Isteri yang Setia dari Imam Ahmad bin Hajar

2 min read

Isteri yang setia pasti menjadi dambaan setiap insan. Salah satu contoh wanita yang layak dijuluki isteri yang setia adalah isteri Imam Ahmad bin Hajar. Inilah kisahnya.

Bismillaahir rahmaanir rahiim

Ahmad bin Hajar adalah seorang yang kita kenal akan ilmunya yang bak samudera. Luas dan dalam. Luasnya sulit diukur, dalamnya sukar diterka. Namun, sebenarnya, pada masa masa belajar ia mengalami kesulitan yang besar. Ia seringkali merasa sangat sulit dalam memahami pelajaran.

Kesulitan itu bukan sekali dua beliau rasakan, berkali kali, berpuluh kali, bahkan pada banyak sekali pelajaran beliau tidak juga dapat memahami dan menguasainya dalam waktu yang lama, atau sangat lama.

Hal ini membuat beliau hampir saja berputus asa. Namun di tengah perasaan kecewa pada kemapuannya sendiri itu, Allah membuka hatinya. Allah memberinya petunjuk dengan melihat batu. Batu yang berlubang karena tetesan air hujan yang terus menerus.

Ia melihat, batu yang sangat keras sekalipun, bisa cekung, walaupun hanya terkena air, setetes demi setetes. Sepertinya Allah memberikan “futuh” (keterbukaan hati) bersama tetesan air hujan itu. Ia kembali bersemangat. Ia kembali menekuni ilmunya. Dan dengan kehendak Allah pada akhirnya ia menjadi seorang kibaarul ulama. Pembesar para ulama.

Setelah berumah tangga, ia hidup dalam kesederhanaan. Lebih tepatnya kemiskinan. Ulama memang berbeda beda dalam memilih jalan kehidupan. Semuanya adalah contoh dan teladan untuk kita.

Saking sederhananya, bertahun tahun beliau tidak pernah makan daging. Makan  beliau sehari hari bersama isteri hanya “seperti itu itu saja”, sangat sederhana. Mungkin beliau benar benar mempraktikkan do’a Nabi dalam pengertian lahirian dan batiniah. Sebagaimana kita tahu, Nabi pernah berdo’a : “Hidupkanlah hamba dalam keadaan miskin, wafatkan hamba dalam keadaan miskin, dan kumpulkan hamba bersama orang-orang miskin”.

Saking miskinnya, sampai sampai, ketika isteri beliau ingin berendam di air panas, harus menunggu lama. Untuk beli tiketnya, beliau harus menabung terlebih dahulu.

Setelah mengumpulkan uang sekian lama, berangkatlah mereka ke pemandian air panas. Sayang sekali,

“Maaf, anda tidak dapat masuk” kata petugas pemandian itu.

“Mengapa ?”

“Pemandian ini sudah di-charter untuk isteri Syaikh Ramli. Ia beserta teman temannya akan berendam hari ini”

Isteri Imam Ahmad bin Hajar pulang dengan membawa rusuh di wajah sepanjang perjalanan. Imam Ibnu Hajar hanya diam, ia mengerti isterinya sangat kecewa.

Benar saja, sampai di rumah, kekecewaan itu pecah.

“Sebaik baik ilmu adalah milik Imam Romli. Ilmunya menjadikan ia sangat terhormat. Sampai sampai ia menyewa seluruh pemandian untuk isterinya. Tidak seperti ilmumu. Tetap saja tidak bisa mengantarkan aku berendam di air panas, meski sudah sekian lama aku bersabar”

Si isteri rupanya belum puas, sangat gusar, ia menambahi, “Nih, ambil kembali saja, uang yang sama sekali tidak berguna” seraya mengembalikan uang kepada Ibnu Hajar.

Ibnu Hajar berkata, “Inilah kehidupan yang ditetapkan Allah untukku. Ini pula kehidupan yang aku senangi. Tapi, jika engkau menginginkan uang dan semua kesenangan yang kau katakan, aku siap”

“Apa maksudmu” kata si isteri. Tapi ia mengikuti saja ketika Imam Ibnu Hajar membawanya ke arah sumur.

Sampai di sumur, Imam Ahmad bin Hajar mengulurkan timba. Ketika ia menariknya, penuhlah timba itu dengan dinar (uang emas). Ia mengulurkan timba lagi, dinar lagi. Sampai tiga kali ia menarik timba. Penuh dan bertumpuklah dinar dinar itu di hadapan si isteri.

“Ambillah” kata Imam Ibnu Hajar

“Boleh aku mengambilnya ?” tanya si isteri

“Tentu saja boleh. Tapi setelah itu engkau aku ceraikan. Isteri isteri Nabi pun disuruh memilih. Apakah mereka memilih bersama Nabi dalam kesulitan, atau memilih kesenangan dan kekayaan”.

Kisah tentang isteri Nabi, Ibunda Aisyah Radhiyallahu ‘Anha yang kehilangan Nabi dapat anda baca di : https://www.mqnaswa.id/saat-ibu-aisyah-kehilangan-nabi/

Isterinya tampak bingung, “Bolehkah aku ambil sebagian saja. Setidaknya kita bisa menyewa pemandian pada kesempatan berikutnya”

“Tidak” kata Imam Ahmad.

“Wahai Imam. Ambillah sedikit saja”

“Tidak. Kita hidup dalam keadaan cukup dengan rizki Allah. Kita kembalikan semua dinar ini, atau kita berpisah. Itulah pilihannya” kata Imam Ahmad bin Hajar.

Isterinya terlihat semakin bingung. Bagaimana pun ia ingin hidup “lebih senang”.

Imam Ahmad berkata, “Baiklah kalau engkau merasa susah hidup denganku. Ambillah semua dinar ini dan,,,”

“Tidak wahai Imam. Jangan tergesa engkau putuskan. Bertahun tahun aku telah tinggal bersamamu. Engkau orang yang shaleh. Engkau sangat baik. Kini sungguh aku meyakini engkau adalah orang yang dekat dengan Allah. Bagaimana mungkin aku meninggalkanmu. Aku memilih bersamamu dan bersabar dengan segala keterbatasan hidup ini”.

Demikian sifat isteri imam Ahmad bin Hajar. Ia seperti wanita atau manusia pada umumnya yang menginginkan kesenangan kesenangan dan kesal ketika tidak bisa mendapatkannya. Tapi, ia sungguh seorang isteri yang setia.

 

Wallaahu A’lam

Alhamdulillaahi robbil ‘alamin

Kertanegara, Kamis Pahing, 19 September 2019 M / 19 Muharram 1441 H

Wawan Setiawan

 

Sumber : Tuhfatul Asyraf

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *