Bismillahir rahmanir rahim, mari belajar makna kesalehan.
Kalau kita ditanya, lebih mulia mana shalat dengan menjenguk orang sakit?
Mungkin kita bisa menjawab keduanya sama.
Tapi jika melihat satu orang sedang shalat, atau berdzikir, satu orang sedang menanam pohon. Mungkin yang muncul dibenak kita, orang yang shalat dan dzikir ini, orang saleh dan bertakwa. Menanam pohon? Ya baik juga, tapi rasanya jauh kalau dihubungkan dengan ketakwaan.
Padahal baik shalat, menjenguk orang sakit, maupun menanam pohon sama sama dicontohkan baginda Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam. Kurma yang paling mahal saat ini, kurma Ajwa, adalah kurma yang pohonnya ditanam langsung oleh tangan mulia Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Bahkan sangat terkenal perintah Rasul kepada para sahabat yang akan berperang, “jangan menebang pohon”, padahal dalam keadaan perang lho !
Okelah, memang memerhatikan alam itu baik, tapi apakah ada hubungannya dengan ketakwaan/ kesalehan? Apa ada dalilnya ?
Ya, ada !
Manusia diciptakan Allah sebagai hambaNya, maka mereka harus selalu “terhubung” denganNya. Keterhubungan ini sama sekali bukan untuk kepentingan Allah, namun semata untuk kebaikan manusia itu sendiri.
Layaknya ketika badan seseorang sangat lemah, ia harus bersandar agar tak jatuh. Layaknya handphone yang batrenya ngedrop, ia harus terhubung dengan energi. Keterhubungan ini menjadi vital demi kehidupan manusia itu sendiri. Maka diwajibkanlah sholat. Sholat ada yang memaknai do’a. Permintaan. Agar Sang Maha Pencipta, Pengasih dan Penyayang selalu memberi petunjuk dan mengantarkan ke dermaga kebahagiaan dunia akhirat.
Tapi ada juga yang memaknai “Ash-Sholah (solat) ay Ash-Shilah (hubungan)”. Orang yang sedang mendirikan sholat artinya orang yang membangun “hubungan” dengan Allah. Semakin baik sholatnya maka semakin baik pula kualitas keterhubungan dirinya dengan Allah. Maka ia akan selalu mendapat petunjuk dan pertolongan.
Mengapa? Sebab do’a inti di dalam shalat, yang wajib dibaca adalah “iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’in” Hanya kepadaMu kami menyembah dan hanya kepadaMu kami mohon pertolongan.
“Ihdinash shirothol mustaqim“, berilah kami hidayah, petunjuk untuk berada di atas jalan yang lapang, jalan yang lurus, jalan yang benar, dalam segala urusan kehidupan dunia dan akhirat.
Allah juga berfirman, “Wasta’inu bishobri washolat“, mintalah pertolongan kepada Allah dengan cara sabar, teguh hati, tetap berjalan meski banyak kesulitan, dan dirikanlah sholat sebagai sumber energi, ketersambungan diri, jiwa, akal dan hati yang lemah dan gelap, kepada Dzat yang Maha Menciptakan dan Maha Kuasa, Maha Cahaya dan menerangi kalbu manusia.
Orang yang seperti ini dinamakan orang yang memiliki hablumminallah (hubungan dengan Allah) yang baik. Ini adalah salah satu kriteria utama dari ketakwaan/ kesalehan. Semakin baik hablum minallah nya, semakin baik pula ketakwaannya. Dalam istilah cendekiawan dinamakan juga Kesalehan Ritual.
Di sisi lain, manusia diciptakan oleh Allah sebagai makhluk yang membutuhkan orang lain. Tidak seperti Allah sebagai Dzat yang tidak membutuhkan siapapun, manusia diciptakan sebaliknya. Maka ia dinamakan “insan”. Insan seakar dengan kata “uns” yang maknanya adalah harmonis.
Semakin ia bisa memberikan kebaikan kepada orang lain. Semakin dia peduli kepada orang lain dan semakin ia harmonis dengan sesama makin tinggilah kualitas kemanusiaannya. Semakin baik pula di mata Allah. Tidak kurang kurang syariat agama mengagungkan sikap peduli kepada orang lain. Perintah shalat hampir selalu diiringi perintah zakat. Artinya hablumminallah tidak akan sempurna tanpa hablumminannas.
Bahkan Allah mengecam orang yang buruk terhadap sesama manusia, tidak ada rasa perhatian kepada kesulitan manusia, meski dia rajin mendirikan shalat. Karena tujuan shalat (hablum minallah) terlihat dibagian akhir dari rukun shalat itu sendiri, yakni salam. Memberi keselamatan kepada manusia di sekitarnya. Karena itulah tujuan manusia dinamakan “insan”.
Orang seperti ini dinamakan orang yang memiliki hablum minannas (hubungan sesama manusia) yang baik. Keharmonisan, ketentraman kehidupan ditentukan oleh sifat ini. Maka sifat kedua dari orang yang bertakwa adalah memiliki keterhubungan yang baik dengan sesama manusia. Dalam istililah “zaman now” disebut Kesalehan Sosial.
Kesalehan ritual, harus membuahkan kesalehan sosial. Jangan sampai – seperti diceritakan Kiai, dan saya saksikan sendiri – jamaah haji yang ingin mencium hajar aswad, dengan alasan itu adalah suatu amal baik/ amal saleh, tapi sambil mendorong, nyikut hingga menyakiti sesama jamaah haji yang lainnya.
Itulah Kesalehan Ritual dan Sosial, yang sudah sering kita dengar.
Namun, sebagai mukmin, harus kita akui bahwa sementara ini, hanya dua hal itulah yang banyak digembar gemborkan. Padahal Allah menghendaki satu kesalehan lagi yang harus tertanam dalam jiwa kaum beriman, yakni Kesalehan Lingkungan, istilah kami, hablum minal ardl.
Maknanya tentu bisa sangat luas, tapi intinya, kita harus memiliki hubungan yang harmonis dengan bumi raya ini. Dengan lingkungan di mana kita tinggal. Dengan hutan, lautan, sawah dan dengan sungai sungai.
Apakah ada dalilnya ?
Sebenarnya tidak perlu dalil naqli untuk hal semacam ini bukan? Bukankah jika sungai kotor, lalu muncul wabah penyakit, kita juga, manusia yang paling banyak terkena imbasnya?
Bukankah jika, hutan gundul, lalu banjir dan longsor, manusia juga yang paling menderita?
Sayangnya, kita masih terbiasa melihat, seorang yang habis shalat berjamaah, lalu membuang tumpukan sampahnya di sungai belakang rumah. Akhirnya sampah terbawa air sungai dan menumpuk di suatu tempat. Campur bangkai, botol, bahkan –saya melihat sendiri- ada kasur juga. Masya Allah.
Sedangkan di sekitar tempat bertumpuknya sampah itu ada rumah penduduk, artinya setiap hari sampah kita mengganggu mereka, dan setiap hari kita menimbun dosa mendholimi mereka.
Lebih mengherankan lagi, ada yang melakukan korupsi lahan pertanian, pembabatan hutan, lalu hasil korupsinya untuk “pergi haji”.
Mari perhatikan ayat berikut, QS. Al-Baqarah/ 2 : 27, sebagai bukti bahwa Allah-pun menghendaki “Kesalehan Lingkungan”, hablum minal ardl.
الَّذِيْنَ يَنْقُضُوْنَ عَهْدَ اللهِ مِنْ بَعْدِ مِيْثَاقِهٖ وَيَقْطَعُوْنَ مَاۤ أَمَرَ اللهُ بِهٖ أَنْ يُّوْصَلَ وَيُفْسِدُوْنَ فِي اْلأَرْضِ أُولٰۤئِكَ هُمُ الْخَاسِرُوْنَ
(yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi.
Ayat di atas menjelaskan ciri orang yang fasik. Kefasikan penyakit yang menghinggapi kaum beriman, ia adalah sifat yang menjauhkan manusia dari kebenaran. Ia mengikuti tuntunan ilahi semau sendiri yang akhirnya ia keluar dari nya dengan atau tanpa disadarinya.
Orang fasik memiliki 3 ciri utama sebagaimana ayat di atas :
- Melanggar perjanjian dengan Allah, perjanjian untuk tunduk dan menaatiNya. (Kesalehan Ritual)
- Memutuskan apa yang perintahkan Allah untuk disambungkan, yakni ikatan persaudaraan sesama manusia (Kesalehan Sosial)
- Membuat kerusakan di muka bumi (Kesalehan Lingkungan)
Jelas sekali, Allah tidak memisahkan ketiganya. Kesalehan ritual, hubungan yang baik dengan Tuhan, harus menghasilkan hubungan baik dengan sesama dan alam raya. Makna salam di penutup shalat harus dimaknai lebih luas. Mencakup memberikan keselamatan kepada lingkungan, alam, sungai, hutan dan lautan.
Manusia, yang disebut “Insan”, yang bermakna “harmonis” pun harus dimaknai memiliki keharmonisan, dengan Tuhan dan semua makhluknya, dari manusia sampai bumi raya ini. Bukankah dia khalifahnya?
Wallahu A’lam
Alhamdulillahirabbil ‘aalamin
Kertanegara, Rabu Wage, 9 Januari 2019 M / 3 Jumadil Awwal 1440 H
Wawan Setiawan