Kisah tentang malaikat yang mengajarkan hakikat kenikmatan
Bismillaahir rahmaanir rahiim
Salah satu sifat dunia adalah bercampurnya dua sifat yang berlawanan dalam satu hal. Misalnya, salah satu kenikmatan yang agung di dunia ini adalah hadirnya seorang anak.
Meskipun kekayaan dan kesenangan melimpah ruah, tanpa kehadiran seorang buah hati rasanya kurang. Anak adalah anugerah yang besarnya tidak terkira.
Tapi, ayat Al-Qur’an sendiri yang mengafirmasi bahwa anak itu, selain menjadi tempat limpahan cinta kasih dari kedua orang tuanya, sekaligus ia adalah fitnah (cobaan) bagi keduanya.
Jika kita suka makan kerupuk sambel, atau sambel asem, tentu kita akan merasakan sensasi nikmatnya, tapi sekaligus kita harus siap menerima efek “sakit perutnya”.
Demikianlah dalam setiap yang kita terima di dunia ini, selalu mengandung dua hal yang berlawanan itu.
Kadang kadang kita mendapat sesuatu yang kita anggap sebagai kenikmatan, tapi ternyata itu cobaan dari Allah. Katakanlah, misalnya, kita bisa membeli motor baru? Apakah ini suatu kenikmatan? Belum tentu.
Bisa jadi, karena senang dengan motor baru, anak kita membawanya dengan teman teman, hingga terjadi kecelakaan yang menewaskannya. Na’udzubillah.
Jadi, hadirnya motor itu sebenarnya merupakan “jalan” bagi Allah untuk menimpakan cobaan yang nilainya jauh lebih berat dari nikmatnya.
Sebaliknya, kadang kadang kita mendapatkan suatu (yang kita anggap) cobaan. Misal, seseorang di-PHK. Keluar dari pekerjaan yang sebenarnya sangat dibutuhkan. Apakah ini cobaan? Belum tentu juga.
Bisa jadi keluarnya ia dari pekerjaan itu menjadi jalan baginya untuk mendapat pekerjaan baru yang lebih baik dan mapan hingga akhir usianya. Dalam konteks seperti inilah kisah tentang dua malaikat ini terjalin.
Ada dua orang malaikat yang turun dari langit untuk melaksanakan tugas dari Allah ta’ala. Mereka berdua bertemu di perjalanan dan keduanya kemudian terlibat dalam suatu pembicaraan.
“Aku turun ke dunia untuk suatu urusan yang aneh. Allah memerintahkanku untuk menggagalkan sesuatu yang diidam idamkan oleh seorang waliyullah (kekasih Allah). Padahal ia adalah seorang kekasih Allah, dan ia telah mendambakan hal itu sangat lama sekali” kata malaikat yang pertama.
Malaikat yang kedua berkata, “Aku pun merasa aneh dengan tugas yang kuemban. Tugasku kebalikan dari tugasmu. Ada seorang Fajir (ahli maksiat) yang menginginkan jenis ikan tertentu. Ikan itu hanya ada di suatu samudera yang jauh sekali. Jarak samudera itu terpisah tujuh samudera dengan si Fajir.
Aku disuruh meletakkan ikan itu ke dalam jaring seorang nelayan. Sehingga nelayan itu kelak akan menjualnya kepada si Kafir. Si Kafir itu telah memesan kepada nelayan, bahwa siapa saja yang mempunyai jenis ikan ini akan dibelinya dengan harga berapa saja” Malaikat yang kedua menuturkan kisahnya.
Tak lama kemudian turun malaikat ketiga dari langit menghampiri mereka berdua dan berkata, “Janganlah kalian merasa heran. Allah memerintahkanku untuk menceritakan perihal kedua orang itu kepada kalian.
Sang kekasih Allah itu pernah bermaksiat kepada Allah satu kali, maka Allah tidak memenuhi keinginannya. Agar dia sedih dan kecewa. Kesedihan dan kekecewaannya itu akan menghapus dosa dari kemaksuiatan yang dilakukannya. Sehingga kelak di akhirat nanti seakan akan ia tidak pernah berbuat dosa.
Adapun si Kafir, ia pernah berbuat suatu kebaikan. Allah memberikan balasan untuk kebaikannya di dunia ini. Allah menyegerakan balasan untuknya agar di akhirat nanti ia tidak memiliki kebaikan sama sekali. Maka neraka lah tempat yang pantas baginya”.
Kita jadi mengerti mengapa seringkali orang orang shalih merasa takut dan khawatir ketika mendapat suatu kenikmatan. Misalnya, dikisahkan pada suatu malam Ramadhan yang Mulia, Sayid Muhammad bin Alwi bin Abbas Al-Maliki Al-Hasani mengajar murid murid beliau hingga waktu larut malam.
Sayid Muhammad biasa dipanggil dengan sebutan Abuya. Beliau adalah salah satu pakar hadits yang menjadi rujukan para ulama di seluruh dunia. Melimpah ruah murid beliau di tanah Nusantara ini.
Beliau mengarang banyak sekali kitab yang bermanfaat. Bahkan Allah menganugerahi beliau kasyaf (tersingkapnya hijab) ketika beliau berziarah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sehingga beliau bisa melihat Sang Nabi dengan izin Allah ta’ala.
Pada malam itu, setelah mengajar para murid, beliau merasa lapar dan berkata,”Tentu nikmat sekali jika ada nasi biryani yang hangat malam ini”. Para murid bingung, bagaimana mencari nasi biryani tengah malam seperti itu.
Tiba tiba, terdengar pintu rumah beliau diketuk. Ketika dibuka, tampaklah seorang laki laki yang mengantarkan sebuah bungkusan.
Saat dibuka, ternyata berisi nasi biryani yang masih hangat. Para santri yang melihat itu, takjub, bangga, bahagia karena sang Guru mendapatkan apa yang diidamkannya.
Tapi, Sayid Muhammad tampak masygul, bahkan tampak sangat bersedih. Beliau seperti orang yang baru mendapat cobaan, padahal baru saja beliau mendapatkan “persis” apa yang diinginkannya. Ketika salah seorang santri memberanikan diri bertanya mengapa tuan guru-nya tidak berselera untuk makan, padahal tadi sangat menginginkan.
Gurunya berkata, “Alangkah ruginya, tadi aku meminta nasi biryani. Mengapa aku tidak meminta ampunan Allah. Aku takut di akhirat nanti aku tidak mendapatkan, sebab Allah telah memberikannya di dunia ini”. Abuya pun beristighfar berulang ulang, tanpa sedikitpun mengingkinkan nasi biryani hangat itu.
Wallahu A’lam
Alhamdulillaahi robbil ‘alamin
Kertanegara, Kamis Pahing, 21 Februari 2019 M / 16 Jumadil Akhir 1440 H (Repost)
Wawan Setiawan