Pengajian Kitab Ushfuriyah bagian ke-5 tentang Sayidina Ali dan orang tua beragama Nasrani
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكِ رَضِيَ اللهُ تَعَالٰى عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ اللهَ يَنْظُرُ إِلٰى وَجْهِ الشَّيْخِ صَبَاحًا وَمَسَاءً وَيَقُوْلُ يَاعَبْدِيْ قَدْ كَبُرَ سِنُّكَ وَرَقَّ جِلْدُكَ وَدَقَّ عَظْمُكَ وَاقْتَرَبَ أَجَلُكَ وَحَانَ قُدُوْمُكَ إِلَيَّ فَاسْتَحْيِيْ مِنِّيْ فَأَنَا أَسْتَحْيِيْ مِنْ شَيْبَتِكَ أَنْ أُعَذِّبَكَ فِى النَّارِ .
Dari Sahabat Anas bin Malik Radhiyallaahu Ta’aala ‘Anhu berkata : Berkata Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam : Sesungguhnya Allah melihat wajah orang yang sudah tua pagi dan sore hari seraya berkata, “Wahai hamba-Ku, usiamu telah tua, kulitmu sudah menipis, tulang-tulangmu sudah remuk, ajalmu telah dekat dan tiba waktunya engkau datang kepada-Ku. Maka malulah kepada-Ku. Sesungguhnya Aku malu kepada uban di kepalamu jika Aku menyiksamu di neraka”.
Dikisahkan sesungguhnya Sayidina Ali Radhiyallaahu Ta’aalaa ‘Anhu, berjalan cepat menuju shalat jama’ah Shubuh. Di tengah perjalanan menuju masjid beliau bertemu seorang yang sudah lanjut usia berjalan dengan sangat pelan.
Sayidina ‘Ali Radhiyallaahu ‘Anhu tidak mau mendahuluinya karena memuliakan “usia” orang tersebut yang sudah tua. (Karena jalan yang sangat pelan dan lama) hingga dekatlah waktunya terbit matahari.
Ketika sudah dekat dengan pintu masjid, ternyata orang tua tersebut tidak masuk (ke dalam masjid). Mengertilah Sayidina ‘Ali Radhiyallaahu Ta’aalaa ‘Anhu bahwa orang tua itu adalah orang Nasrani. Maka Sayidina ‘Ali segera masuk ke dalam masjid. Ternyata Rasulullaah Shallallaahu ‘Alaihi Wa Sallam masih dalam keadaan ruku’ (raka’at pertama). Rasulullah ruku’ sangat lama. Beliau ruku’ lamanya kira-kira seperti orang yang shalat dua raka’at. Sehingga Sayidina ‘Ali bisa mengikuti (jama’ah shalat shubuh dengan sempurna/ tidak tertinggal).
Ketika selesai dari shalat, (Sayidina ‘Ali)
berkata, “Ya Rasulullah, mengapa engkau memanjangkan ruku’ dalam shalat ini.
Engkau belum pernah melakukan hal ini sebelumnya?”
Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wa
Sallam berkata, “Ketika aku ruku’ dan membaca Subhaana Robiyal ‘Adhiimi sebagaimana
biasanya, dan aku hendak mengangkat kepalaku, datanglah malaikat Jibril ‘Alaihis salamyang meletakan sayapnya
di punggungku. Dia menahanku lama sekali. Ketika Jibril mengangkat sayapnya,
maka aku pun (baru bisa) mengangkat kepalaku (untuk i’tidal)”.
Para sahabat bertanya, “Mengapa Jibril Alaihis
Salaam melakukan hal seperti itu?”
Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wa
Sallam menjawab, “Aku belum bertanya kepadanya tentang hal itu”.
Maka datanglah malaikat Jibril ‘Alaihis Salaam dan berkata, “Wahai Muhammad, sesungguhnya ‘Ali bersegera untuk mengikuti shalat berjama’ah. Dia bertemu dengan orang tua Nashrani di jalan, sedang dia tidak mengetahui bahwa orang tersebut nasrani. ‘Ali memuliakannya karena usianya yang sudah lanjut. ‘Ali tidak mendahuluinya karena menjaga haknya. Maka Allah Ta’aalaa memerintahkan kepadaku agar menahanmu dalam ruku’ sehingga ‘Ali bisa mendapatkan shalat berjama’ah. Hal ini bukanlah sesuatu yang menakjubkan. Yang lebih menakjubkan lagi, sesungguhnya Allah Ta’aalaa memerintahkan Mikail untuk menahan matahari dengan sayapnya agar tidak terbit dalam waktu yang lama karena (menunggu) ‘Ali”.
Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wa Sallam berkata, “Ini adalah derajat (keluhuran) menghormati orang yang sudah tua padahal dia itu orang Nasrani”. Apalagi jika orang tua itu adalah seorang yang beriman dan taat. Tentulah perhatian dan rahmat Allah kepadanya sangat besar.
(Sebagaimana Hikayat yang lain).
Guru dari Abu Manshur Al-Maturidi Rahimahullaahu Ta’aalaa telah berusia 80 tahun dan sedang sakit. Ketika telah dekat waktu wafatnya, beliau memerintahkan kepada muridnya, yakni Abu Manshur Al-Maturidi, untuk mencari seorang Budak (Hamba Sahaya) yang sudah berusia 80 tahun seperti dirinya dan belum dibebaskan oleh tuan (pemiliknya). (Jika menemukan) maka Abu Manshur diperintah untuk membeli/ menebus dan membebaskannya.
