Artikel kali ini akan menejelaskan kemungkinan kata “Heran dan Gizi” Diserap dari Bahasa Arab
Banyak sekali kosa kata dalam bahasa Arab yang diserap menjadi bahasa Nusantara, jawa dan indonesia, khususnya. Kosa kata itu memenuhi khazanah bahasa kita dalam segala bidang kehidupan. Mulai masalah sehari hari, misalnya nama-nama hari : Ahad, Senin, selasa, Rabu, Kamis, Jum’at dan Sabtu, semuanya dari bahasa Arab.
Kawin, nikah, surat, resmi, selamat, akhir hayat, juga dari bahasa Arab.
Masalah kehidupan bermasyarakat, bahkan berbangsa dan bernegara juga banyak yang menggunakan bahasa Al-Qur’an. Kursi, daulat, rakyat, dewan, wakil, majelis, musyawarah, adil, makmur, hikmat, beradab, wilayah, hukum dan masih banyak lagi. Itu adalah contoh kecil dari hebatnya bangsa kita mengambil bahasa Al-Qur’an, menjadi bahasa sehari hari dan bahasa resmi kenegaraan, sampai sampai kita tidak merasa bahwa yang diucapkan itu adalah “bahasa asing”.
Ada dua kata yang membuat saya takjub (takjub juga berasal dari kosa kata Arab), sekaligus gembira. Seperti orang yang baru menemukan sesuatu yang disenanginya.
Pertama, “HERAN”
Beberapa hari yang lalu, saya melihat kartun Upin dan Ipin. Ketika mendengar dialog Upin Ipin itulah saya menduga kuat bahwa “heran” pun berasal dari bahasa Arab. Dalam pelafalan (lafal dan hafal juga dari bahasa Arab) lidah kita, “heran” menggunakan suara “E” setelah “H” jadi “Heran”. Sedangkan dalam pelafalan melayu (seperti si Upin), heran diucapkan dengan “Hairan”.
Setelah mendengar kata “Hairan” inilah dada saya langsung berdesir seperti melihat kekasih di depan mata (he he,,, lebay !). Kata “hairan” ini ditemukan padanannya dalam bahasa Arab “ حَيْرًا = Hairan”. Bangsa nusantara tidak mempunyai “Ha tipis” seperti dalam huruf hijaiyah, maka dalam lafal Indonesia berubah menjadi “H” besar. Sama juga dengan “ حكم dan حكمة” pakai Ha tipis, diucapkan dengan “Hukum” dan “Hikmah” dengan suara Ha besar. حاصل dibaca “Hasil” dengan suara Ha besar.
Pelafalan “ai” berubah menjadi “e” seperti banyak terjadi pada kalimat “gulai” jadi “gule”, “petai” jadi “pete”, “selai” jadi “sele” dan “balai desa” menjad “bale desa” dan sebagainya. Jadilah kata حَيْرًا (hairan) ini menjadi “heran”.
Bagaimana dengan artinya ?
Artinya pun memiliki kesamaan/ kesetaraan makna. Kata حَيْرًا berpatron pada arti “bingung, kebingungan” dan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia “heran” juga berarti merasa ganjil/ aneh, tercengang, takjub. Jika kita melihat sesuatu, misalnya sulap. Kita “merasa aneh”, masa dari tangan bisa keluar bunga yang indah dari pesulap itu. Merasa aneh di sini sama dengan “merasa bingung”, bagaimana mungkin itu terjadi? Seorang yang takjub akan sesuatu akan diliputi juga oleh rasa bingung. Inilah kesepadanan makna dalam kata “heran”.
Meskipun demikian sebenarnya ketika حَيْرًا menjadi “heran” mengalami penyempitan makna. Kata حَيْرًا bisa juga digunakan untuk orang yang “bingung” dalam memilih jalan, atau bingung dalam melihat kenyataan, atau bingung bingung lainnya.
Misalnya dalam hadits berikut ini :
(لَأَبْعَثَنَّ لِأُولٰئِكَ فِتْنَةً تَدَعُ الْحَكِيْمَ الْعَاقِلَ فِيْهَا (حَيْرَانْ
“Pasti Aku (Allah) akan menimpakan fitnah (cobaan), sehingga seorang Ahli Hikmah/ hakim yang sempurna akalnya pun akan (kebingungan)”.
Hadits di atas bagian awalnya menceritakan bahwa di akhir zaman, banyak orang yang mencari dunia dengan menggunakan agama. Pakaian mereka indah (dipandang) dan ucapan mereka semanis madu. Tapi hati mereka hati serigala (yang buas).
