Kisah Fabel yang mengingatkan kita siapa yang menjadi Hama perusak di bumi ini.
Bismillaahir rahmaanir rahiim
Malam sudah larut, bulan purnama yang seharusnya di petala langit tertutup gelapnya awan. Angin dingin pegunungan yang terus berhembus menghantarkan manusia dalam tidur yang semakin dalam. Tapi tidak bagi seekor tikus yang duduk termenung di dekat pematang. Memandangi air yang mengalir dari sawah yang lebih tinggi mengairi sawah di bawahnya.
Sawah yang hijau terhampar luas di kaki gunung. Mereka diam, tapi terus berbicara. Tidak ada suara yang terdengar manusia, tapi tasbihnya senafas dengan tasbih para malaikat.
Tikus itu duduk berlama. Seharusnya malam ini dia beroperasi di sawah disampingnya itu. Ia ingin mengacak acak sawah yang sangat luas itu. Ingin mengobrak abrik dan memakan banyak banyak dari padi padi yang sudah menguning.
Sawah itu sawah milik pak Brosnas. Seorang saudagar yang berasnya tidak akan habis meski setahun dia dan keluarga tikus menginap di lumbung miliknya.
“Hah, boro boro menginap setahun, baru nongol di lumbungnya saja pasti sudah dikejar dan digebuki”. Hentak pikirannya mengingat wajah pak Brosnas
Angin sejenak berhenti bertiup seperti memberi peluang si tikus melanjutkan lamunannya.
Kemarin saja, dia lewat di sawah itu. Melihat bulir bulir padi dan perut yang sedang lapar, dia tertarik untuk mencicipi padi. hanya sedikit saja yang dia makan.
Esoknya, ketika pak Brosnas mengetahui ada bekas tikus di sawahnya, langsung pak Brosnas melapor kepada Raksa Bumi (Pamong Desa yang bertugas keliling di sawah sawah penduduk untuk melihat pengairan, pupuk san lain lain).
Ia mengatakan “Pak Raksa, Hama Tikus sudah menjarah sawahku. Aku usulkan agar pak Kuwu memerintahkan warga, bila perlu melibatkan anak sekolah untuk mengadakan operasi hama tikus. Jangan sampai mereka semakin merajalela”
Tikus itu mendengar sendiri pembicaraan juragan sawah itu dengan pamong desa hari kemarin. “Hama, hama, hama, entah berapa puluh ribu kali kata itu didengar sejak aku hidup” batin si tikus.
Ya, manusia menyebutku hama. Padahal aku tikus, sama seperti ayam, kucing, anjing. Aku diciptakan Tuhanku seperti ini. Hidup begini adalah titah (perintah dan ketetapan) Tuhanku.
Aku memakan padi, karena itulah insting yang ditanamkan Tuhanku. Aku tidak seperti manusia yang seenaknya. Aku tidak seperti manusia. Aku hanya mengikuti saja perintah Tuhan yang ditanamkan dan ku mengerti dalam syaraf- syaraf naluriku.
Mana sawah yang aku rusak, mana padi yang ku makan bukan aku yang memilihnya.
Mengapa mereka tidak pernah berfikir, kenapa Tuhan menyuruhku merusak sawah mereka. Padahal aku pun tidak berani mengganggu sawah dan padi yang dilarang Tuhan untuk kuganggu.
Sombongnya manusia itu. Mentang mentang disebut khalifah fil ardli (wakil Allah di bumi). Mereka dengan seenaknya menuduh tikus sebagai hama, perusak. Mereka terus menjelek jelekkan aku, keluargaku dan teman temanku. Seumur hidup tidak pernah aku mendengar kata kata yang baik tentang aku dari mulut mereka. Mereka memang wakil tuhan yang berkuasa, yang diberi kepercayaan mengelila bumi ini, tapi mereka sok kuasa dan selalu ingin menang sendiri. Itu yang membuat aku dan pimpinanku marah.
Pimpinanku sangat marah. Minggu kemarin, dalam rapat tikus, pimpinan ku bilang, “Tepat seminggu setelah pertemuan ini, kita akan buat serangan besar”
“Serangan besar untuk apa?” aku bertanya
“Kita serang semua sawah yang ada di sini. Kita kerahkan seluruh tikus yang ada di dalam gunung ini. Tikus besar, tikus kecil, semuanya, harus keluar dari sarang untuk mengahancurkan sawah sawah manusia congkak itu.
Aku segera menyergah “Apakah sudah turun perintah untuk itu, jangan sembarangan, kita diciptakan bukan untuk menyerang manusia. Kita diciptakan untuk menjadi bagian kehidupan manusia agar mereka menyadari kehambaannya dalam tugas khalifahnya. Agar mereka menyadari kealpaan mereka dalam mengelola rizki dari Tuhan”.
“Ya, tapi lihat saja mereka, apakah kamu setuju dengan ucapanmu sendiri? Apakah manusia semakin menyadari? Apakah manusia semakin mengerti bahwa padi yang kita makan itu bukan jatah mereka. Tapi harus dipaksa ambil dari mereka. Karena mereka sungguh pelit. Bahkan kepada sesama manusia. Tapi setiap kita mengambil, mereka menyebut kita hama, jahat, harus dibasmi”
Tikus itu terdiam sehingga sang pimpinan melanjutkan orasinya. “Titah Tuhan belumlah turun, tapi aku sendiri yang meminta pada Tuhan. Agar kita diizinkan menghancurkan kesombongan manusia.
Apakah mereka fikir mereka yang paling berkuasa? Apakah mereka kira bisa meremehkan kita?. Apa mereka tahu berapa jumlah kita sebenarnya? Berapa ribu lorong-lorong sarang kita yang ada di bukit ini?
Tidak! Mereka tidak tahu kekuatan daya serang kita. Mereka tidak akan pernah membayangkan kehancuran yang terjadi, jika kita, yang mereka sebut hama, muncul semuanya di depan hidung mereka. Aku sudah usulkan pada Tuhan, dan ku berharap Tuhan mengabulkannya”.
Keesokan harinya,
Di suatu sore yang gerah, udara seperti bisu, burung – burung yang biasanya masih di pepohonan segera pulang. Teriakan puluhan manusia merobek angin sawah. parang, golok, racun seperti malaikat izroil yang melesat lesat mencekik nyawa ratusan tikus. Banyak padi yang rusak. Lebih banyak lagi tikus yang mati. Pembasmian dan pembantaian itu selesai hingga sore hari.
Pak Brosnas dan puluhan petani serta pamong desa puas pulang dengan kepala tengadah, merasa menang dalam perang, merasa Tuhan mendukung mereka. Sepanjang jalan mereka tak henti bicara, “Kita telah menghabisi hama, perusak”.
Siapa sebenarnya yang hama? Siapa yang perusak?
Tuhan sendiri yang berkata :
“Telah tampak kerusakan di bumi dan lautan ini tersebab ulah manusia”
Bukankah banyak ayat Tuhan tentang kerusakan bumi ini justru ditujukkan untuk manusia? Tidak ada satu pun yang ditujukan untuk tikus.
Seeokor tikus yang melihat langkah-langkah sombong itu, berkata dalam hatinya “Tuhan, mengapa Tuan tidak memerintahkan dan mengizinkan kami keluar menyerang semuanya?”.
Kereta Bogowonto, Senin, 1 Agustus 2016.
Wallahu A’lam.
Alhamdu lillahi robbil ‘alamin
Kertanegara, Senin Legi, 25 Februari 2019 M / 20 Jumadil Akhir 1440 H (repost)
Wawan Setiawan