Landasan Kuat Memperingati Hari-hari Bersejarah

3 min read

Landasan Kuat sebagai dasar dan argumentasi yang kokoh dalam memperingati hari hari bersejarah dalam Islam.

Pengajian Kitab Maa Dzaa Fii Sya’ban Ke-1

Karangan : Sayid Muhammad bin Alwi Al-Maliki Al-Hasani

 

Bismillaahir rahmaanir rahiim

Al-Fatihah

Bismillaahir rahmaanir rahiim

Kita memulai mengaji kitab – Maadzaa Fii Sya’ban –  ini dengan memohon pertolongan kepada Allah yang menganugerahkan nikmat nikmat yang besar dan sempurna, serta nikmat nikmat yang lembut dan rahasia kepada kita semua di dunia hingga akhirat nanti.

Segala puji hanya milik Allah, Dzat yang menciptakan dan memelihara semesta alam, mengantarkan semua makhluk menuju kesempurnaan penciptaanNya. Shalawat salam semoga senantiasa terlimpah atas semulia mulianya para utusan, Sayidina Muhammad, juga atas keluarga dan sahabat beliau semuanya.

Amma Ba’du :

Sesungguhnya bulan Sya’ban adalah salah satu dari bulan yang mulia dan masa yang agung. Ia adalah bulah yang terkenal keberkahannya dan melimpah kebaikannya. Dalam bulan ini, Taubat menjadi ghanimah (harta rampasan perang) yang paling agung, Ketaatan menjadi perdagangan terbesar yang paling menguntungkan. Allah menjadikan bulan ini, tempat menyimpan rahasia zaman. Kesentosaan menjadi jaminan bagi orang-orang yang bertaubat di bulan ini. Barangsiapa menyiapkan diri “bermujahadah / bersungguh sungguh” di bulan ini, ia akan memperoleh keberuntungan di bulan Ramadlan dengan sebaik baik “bingkisan”.

Dia dinamakan Sya’ban (bercabang) karena, darinya bercabang cabang kebaikan yang banyak. Ada yang berpendapat ia berasal dari kata “Syi’b” yakni jalan jalan di pegunungan, yakni maksudnya jalan jalan kebaikan. Ada yang berpendapat ia berasal dari kata “Sya’b” yang berarti “menautkan sesuatu yang sobek atau patah”. Maksudnya di bulan ini, Allah menautkan kembali hati hati yang patah / luka. Dan banyak lagi pendapat yang lainnya.

Risalah ini kami tulis menjelaskan seputar Sya’ban dan apa saja kejadian, sejarah, rahasia dan kemuliaan yang ada di dalamnya. Mengapa umat Islam bersuka ria dengan kedatangannya dan bersungguh sungguh menyambutnya dengan taubat, ibadah, ketaatan, beramal dengan berbagai macam amal shalih, menghidupkan hati hati mereka dengan dzikrullah, menziarahi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan memakmurkan baitullah dengan shalat, thawaf serta umrah.

Sebelum kita memasuki pokok pembahasan, kami menjadikan hal ini sebagai pendahuluan yang penting, sekaligus sebagai pembuka bagi masalah masalah dalam pembahasan Sya’ban ini.

Dan kepada Allah kami memohon taufiq

Salah satu kaidah yang telah ditetapkan di kalangan ahli ilmu adalah : “Sesungguhnya waktu itu menjadi mulia disebabkan suatu perkara yang terjadi di dalamnya”. Perkara itu menjadi asal (pokok) dalam menentukan “harga” dari waktu yang merangkum kejadian itu di dalamnya.

Dengan mengukur kemuliaan dari perkara itu, terukurlah kemuliaan dari waktu kejadiannya. Dengan melihat keutamaan perkara yang terjadi terlihatlah keagungan waktunya. Ketika keterkaitan manusia dengan kejadian itu kuat, dampak/ efek yang akan didapatkannya pun menjadi agung. Jadi keterkaitan dan dampak dari waktu itu adalah karena kejadian yang terjadi padanya.

Dari sini, secara jelas diketahui, sesungguhnya maksud pokok dari bab ini adalah “keterikatan umat dengan sejarah, dan pendalaman pemahaman keagamaan mereka terhadap kejadian-kejadian / peristiwa peristiwa keagamaan yang terjadi dalam bulan Sya’ban.

Betul, bahwasanya manusia berbeda beda tata cara dalam mengajak manusia menuju hakikat tujuan ini. Yakni, mereka tidak sepakat dalam satu jalan yang menyampaikan kepada tujuan. Tetapi maksud pokoknya/ tujuan utamanya – aku kira – tidaklah berbeda.

Dan –demikianlah- kami mengajak memahami keterkaitan umat islam dengan sejarah yang berhubungan dengan waktu yang dilalui oleh sejarah itu. Kami mengajak mereka menuju hakikat yang jernih, aqidah yang sahih, jalan yang lapang lagi lurus dan fitrah yang suci/ selamat, karena inilah sejarah kita dan kemuliaan kita.

