Kisah ulama yang menjaga kemuliaannya, bahkan di hadapan seorang raja/ penguasa
Bismillaahir rahmaanir rahiim
Di masa lalu, salah seorang sultan dari Daulah Utsmani (Ottoman) sering menghadiri sebuah majelis tarekat yang dibimbing oleh seorang ulama/ Syeikh. Tarekat adalah suatu metode pendidikan yang tujuan utamanya adalah agar murid menjadi dekat dengan Tuhan. Selalu ingat pada-Nya dan memiliki hubungan yang Intens dengan-Nya. Secara singkat tarekat adalah pendidikan bagi para murid mempraktikkan ihsan, berbuat seolah melihat Tuhan, atau merasa diawasi oleh Tuhan.
Sultan menyaksikan bagaimana para murid berdzikir berjamaah, menyenandungkan shalawat dan puji pujian, sehingga sultan merasakan suasana yang berbeda menyelimuti hatinya. Bahkan, ketika sultan mendengarkan shuhbah, pengajaran dari Syeikh untuk para murid, ia menjadi sangat tercerahkan.
Selang beberapa bulan, sang Sultan berkata kepada Syaikh, “Saya sangat terkesan dan terinspirasi setiap kali berkunjung ke sini, juga terhadap Anda dan para murid Anda. Saya ingin membantu Anda dengan cara apa pun yang saya bisa. Silahkan mintalah apa saja pada saya”.
Ini merupakan tawaran yang sangat menggiurkan. Seperti sebuah cek kosong dari seorang milyarder. Sebuah carte blanche (blangko kosong) yang boleh diisi permintaan sesukanya. Ditawarkan langsung oleh penguasa salah satu kerajaan terbesar di dunia saat.
Sang Saikh menjawab tawarannya, “Ya, memang ada satu permintaan, wahai sultanku, yang bisa kau lakukan untukku”
“Katakan permintaanmu” Tanya Sultan
“Tolong jangan datang lagi kepada kami”
Sang sultan terkejut dan bertanya dengan menekan kekhawatirannya, “Apakah ada perbuatan saya yang salah? Saya memang belum memahami adab kaum sufi, dan saya mohon maaf seandainya telah menyinggung anda”
“Oh, bukan. Bukan begitu,” kata Syaikh.
“Sedikitpun engkau tidak menyinggungku. Masalahnya bukan terletak padamu. Masalah ada pada murid-muridku. Sebelum engkau datang, mereka berdo’a dan melantunkan asma-ul husna semata mata hanya untuk-Nya.
Sekarang, ketika mereka berdo’a dan berdzikir, mereka memikirkanmu. Mereka memikirkan bagaimana caranya menyenangkan hatimu. Membayangkan segala kekayaan dan kekuasaan yang bisa diraih oleh mereka yang berhasil memenangkan perhatianmu.
Bukan, sultanku, ini bukan kesalahanmu, melainkan kesalahan kami. Sayang sekali, jiwa kami belum cukup matang untuk menerima kehadiranmu di sini. Itulah sebabnya aku terpaksa memintamu untuk tidak datang lagi”.
Kita jadi teringat dengan beberapa kisah yang mirip. Suatu ketika habib Mundzir bin Fuad al Musawa, seorang ulama muda pimpinan Majelis Rasulullah, mendapat kunjungan dari Duta Besar Amerika Serikat. Pada pertemuan tersebut sang Duta Besar memberikan sumbangan yang sangat besar jumlahnya. Bahkan terbilang fantastis.
Tapi Habib berkata bahwa beliau tidak berkenan untuk menggunakan uang itu.
Maka beliau memerintahkan muridnya untuk membagi uang tersebut di beberapa pesantren yang di sekitarnya mulai banyak faham Ahmadiyah. Karena Habib tidak setuju dengan faham Ahmadiyah. Beliau ingin pesantren pesantren di wilayah itu lebih maju dan kuat”.
Bahkan para santri bisa menyaksikan sendiri hal hal seperti itu pada diri kiai mereka. Misalnya, pada musim kampanye partai pada pemilu pasca reformasi di Indonesia (Tahun 1999 / 2004). Ada seorang petinggi partai yang datang ke sebuah Rubath (pesantren).
Petinggi partai ini menawarkan bantuan yang sangat besar untuk pesantren. Bahkan jika sang Guru berkenan, beliau bisa langsung menerimanya saat itu juga. Cash. Asalkan, tentu saja, sang Guru dan murid muridnya yang tersebar di berbagai wilayah untuk mendukung partai tersebut.
Tapi sang Guru itu menolaknya. Ketika para santri bertanya, “mengapa ditolak? Bukankah bisa untuk membesarkan pondok?”. Sang guru itu menjawab, “Aku lebih menyukai uang 5.000, 10.000 dari kalian”.
Wallahu A’lam
Alhamdulillaahi robbil ‘alamin
Kertanegara, Kamis Pahing, 21 Februari 2019 M / 16 Jumadil Akhir 1440 H (Repost)
Wawan Setiawan