Nasruddin adalah seorang yang sangat tekun beribadah, sehingga suatu kali ia sampai lupa untuk mencari nafkah, sedangkan persediaan uang serta bahan makanannya telah habis. Tentu saja sang isteri marah marah kepadanya.
Ia berkata kepada Nasruddin, “Baik, berdoalah terus kepada Tuhan. Sekarang kita tidak punya apa pun untuk dimakan. Terus berdoa saja. Minta pada Tuhan, barangkali engkau bisa mendapatkan uang dari Tuhan”
Mendengar iserinya yang marah marah, Nasruddin malah menjawab, “Aku pikir kamu benar. Baiklah aku akan berdo’a kepada Allah, mudah mudahan Dia memberi kita uang”.
Maka Nasruddin pergi ke belakang rumah, ia mencari tempat yang sepi. Dan berdo’a di sana. Awalnya dengan suara yang perlahan, namun tanpa di sadari lama kelamaan suaranya menjadi keras. “Ya Tuahn, berikanlah 100 keping emas untuk hamba. Hamba sudah sangat lama berdo’a. Hamba kira hamba pantas untuk mendapatkannya. Hamba malu kepada isteri hamba”.
Tetangga Nasruddin adalah seorang yang kaya, tapi pelit. Ia mendengar suara do’a Nasruddin dari belakang rumah. Ia tersenyum sinis melihat keadaan Nasruddin. Ia pikir itu adalah hal yang sangat bodoh sekali. Tiba tiba muncul pikiran iseng dalam benaknya.
Ia mengambil 100 keping uang perak dari dalam lacinya. Ia masukan dalam kain lalu diikat. Kemudia n ia pergi ke belakang dan melemparkan uang itu hingga mengenai kepala Nasruddin. Nsaruddin sangat terkejut, yang membuat tetangganya sangat senang. Tapi sejurus kemudian terdengar Nasruddin berterima kasih kepada Tuhan, meskipun pemberianNya tidak sesuai dengan apa yang diminta. Bagiaimana pun mendapat 100 keping perak masih lebih baik daripada tidak mendapat apa apa. Si tetangga semakin lucu mendengarnya.
Nasruddin memberikan sebagian uang itu kepada isterinya dan sisanya ia membelanjakan barang dagangan yang murah murah. Tidak dinyana ternyata dagangannya laris, sehingga ia mendapat keuntungan yang lumayan. Bahkan ia bisa membeli beberapa perkakas / perabot untuk rumah tangganya.
Melihat hal itu, si tetangga jadi sangat kesal. “Bagaimanapun uangku harus kembali” pikirnya. Maka ia pun mendatangi rumah Nasruddin.
“Nasruddin, ketika kamu berdo’a di belakang rumah beberapa waktu yang lalu, aku mendengar do’a mu. Dan akulah yang melemparkan 100 koin perak itu kepadamu. Itu adalah uangku. Bukan uang dari Tuhan”
Nasruddin menjawab, “Apa engkau punya bukti bahwa itu adalah uangmu?”
Si tetangga menjawab, “Tentu saja aku tidak ada bukti. Bukankan mustahil Tuhan melemparkan uang? Uang 100 keping perak tidak ada artinya bagiku. Aku hanya ingin bermain main. Tapi kini engkau menghasilkan usaha dari uang itu. Aku ingin bagi hasil, atau aku mengambil semua perabotmu? Karena itu adalah uangku”
Nasruddin menjawab, “Apakah Tuhan tidak mampu memberi uang kepada hambaNya?”
Si tetangga berkata, “Tentu saja Tuhan mampu, tapi itu adalah uangku. Sudahlah, jika engkau bekeras aku akan menuntutmu di pengadilan. Aku akan mencari keadilan”
Nasruddin berkata, “Tentu saja, kita lebih baik mencari keadilan dari seorang hakim”
Maka keesokan harinya si tetangga menjemput Nasruddin untuk diajak ke pengadilan. Si tetangga mengenakan pakaian yang mewah dan keledai yang gemuk.
Nasruddin berkata, “Bukankah engkau ingin mencari keadilan?”
Tetangga menjawab, “Ya. Tentu saja”
“Bagaimana mungkin hakim akan memberikan keadilan, jika melihat engkau berpakaian sangat mewah dan keledai yang sangat bagus. Sementara pakaianku lusuh dan keledaiku pun kurus. Aku takut hakim akan memutuskan dengan tidak adil karena melihat kekayaanmu”
“Lalu apa maumu.”
“Berikan aku jubah yang indah dan keledai yang bagus, seperti yang kau kenakan. Bukankah kau memiliki banyak pakaian dan keledai yang bagus bagus”
“Baiklah aku akan meminjamimu” Kata tetangga itu.
Maka berangkatlah mereka berdua menuju pengadilan dan menghadap kepada hakim.
Hakim berkata, “Nasruddin, tetanggamu melaporkan bahwa kamu telah menggunakan uangnya, 100 keping perak. Dia menuntutmu untuk mengembalikan. Jika tidak maka perabot rumahmu akan disita. Aku beri kesempatan padamu untuk membela diri”.
Nasruddin maju dan berkata, “Yang mulia, tetanggaku ini agak kurang waras. Segala apa saja sering diakui menjadi miliknya. Tidak heran jika ia melaporkanku demikian kepada yang mulia”
Hakim, “Kamu menuduh demikian apa kamu punya bukti”
“Tentu saja, saya bisa membuktikan. Dia selalu merasa memiliki apa yang dipakai orang lain. Termasuk pakaian dan keledai yang aku bawa pun, dia akan merasa itu adalah milikya”
Si tetangga menyergah, “Yang mulia. Tapi itu adalah benar. Pakaian dan keledai yang dibawanya adalah milikku. Aku meminjamkan kepadanya”
Nasruddin menjawab, “Betulkan yang mulia?”
Maka hakim pun memercayai Nasruddin dan memenangkan kasusnya. Nasruddin dibebaskan dari segala tuntutan.
Alhamdulillaahi robbil ‘aalamiin
Kertanegara, Ahad Legi, 10 Februari 2019 M / 5 Jumadil Akhir 1440 H
Wawan Setiawan
Diterjemah secara bebas dari Nasreddin The Clever Man