Dari kaidah ini (sebagaimana disebut di atas), kita berpacu dalam setiap kebaikan, sikap berbakti dan kebiasaan yang baik, dan itu semua – dengan idzin Allah- dapat diterima (oleh seluruh lapisan masyarakat), karena semua itu berada dia atas qoidah (patokan) yang mendasar dan bersifat universal. Maka kita manfaatkan sebaik baiknya kesempatan emas tersebut dengan penuh semangat di setiap momentum untuk (kita dan umat Islam) mengingat sejarah dan masa lalu yang cemerlang agar diingat kembali dalam hati sanubari sebagai suatu pelajaran yang amat berharga.

Hal tersebut (mengingat, dan merasakan peristiwa sejarah masa lalu) adalah suatu pelajaran ilmiyah (pelajaran yang berdasar pada ilmu) yang mana perguruan tinggi manapun berikut para dosen dan mata kuliahnya, tidak akan mampu menyampaikan pelajaran tersebut. Atau sekolah manapun dengan berbagai macam metode dan sistemnya tidak akan mampu menjadikan manusia seakan-akan hidup, mengalami dan merasakan sebuah peristiwa yang sudah jauh berlalu, dan merasakan sentuhan peristiwa itu dengan hatinya, dengan akalnya dan dengan perasaannya.

Sesungguhnya ketika kita merayakan Maulid Nabi, peringatan Hijrah Nabi, peringatan Isra Mi’raj Nabi atau momentum yang terjadi pada bulan Sya’ban ini, hanyalah ingin mengajak manusia pada suatu ikatan dan keterhubungan akal, hati dan emosi mereka (diikat) dengan hakikat-hakikat peristiwa bersejarah yang memenuhi dan menghiasi sepanjang masa.

Hal itu sama sekali bukan mengkultuskan (mendewakan) masa/ waktu, bahkan mempertuhankannya, sama sekali tidak. Akan tetapi, hal itu dilakukan sebagai bentuk peng-agungan hamba kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala Dzat yang menciptakan waktu dan peristiwa yang terjadi pada waktu tersebut. Di samping itu, (peringatan-peringatan itu pun) juga sebagai bentuk peng-agungan kepada seseorang yang menjadi sebab terjadinya suatu peristiwa dan mempunyai andil besar dalam suatu peristiwa (yakni Nabi Muhammad Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam).

Kegiatan peringatan-peringatan tersebut adalah bentuk pengagungan orang mencintai (yakni umat Islam) kepada kekasih yang dicintainya (yakni Rasulullah), beliau adalah orang yang memiliki keutamaan,yang telah Allah pilih untuk menjadi aktor utama dalam setiap peristiwa dan sejarah.

Kami sungguh measa heran dengan pemikiran yang sempit, yang suka melupakan pemeran utama dalam semua peristiwa bersejarah (yakni Nabi Muhammad), yang mana sejarah tersebut terjadi karena beliau, untuk beliau, dan selalu berkaitan dengan beliau. Saya merasa heran dengan pemikiran yang hanya memandang sebuah peristiwa hanya peristiwa-nya saja, tidak memandang siapakah tokoh utama dalam peristiwa itu. Pemikiran yang demikian itulah hakikatnya sebuah bid’ah (karena semua sahabat, tabi’in dan generasi awal, selalu memerhatikan apa saja yang berhubungan dengan Nabi), bahkan pemikiran yang dangkal seperti itu merupakan pembodohan yang mendasar dan pendangkalan dalam berfikir.

Sesungguhnya, kita sama sekali tidak meng-agungkan suatu waktu, karena waktu itu sendiri. Mengangungkan suatu tempat, semata karena tempat itu sendiri. Karena jika demikian, maka hal itu termasuk dalam kategori syirik (karena kita mengagungkan kepada selain Allah ta’ala).

Akan tetapi, kami memandang lebih tinggi dari itu, lebih besar dan lebih agung. Kita tidak menghormati sesuatu (masa dan seseorang) karena dzatnya dan jisim (fisik) nya.Tapi kami mengagungkan karena melihat maqom (kedudukannya di sisi Allah), derajatnya (di sisi Allah), pangkatnya (di sisi Allah), martabatnya (disisi Allah), kecintaannya kepada Allah dan kecintaan Allah padanya. Maka apakah dosa hal semacam itu ?

Maha suci Engkau ya Allah, ini adalah kebohongan yang besar.

 

Wallahu A’lam,
Alhamdulillaahi robbil ‘alamin

Kertanegara, MQNaswa, 29 Maret 2021
Wawan St

 

Pengajian Kitab Abuya : Tahqiiqul Amal

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *