Pengajian Kitab Ushfuriyah Bagian Ke-2 tentang Indahnya Kasih Sayang
Bismillaahir rahmaanir rahiim
Kasih sayang adalah sifat Allah yang pertama dikenalkan setelah nama-Nya. Ini terlihat dari ayat pertama dari seluruh wahyunya (termasuk Al-Qur’an), yakni bismillaahir rahmaanir rahiim (Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang).
Ketika kita membuka Al-Qur’an, itulah ayat yang pertama terlihat, bahkan seluruh surat dari Al-Qur’an di awali dengan nama-Nya dan sifat kasih-Nya. ketika kita memulai segala sesuatu, Allah perintahkan untuk membacanya (basmalah).
Seolah-olah Allah menginginkan seluruh kehidupan kita, diliputi kasih sayang. Memang demikianlah “keinginan Allah” untuk kita. Sebagaimana pembahasan hadits pertama dari kita Ushfuriyah ini, sebagai berikut :
Dari Sahabat Abdullah bin Umar Radhiyallaahu Ta’alaa ‘Anhuma (semoga Allah meridloi keduanya) berkata : Berkata Rasulullah Shallaallaahu ‘Alaihi Wa Sallam :
أَلرَّاحِمُوْنَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمٰنُ. إِرْحَمُوْا مَنْ فِى الْإَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِى السَّمَاءِ
“Orang-orang menyayangi, akan selalu disayangi oleh Allah yang Maha Kasih Sayang. Sayangilah oleh kalian yang ada di bumi, maka Yang ada di langit akan selalu menyayangi kalian”.
Terdapat sebuah hikayat tentang Sayidina Umar Radhiyallahu ‘Anhu yang sesuai dengan hadits ini :
“Suatu hari beliau berjalan menyusuri jalanan Madinah. Di suatu tempat beliau melihat seorang anak kecil. Di tangan anak kecil itu ada seekor burung (‘ushfuur). Tampak anak kecil itu sedang mempermainkannya.
(mungkin seperti burung yang kakinya diikat. Kemudian dilepaskan untuk terbang, baru beberapa langkah burung berjalan ditarik lagi. Pen).
Maka Sayidina ‘Umar merasa kasihan terhadap burung itu dan membelinya dari si anak kemudian melepaskannya (membiarkannya terbang).
Setelah Sayidina ‘Umar wafat, banyak orang yang bermimpi bertemu dengan beliau. Orang-orang bertanya tentang keadaan beliau (di alam barzakh).
Orang-orang berkata, “Apa yang Allah lakukan terhadapmu?”.
Sayidina ‘Umar menjawab, “Allah mengampuni aku dan membebaskan aku”.
Orang-orang bertanya, “Dengan sebab apa? Apakah karena kedermawananmu? Atau karena keadilanmu? Atau karena sifat zuhudmu?
Sayidina ‘Umar menjawab : “Ketika kalian meletakkan aku di kubur, kemudian menutupi ku dengan tanah dan meninggalkan aku seorang diri, datanglah dua orang malaikat yang sangat berwibawa.
Akalku seperti terbang, dan gemetar seluruh persendianku karena kewibawaan keduanya. Mereka merengkuh dan mendudukan aku. Kemudian mereka hendak menanyai diriku.
Maka terdengarlah hatif (suara tanpa rupa) yang berkata, “Tinggalkanlah oleh kalian berdua hamba-Ku itu dan janganlah kalian membuat dirinya takut. Sesungguhnya Aku menyayanginya dan membebaskan dia. Ketika di dunia dia kasihan terhadap seekor burung, maka di akhirat aku pun kasihan kepadanya.
(Hikayat yang lain)
Pada suatu hari, seorang hamba ahli ibadah di dalam kaum Bani Israil melewati gundukan pasir. Pada waktu itu, kaum Bani Israil sedang mengalami paceklik dan kelaparan yang panjang.
Maka dalam benak orang itu berkata, “Seandainya tumpukan pasir ini menjadi tepung, sungguh sungguh aku akan menyenyangkan Bani Israil”.
Maka Allah member wahyu kepada salah seorang Nabi bani Israil agar berkata kepada orang itu bahwa, Allah telah memastikan ganjaran baginya, ganjaran bersedekah sebanyak tumpukan pasir itu. Meskipun ia “hanya” mengangankannya”.
Barangsiapa menyayangi hamba Allah, maka Allah ta’ala pun menyayanginya. Dan Hamba Allah itu, ketika ia berkata/ berangan “seandainya tumpukan pasir ini menjadi tepung”, itu semata didorong oleh rasa kasih sayangnya kepada kaumnya. Maka Allah memberinya ganjaran seolah –olah ia telah melakukannya.
Hikmah yang dapat kita petik :
1. Sayidina ‘Umar adalah orang yang tegas dan terkesan “galak”. Tapi terhadap anak kecil (yang belum mengerti hukumnya mempermainkan burung) beliau tidak memarahi. Beliau membujuk untuk membelinya dan memberi contoh melepaskannya. Inilah pendidikan para sahabat Rasul.
2. Menyayangi makhluk Allah seperti burung, menjadi sebab Allah menyayangi kita. Bagaimana jika yang kita sayangi adalah sesama manusia? Maka tentunya rahmat Allah lebih besar lagi.
3. Sayidina Umar (dalam kisah ini) selamat bukan karena “amal” nya. Beliau selamat karena Allah “kasihan” kepadanya. Padahal beliau adalah salah satu sahabat utama Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wa Sallam yang amal dan perjuangannya luar biasa. Apalagi kita yang amalnya sedikit. Kita tidak boleh mengandalkan kita “sudah beramal ini dan itu”, yang lebih didahulukan adalah “semoga Allah kasihan kepada kita”.
4. Sangat mungkin untuk bermimpi dengan para shahabat (dan orang-orang shaleh), sehingga kita mendapat pelajaran yang berharga, meskipun mereka telah wafat. Ini termasuk mimpi yang baik.
5. Niat yang terbersit dalam hati, yang didorong dengan kesungguhan dan kasih sayang, langsung mendapat perhatian dari Allah Ta’ala. Dan Allah member balasan niat itu, seolah-olah telah dilaksanakan. Inilah makna “Niat orang yang beriman itu lebih baik dari amalnya”
Dan banyak lagi hikmah yang lainnya. Wallahu A’lam.
Wallahu A’lam.
Alhamdu lillahi robbil ‘alamin
Kertanegara, Jum’at Kliwon, 1 Maret 2019 M / 24 Jumadil Akhir 1440 H
Wawan Setiawan
Sumber : Usfuriyah