Guru kami secara singkat mengatakan, di akhir zaman banyak serigala berbulu domba. Penampilannya halus, tutur katanya pun manis, seolah olah agama lah yang menjadi ruhnya, tapi sebenarnya mereka adalah serigala yang haus akan dunia.
Maka Allah akan menimpakan bagi mereka itu, cobaan yang membuat “Hakim yang cerdas” pun “Hairan”, kebingungan.
Jadi “Hairan / heran” dapat bermakna kebingunan dalam mencari jalan atau solusi. Sedangkan “heran” yang sudah menjadi bahasa Indonesia, lebih kepada pengertian “takjub”. Tapi keduanya sama sama bermakna “bingung dan tidak mengerti”. Jadi حَيْرًا yang sudah diserap menjadi “heran”, maknanya jadi lebih terbatas. Itu hal yang wajar dalam penyerapan bahasa.
Kedua, “GIZI”
Pada pengajian kitab hadits yang sangat terkenal, Arba’in Nawawi, yang dibacakan oleh yang mulia Kiai Musthafa Bisri, beliau mengatakan bahwa “Gizi” sangat mungkin dari bahasa Arab.
Hadits yang dimaksud adalah hadits nomor dalam kitab hadits paling dasar yang wajib bagi para santri di pesantren. Bunyinya :
ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيْلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ ياَ رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ (وَغُذِّيَ) بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لَهُ .
Kemudian beliau (Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam) menyebutkan, ada seseorang melakukan perjalan jauh dalam keadaan kumal dan berdebu. Dia mengangkat kedua tangannya ke langit seraya berkata : Ya robb ya robbi, padahal makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan (di-GIZI-i) dengan sesuatu yang haram, maka (jika begitu keadaannya) bagaimana doanya akan dikabulkan.
Hadits di atas merupakan bagian akhir dari hadits ke-10 dalam Kitab Arba’in Nawawi. Hadits itu awalnya menyebutkan bahwa Allah itu Maha Thoyib dan tidak mau menerima kecuali yang thoyib (baik).
Untuk menguatkan pernyataan itu, pada bagian akhir Nabi menceritakan seorang yang tampak sangat kesusahan (kumal dan berdebu), yang do’anya tidak diterima. Padahal keadaannya yang kesusahan, “seharusnya” menjadikan do’anya mudah diterima. Apalagi dia berdo’a sambil mengangkat tangan yang menunjukkan rasa benar benar membutuhkan Allah. Tapi tetap saja do’anya tidak diterima, karena makanan, minuman dan pakaiannya haram. Diapun “Ghudzia”, yang oleh Kiai Musthafa Bisri diartikan “di-Gizi-i” dengan perkara haram.
Bukan tempatnya membahas makna hadits di atas secara mendalam. Misalnya mengapa ada kata Ghudzia (di-gizi-i), padahal sudah ada kata “math-‘am = makanan”. Tapi yang jelas, di dalam kamus Bahasa Arab yang diakui seluruh kalangan akademisi, غذى memang bisa diartikan sebagai “GIZI”.
Bagaimana proses penyerapannya?
Nusantara tidak memiliki huruf “Ghoin, gho, ghi, ghu”, maka diserap / disesuaikan dengan abjad “Ha na ca ra ka” menjadi “Ga/go, gi, gu”. Tentu sudah sangat mafhum bagi kita, banyak orang Jawa, terutama yang tidak belajar ilmu tajwidil Qur’an, mengucapkan غير المغضوب yang menggunakan huruf “ghoin” menjadi “Goiril magduubi”, huruf “ghoin” diucapkan dengan “G”.
Sementara itu huruf “Dzal” diserap menjadi “Z”. Hal ini banyak terjadi dalam penyerapan bahasa Arab ke Indonesia. Misalnya إذن pakai “Dzal” diucapkan “Izin” pakai “Z”. Kemudian juga لذة pakai “dzal” diucapkan “Lezat” pakai “Z”, عذر juga pakai dzal tapi dibaca “Uzur”, pakai “Z” dan masih banyak lagi.
Jadilah kata غذى itu diucapkan dengan “GIZI” oleh lidah kita.
Tiba tiba teman saya nyenggol, kamu baru tahu? Ketinggalan kamu ! itu sudah lama sekali.
Saya tertawa (untuk menutupi malu), tidak apa apa lah, yang barangkali ada teman teman saya yang belum tahu, dan menjadi bermanfaat. Amiin.
Wallahu A’lam
Alhamdulillahi robbil ‘aalamiin
Kertanegara, Sabtu Pon, 29 Desember 2018 M/ 21 Rabi’ul Akhir 1440 H
Wawan Setiawan
Catatan : Hal ini tentu saja membutuhkan penelitian yang mendalam oleh para pakar bahasa. Kami hanya melihat kemiripan kemiripan dalam kata dan makna saja.