Gimana Nek ? Ya “Alu Alam”.

2 min read

Gimana Nek ? Ya “Alu Alam”.

Gimana Nek ? Ya “Alu Alam”.

 

Bismillahirrahmanirrahim

Sekarang ini banyak kita yang suka mengucapkan kata-kata dengan bahasa Arab dan dengan “irama Arab”. Misalnya ngomong “berkah ya luur” (semoga berkah wahai saudaraku) jadi “mabruk ya akhi”. Tidak ! saya tidak ada maksud mengecam atau menganggap buruk hal ini !

Saya sedang mau membicarakan, betapa halusnya pengajaran ulama zaman dahulu, meneteskan keimanan dan pengajaran agama hingga menyerap dalam hati bangsa Indonesia (atau suku Jawa seperti yang akan saya kisahkan ini). Hal tersebut, salah satunya tampak dalam banyaknya kosa kata bahasa Jawa yang berasal dari bahasa Arab (agama Islam).

Kosa kata bahasa Arab banyak sekali yang telah diserap ke dalam bahasa Indonesia. Baik dengan ucapan yang masih mirip Arab, maupun sudah “sangat Indonesia” atau (dalam konteks tulisan ini) “sangat Jawa”. Penasaran dengan jumlah kosa kata Bahasa Arab yang diserap dalam Bahasa Indonesia, akhirnya saya buka Kamus Besar Bahasa Indonesia. Untuk huruf “A” saja ada seratus lebih kosa kata yang saya yakini ada padanannya dalam bahasa Arab.

Tapi sayang, dari sekian banyak kosa kata tersebut, saya tidak menemukan kata “Alu Alam”. (Semoga kata misterius ini nantinya di masukkan dalam KBBI. He he he,,,)

Saya mengenal “Alu alam” ini dari nenek saya. Ketika Kiai Akrom (Kiai yang –dianggap- pertama mengajar di desa Saya, Desa Kertanegara) hidup dan mengajar agama, nenek saya masih belia. Momen yang saya senang untuk bicara kepada beliau adalah momen “Didis”. (Didis ini pun rasanya sudah hilang dari peradaban kita). Praktik Didis itu, tangan nenek yang keriput mengelus-elus kepala, membelai rambut, sambil dengan lincah mencari kutu di kepala. Didis dilakukan malam hari, karena tidak menggunakan “mata”, hanya menggunakan feeling saja. Saat Didis itulah saya paling suka ngobrol dengan nenek.

Salah satu kata yang saya ingat sering terucap dari nenek adalah ucapan “Alu Alam”. Bukan hanya nenek saya, ternyata nenek-nenek tetangga sebelah juga begitu. Pokoknya asal nenek-nenek lah, banyak yang menggunakan kata “Alu Alam”. Kata ini digunakan terutama dalam konteks pembicaraan ketika beliau “merasa tidak ada kepastian”.

Misalnya saya bertanya kepada beliau, “Ma, priwe kih wis arep panen tah sawae?” (Nek, gimana nih udah mau panen sawahnya?).

Beliau jawab, “Iya, Alu Alam, wong lagi ake ama” (Iya, tapi “Alu Alam”, kan sedang banyak hama).

Semula saya tidak paham misteri “Alu Alam” ini. Meskipun saya paham konteks jawaban nenek saya itu. Yakni beliau merasa tidak bisa memastikan hasil dari panennya. Dan banyak pembicaraan dengan nenek di mana beliau membawa kata “Alu Alam”.

Setelah terus saya perhatikan setiap pembicaaraan nenek yang membawa si “Alu Alam” ini. Akhirnya saya jadi yakin bahwa “Alu Alam” adalah pengucapan dari “Allahu A’lam” (yang artinya hanya Allah yang Tahu).

Saya merasa nenek saya (dan tetangga tetangganya itu) luar biasa. Karena ketika membicarakan suatu hal yang mengandung ketidakpastian, nenek saya yang tidak mondok, tidak madrasah, bahkan beliau buta huruf Arab maupun latin memiliki kesadaran batin, dengan mengatakan hanya “Tuhan yang Maha Tahu, Saya ini hamba yang tidak mengetahui hasil dari sebuah usaha”.

Tapi saya juga heran, dari mana nenek punya kosa kata “Alu Alam” yang asalnya dari Bahasa Arab, dan maknanya begitu Islami?. Meskipun diucapkan dengan lidah yang “seperti tidak Islami”. Akhirnya saya menyadari, mungkin, para ulama dahulu ketika mendidik umat mengenal agama Islam, lebih menekankan pada kesadaran, pada makna, bukan pada kefasihan berbicara.

Nek, Mungkin bacaan basmalah dan fatihahmu juga tidak fasih, seperti engkau tidak fasih dalam melafal “Allahu A’lam” tapi Semoga “Alu Alam” mu diterima ya Nek. (semoga Allah menerima keimanan / kesadaran batin kehambaan nenek, serta semua ibadah amal baik beliau, juga memaafkan mengampuni segala dosa beliau, amiin amiin)

Alhamdulillahirabbil ‘aalamiin

Kertanegara, MQ Naswa, 18-11-2016 M/ 18-03-1437 H
Didedikasikan untuk Ma Ra (almarhumah Ibu Tjaira binti Kabal), nenek yang penuh kasih kepada cucunya.

Wawan St

Mengenai Nyai R. Djuaesih, Perintis  Berdirinya Muslimat NU baca di : https://www.nu.or.id/tokoh/nyai-r-djuaesih-perintis-berdirinya-muslimat-nu-hi0NE

Baca juga : https://www.mqnaswa.id/3-simpul-ramadhan-agar-berkah-selamanya/

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *