Kisah Perpindahan Kiblat dari Baitul Makdis ke Ka’bah
Bismillaahir rahmaanir rahiim
Bulan Sya’ban adalah bulan perpindahan Kiblat. Semula Kanjeng Nabi dan para sahabat shalat menghadapat Baitul Maqdis. Meskipun sebenarnya hati beliau, menginginkan shalat menghadap ke Ka’bah. Bagaimanapun Ka’bah adalah kiblat leluhur beliau, Nabi Ibrahim ‘Alaihis salam.
Namun beliau, menerima perintah Allah dengan taat dan sungguh sungguh. Tetapi, beliau berusaha, ketika shalat, menghadap ke Baitul Maqdis, sekaligus bisa menghadap Ka’bah. Hal ini bisa dilakukan, karena jika shalat di sebelah selatan Ka’bah, maka arah kiblatnya adalah Baitul Maqdis, tetapi sekaligus menghadap Ka’bah.
Tapi ketika Nabi Hijrah ke Madinah (semula bernama Yatsrib), hal itu tidak bisa dilakukan oleh Nabi. Sebab Madinah berada di antara Makkah dan Baitul Maqdis. Makkah ada di sebelah selatan. Sedangkan Baitul Maqdis di sebelah utara.
Maka, di Madinah, Nabi kadang kadang memandang langit. Beliau menanti nanti, kiranya Allah memerintahkan beliau agar shalat menghadap Ka’bah. Beliau “tidak berani” meminta kepada Allah. Sungguh “tata krama” seorang hamba yang sangat istimewa. Padahal beliau adalah hamba dan Rasul yang paling dicintai Allah.
Mengenai pengangkatan derajat Nabi pada bulan Sya’ban, dapat dibaca di https://www.mqnaswa.id/mengapa-syaban-disebut-bulannya-nabi/
Tetapi Allah adalah Dzat yang Maha Mengetahui, Maha Mengasihi, apalagi kepada hamba yang dipujinya sebagai manifestasi Kasih Sayang Allah “Tidaklah aku mengutusmu (Muhammad) kecuali sebagai rahmat untuk alam semesta”. Akhirnya yang dinantikan pun datang. Allah menjawab keinginan hati beliau.
Malaikat Jibril turun membawa perintah Allah sebagaimana dalam Al-Qur’an Surat Al-baqarah/2 : 144 :
قَدْ نَرٰى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاۤءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ
Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidilharam
Ayat ini turun pertengahan bulan Sya’ban, pada waktu dhuhur. Ketika itu Rasul sedang berada di kampung Bani Salamah. Di situlah shalat pertama kali yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan menghadap Ka’bah. Masjid tersebut kemudian dinamakan Masjid Qiblatain (Masjid dua kiblat), kemudian Rasul shalat ‘Ashar di masjid Nabawi. Sedang penduduk Quba’ baru merubah kiblat ke arah Ka’bah ketika menunaikan shalat Shubuh, setelah kabar tentang perubahan kiblat sampai kepada mereka. [1]
Jika kita mememerhatikan ayat di atas, tampaklah “indahnya adab” Rasulullah shallallahu ‘alaihi Wasallam dan “agungnya kemuliaan” yang dianugerahkan Allah ta’ala kepada beliau. Ayat itu berkata, “Sungguh kami melihat engkau, terkadang melihat ke langit” (karena mengingkinkan kiblat, tapi tidak berani meminta). Lihatlah gerak gerik Nabi yang memandang ke langit, dijadikan ayat suci yang jika dibaca setiap hurufnya berlipat 10 kali kebaikan bahkan lebih. Getaran hati Nabi mendapat perhatian dari Allah dan seolah menjadi “alasan” Allah memutuskan memindahkan kiblat.
Guru kita menjelaskan, sebenarnya perpindahan Kiblat adalah ketetapan Allah yang sudah ada sejak zaman azali. Bahwa kiblat itu pasti akan menghadap ke Ka’bah. Tetapi dalam ayatnya seolah-olah Allah memindahkan kiblat karena mengabulkan keinginan Nabi. Perhatikanlah ayatnya “kami palingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai”. Ini karena Allah ingin menunjukkan kepada kita betapa mulianya Kanjeng Nabi di sisi Allah ta’ala dan betapa Allah mengasihi Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam .
Sampai sampai Sayidah Aisyah berkomentar :
مَا أَرٰى رَبَّكَ إِلَّا يُسَارِعُ فِى هَوَاكَ
“Aku tidak melihat Tuhanmu, kecuali ia selalu segera mengabulkan apa yang engkau inginkan” (HR. Al-Bukhari).
Memang demikian kenyatannya, karena Allah ta’ala sendiri yang berfirman :
وَلَسَوْفَ يُعْطِيْكَ رَبُّكَ فَتَرْضٰى
“Dan kelak Tuhanmu pasti akan memberikan karunia kepadamu, sampai hatimu merasa ridha (senang) (QS. Adl-Dluha/93 : 5).
Demikian itu karena tidak ada apa pun yang dikatakan dan dilakukan oleh Rasul, kecuali semata menginginkan ridla (senangnya) Allah. Sampai sampai ketika beliau mengalami cobaan yang sangat berat, hinaan, caci maki bahkan dilempari batu hingga beliau berlari lari mencari tempat berlindung, beliau hanya berkata, “Akan Engkau bawa kemana diriku. Di kampungku (Makkah) aku di musuhi, di sini (Thaif) aku dilempari. Tapi asal Engkau ridla, asal Engkau tidak marah kepadaku, maka aku tidak peduli.
[1] Rasul (hijrah) tiba di madinah hari Senin, 12 Rabi’ul Awwal. Sedangkan perpindahan kiblat terjadi pada tanggal 15 Sya’ban tahun kedua hijrah, hari Selasa. Jadi setelah sampai di Madinah Rasul shalat menghadap Baitul Maqdis selama 17 bulan 3 hari. Wallahu A’lam.
Wallahu A’lam
Alhamdulillaahi robbil ‘aalamiin
Kertanegara, Sabtu Pon, 13 April 2019 M / 07 Sya’ban 1440 H
Wawan Setiawan