Dialog Sahabat Amr bin Ash dan Puteranya Menjelang Kematian

1 min read

Pengajian Kitab Tanbihul Ghafilin bagian ke-16 tentang dahsyatnya Kematian yang diceritakan Amr bin Ash serta nasihat dari Imam Syaqiq bin Ibrahim

Bismillaahir rahmaanir rahiim

Al-Faqih, Syaikh Abu Laits As-Samarqand berkata : Diriwayatkan dari Sayidina Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash, beliau berkata : Dalam banyak kesempatan, ayahku (yakni Amr bin Ash) selalu berkata : Aku heran terhadap seseorang yang sedang menghadapi kematian, dia masih memiliki akal dan masih memiliki lisan (mulut), tapi kenapa tidak mampu menceritakan bagaimana rasanya kematian ketika datang”.

Kemudian, pada saat datang kematian pada beliau (Amr bin Ash), beliau masih bisa berfikir dan berbicara. Aku (Abdullah bin Amr bin Ash) bertanya, “Wahai ayahku, dulu engkau selalu berkata merasa heran dengan orang yang kedatangan kematian, tapi tidak bisa mensifati (menceritakan) tentang kematian, meskipun masih bisa berfikir dan berbicara. Sekarang coba ceritakanlah bagaimana rasa datangnya kematian?”

“Wahai anakku, kematian itu lebih dahsyat dari segala yang bisa diceritakan. Aku hanya bisa menceritakan sebagian kecil saja. Demi Allah, kematian itu datang seperti kedua punggungku ditimpa gunung berapi. Seolah olah ruhku dikeluarkan dari lubang sekecil jarum, sehingga sakit sekali rasanya.

Sungguh, pedihnya seolah olah ditenggorokanku dimasukkan tanaman yang berduri, terus sampai ke dalam perutku. Rasa sakitnya seperti langit ditimpakan ke bumi, dan aku berada di antara keduanya.

Wahai anakku, sesungguhnya keadaanku berubah dalam tiga masa. Masa pertama, aku adalah orang yang paling ingin membunuh Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, sungguh celakanya aku jika aku mati pada waktu itu.

Kemudian pada masa kedua, Allah ta’ala memberiku hidayah dalam Islam, dan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menjadi orang yang paling aku cintai, dan beliau juga menjadi panglima perang yang aku berada dalam barisan pasukannya. Duhai, seandainya aku mati ketika itu, patilah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam akan mendoakan dan menyolati aku.

Kemudian pada masa ketiga, sepeninggal Rasul, aku sibuk dengan urusan urusan dunia, dan kini aku akan mati dalam keadaan seperti itu. Maka aku sungguh tidak tahu bagaimana nasibku, bagaimana keadaanku di sisi Allah ta’ala.

Aku (Abdullah bin Amr bin Ash) terus menunggui ayahku, tak aku tinggalkan, hingga beliau menghembuskan nafas terakhir. Semoga Allah menyayangi beliau (Amr bin Ash), Amiin.

Berkata Imam Syaqiq bin Ibrahim, aku cocok dengan 4 ucapan manusia, tapi bertentangan dengan 4 perbuatan mereka.

Pertama, mereka mengatakan, “Aku adalah hamba (budaknya) Allah”. Tapi perbuatan mereka seperti orang yang merdeka (bukan budak alias semaunya sendiri)

Kedua, mereka berkata, “Sesungguhnya Allah adalah dzat yang menanggung/ menjamin rizki kami”. Tapi mereka tidak merasa tenang kecuali bersama harta dunia”

Ketiga, mereka berkata, “Akhirat itu lebih baik daripada dunia”, tapi setiap hari yang mereka lakukan terus saja mengumpulkan harta hanya untuk kesenangan dunia”.

Keempat, mereka berkata, “Kami pasti mati”, tapi mereka berbuat berperilaku seperti kaum yang tidak akan pernah mati.

Wallahu A’lam.

Alhamdu lillahi robbil ‘alamin

Catatan Pengajian PakNas di Musholla Ar-Raudlah MQ. Nasy’atul Wardiyah Bersama Ust. Hambali Ahmad

Kertanegara, Rabu Pon, 27 Februari 2019 M / 22 Jumadil Akhir 1440 H 

Wawan Setiawan

Baca bagian sebelumnya di : https://www.mqnaswa.id/pembicaraan-rasul-dengan-malaikat-maut-tentang-kematian/

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *