itu. Lagi pula ia harus ber-husnudhon (berbaik sangka), ia takut yang di hadapannya adalah seorang yang mulid di sisi Allah.

“Wahai Sahal, tampaknya kau tidak memercayai kejadian yang baru kau alami”, kata si pemuda.

“Aku hanya ingin meyakini apa yang sebenarnya terjadi. Aku tidak mau berburuk sangka padamu. Namun aku harus jujur, aku masih ragu dengan kejadian yang ku alami. Benarkan tadi aku ke hutan?” jawab Sahal.

“Pejamkanlah matamu” perintah pemuda itu sambil memegangi tangan Sahal.

Setelah Sahal memejamkan matanya, ia kembali berada di hutan yang semula di datangi. Tempat yang persis sama. Keadaan yang sama dengan ketika ia buang air kecil lalu – dengan cara yang tidak ia pahami –  tiba tiba langsung berada di masjid. Kamar kecilnya masih ada, bahkan handuk yang ia gunakan masih basah ketika ia memegangnya.

“Bagaimana? Puaskah kau sekarang?”

“Ya. Aku bersyukur kepada Allah dan berterima kasih padamu” jawab Sahal.

“Pejamkan matamu lagi” perintah pemuda itu.

Setelah memejamkan mata, dan membukanya, Sahal tidak melihat hutan itu lagi.

Wallahu A’lam.

Alhamdu lillahi robbil ‘alamin

Kertanegara, Jum’at Pon, 22 Februari 2019 M / 17 Jumadil Akhir 1440 H (Repost)

Wawan Setiawan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *