Kisah raja Harun Ar Rasyid tentang adab memuliakan guru
Bismillahir rahmaanir rahiim
Bukhoro adalah sebuah kota di tengah Negara Uzbekistan. Kota itu telah melahirkan banyak sekali ulama dunia. Misalnya Imam Bukhori, imamnya ahli hadits. Syaikh Bahauddin Naqsyabandi, Imamnya para murid yang meniti jalan menuju kedekatan dengan Allah. Bukhoro memang kota yang berkah.
Pada suatu hari, salah seorang pembesar ulama di kota Bukhoro sedang mengajar murid muridnya. Ia adalah seorang syaikh yang memiliki murid yang sangat banyak. Setiap ta’lim (pengajarannya) selalu dihadiri ratusan santri dan penuntut ilmu. Semua orang memuliakannya. Karena ilmu dan keteladanan beliau yang sangat tinggi.
Pada suatu hari, ketika beliau sedang mengajar. Tiba tiba beliau menghentikan pelajarannya, kemudian berdiri. Beliau berdiri beberapa lama, hingga para jamaah terheran heran. Karena beliau hanya berdiri saja, diam memandang ke arah jurusan tertentu. Lalu duduk lagi dan meneruskan pelajaran. Maka ketika selesai pelajaran, sebagaimana biasanya sang Syeikh membuka forum dialog / tanya jawab. Dalam sesi itu Syeikh biasanya meminta kefahaman dari para murid sekaligus member kesempatan bila ada yang ingin bertanya.
Maka ada seorang santri yang memberanikan diri bertanya, “Tuan, mengapa di tengah tengah pelajaran, tuan berdiri. Beberapa lama, namun kami tidak melihat tuan melakukan apa pun kecuali berdiri. Lalu tuan duduk seperti semula. Tidak pernah hal ini kami lihat sebelumnya”
Sang Syeikh menjawab, “Aku melihat anak kecil di seberang jalan sana. Ternyata dia adalah putra guruku. Ia sedang bermain main. Maka aku berdiri untuknya. Karena aku menghormati guruku.
Dalam tradisi pesantren, seorang penuntut ilmu pada permulaannya memiliki tugas utama. Bukan menghafal qur’an, bukan menelaah ilmu, tapi memuliakan ilmu dan guru. Hal ini berlaku pada siapapun. Bahkan terhadap anak raja sekalipun.
Kita mengenal eorang raja yang sangat terkenal akan keadilannya. Ia bernama Harun Ar Rasyid. Ia sangat masyhur. Semasyhur teman yang sering menasihatinya, Abu Nawas. Nama Harun As Rasyid dan Abu Nawas menjadi abadi dalam kisah kisah hikmah yang bertebaran hingga kini. Masa raja Harun Ar Rasyid adalah masa keemasan dinasti Abasiyah. Bahkan pembesar Romawi pun memuliakannya.
Alkisah, raja Harun Ar Rasyid memiliki seorang putera. Ia mengirimkan puteranya ke pesantren agar sang anak mendapat keberkahan ulama. Agar ia memahami ilmu ilmu kehidupan. Dan terutama agar ia memiliki adab dan karakter yang baik untuk bisa memimpin. Pesantren itu dipimpin oleh syeikh Asmu’i.
Pada waktu senggang raja datang ke pesantren Syeikh Asmu’i untuk silaturahmi sekaligus melihat perkembangan putranya. Sesampai di pesantren ternyata menjelang waktu shalat. Maka raja menuju sumur tempat para santri mengambil air wudlu.
Ketika di sumur itu raja melihat syeikh Asmu’i sedang berwudlu. Ternyata ditemani oleh puteranya. Putera raja Harun Ar Rasyid. Syeikh Asmui sedang menggosok kakinya sendiri sedangkan putera raja yang menuangkan airnya. Selesai wudlu dan shalat pun didirikan. Kemudian raja menemui Syeikh Asmu’i.
“Wahai syeikh aku ingin mengeluh kepadamu” kata raja serius tapi dengan cara setengah bercanda.
“Apa ada kesalahanku kepadamu tuan raja” Tanya syeikh.
“Ya. Jelas sekali. Bukan langsung kepadaku. Tapi kepada anakku” kata raja
“Jelaskanlah. Apa kesalahanku”
“Aku mengirim anakku ke pesantren ini untuk kau didik adab dan ilmu. Sementara tadi aku melihat engkau berwudlu menggosok kakimu dan anakku menuangkan air untuk wudlumu. Seharusnya, engkau menyuruh agar, tangan kiri anakku menuangkan air dan tangan kanan anakku yang menggosok kakimu”.
Wallahu A’lam
Alhamdulillaahi robbil ‘alamin
Kertanegara, Rabu Legi, 20 Februari 2019 M / 15 Jumadil Akhir 1440 H (Repost)
Wawan Setiawan