Maka Abu Manshur mengelilingi kota untuk mencarinya. Namun sampai seluruh kota dijelajahi, tetap belum ditemukan. Setiap orang yang ditanya, mereka menjawab, “Bagaimana mungkin kamu menemukan seorang hamba sahaya/budak yang sudah berumur 80 tahun tapi belum dibebaskan oleh tuannya?”
Abu Manshur pun kembali kepada Gurunya untuk “matur” dan menyampaikan apa yang dikatakan masyarakat (bahwa tidak mungkin ada Budak yang berumur 80 tahun yang masih dipekerjakan dan belum dibebaskan Tuannya).
Mendengar ucapan muridnya itu, Sang Guru meletakkan kepalanya di tanah (bersujud), seraya bermunajat kepada Allah, “Ya Allah, Tuhan hamba. Sesungguhnya makhluk-Mu (manusia) tidak termasuk orang yang mulia jika dia memiliki seorang Hamba sahaya yang sudah berumur 80 tahun dan belum dibebaskan. Pastilah mereka sudah membebaskannya. Maka bagaimana mungkin Engkau tidak membebaskan hamba dari api neraka, sedangkan Engkau Maha Mulia, Maha Dermawan, Maha Agung, Maha Pengampun dan Maha Menerima (amal yang sedikit/kurang).
Maka Allah Ta’aala pun membebaskannya (dari adzab) karena keindahan munajatnya.
Hikmah yang dapat kita petik :
- Orang yang sudah tua mendapatkan perhatian khusus dari Allah, maka seyogyanya ia pun memberikan perhatian yang khusus kepada Allah. Hingga akhir hayat, kita tetap harus sungguh-sungguh untuk menambah amal shalih, seperti guru Abu Mansur yang memerintahkan muridnya mencari budak untuk dibebaskan.
- Mendahului orang tua di jalan (dengan sopan) bukanlah perbuatan dosa, tetapi Sayidina ‘Ali memilih untuk tidak mendahului, padahal orang tua itu jalan sangat pelan. Hal ini menunjukkan keluhuran Akhlak Sayidina Ali Ali Radhiyallaahu Ta’aalaa ‘Anhu yang sulit (jika tidak dikatakan mustahil) terjadi pada zaman sekarang. Sebab orang yang lebih tua memang berhak untuk dihormati yang lebih muda. Kami memiliki guru yang selalu mencium tangan orang yang sudah lanjut usia, tidak membedakan apakah itu orang alim atau awam. Tapi kemudian orang tua itu pun mencium tangan guru kami karena memuliakan ilmunya.
- Dalam shalat, imam boleh memanjangkan ruku’ dan sujud jika diketahui makmumnya rela akan hal itu. Tetapi karena Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wa Sallam tidak pernah melakukan ruku’ sedemikian lama, maka para sahabat menanyakannya. Tampaklah para sahabat ini orang yang haus akan ilmu dan Terlihatlah juga keharmonisan hubungan Guru dan murid, Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wa Sallam dan para sahabat.
Dua kisah di atas memerlihatkan hubungan guru dan murid yang berbeda. Dalam kisah Rasulullah, para sahabat digambarkan dengan sifat kritis dan bertanya kepada Rasul. Tapi pada kisah Abu Mansur, sang murid diperlihatkan sangat taat menjalankan titah guru, meskipun yang diperintahkan itu sesuatu yang mustahil (mencari budak berusia 80 tahun). Dua sifat “kritis” dan “taat” ini memang paduan yang tepat. Dan keduanya memiliki hikmah masing masing.
- Jika kita memandang dalam ilmu sains, sulit memahami cerita di atas. Bagaimana mungkin matahari ditahan padahal bumi yang berputar?. Maka kita katakan, “Segala sesuatu itu terjadi sesuai dengan kehendak dan kekuasaan Allah ‘Azza wa Jalla”. Kita mengambil manfaat dan hikmah yang ada di dalamnya. Sesuatu yang mustahil (menurut akal kita) bukan berarti sesuatu itu tidak mungkin terjadi dalam wilayah kekuasaan Allah Ta’aalaa.
- Do’a yang terbaik itu dari Al-Qur’an, Hadits Nabi dan Atsar Para Sahabat, namun para ulama pun banyak menyusun do’a (munajat) sendiri sebagaimana Guru dari Imam Abu Manshur Al-Maturidi dalam kisah ini. Bermakna juga, Syari’at Islam memberi kelonggaran kepada umatnya untuk kreatif dan menyusun do’a-do’a yang indah yang sesuai dengan keadaan masing-masing meskipun (secara tekstual) tidak ada dalam Al-Qur’an dan Hadits.
Dan masih banyak lagi hikmah yang lainnya. Wallaahu A’lam.
Wallahu A’lam.
Alhamdu lillahi robbil ‘alamin
Kertanegara, Sabtu Pon, 9 Maret 2019 M / 2 Rajab 1440 H
Wawan Setiawan
Kisah tentang Karomah Sayidina Ali dapat di baca di : https://www.mqnaswa.id/karomah-sayidina-ali-bin-abi-thalib-karomallahu-wajhah/
One Reply to “Kisah Sayidina Ali dan Orang Tua Nasrani”