Makna “Diam” dalam Penjelasan KH. Irfa’i Nahrawi QS.

4 min read

Setiap malam Ahad, Kiai Irfa’i biasa mengumpulkan murid muridnya untuk ngaji. Karena rata rata pesertanya adalah pemuda dan pemudi, maka Abah Irfa’i menggunakan metode CBSA-T Cara Belajar Santri Aktif – Terkendali. He he,,, ini adalah istilah saya saja.

Maksudnya kami disuruh bermusyawarah terlebih dahulu untuk memahami tema yang akan dibahas. Dengan metode seperti itu, kami para murid, bisa berekspresi dengan berbagai pendapat dan pemikiran. Nah, barulah Abah Irfa’i memberikan penjelasan, sebagai pedoman agar pemahaman kami menjadi matang. Begitulah salah satu cara Abah dalam mendidik murid muridnya.

Biasanya pengajian malam Ahad berlangsung dari jam 20.00 sampai jam 04.00. Ya sampai pagi. Abah bersedia membimbing sampai pagi. Beliau memberikan penjelasan yang sangat luar biasa, meski dengan tema yang dianggap sangat sederhana. Seperti malam ini, malam Ahad, 25 Mei 2003 M/23 Ra. Awwal 1424 H. Tema yang diangkat adalah “DIAM”.

Kami diminta memahami sebuah bait dalam syair,

“Utawi syarate murid kang sejati – Iya iku ngelakoni wolung iji
Kaping pisan kudu meneng ing lisane – Supayane bisa kidik ing hisabe”

(Adapun syarat murid yang sejati – harus melaksanakan 8 perkara
Pertama lisannya harus diam – supaya sedikit hisabnya)

Apakah diam itu?

Apakah yang dimaksud diam hanya untuk mulut saja? Bukankah kita juga punya pikiran dan perasaan yang tidak bisa diam?

Mengapa kita harus diam? Apa manfaatnya ?

Bagaimana caranya agar kita bisa melakukannya sesuai dengan yang diajarkan Allah dan Rasulnya?

Itulah yang kami bicarakan pada malam yang indah bersama guru yang mulia.

 

Makna Diam ; bukan berarti tidak berkata kata.

Diam adalah suatu ajaran Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam yang sangat kita kenal. Sebagaimana sabdanya “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam”. Dari hadits itu menjadi fahamlah kita, bahwa ternyata diam identik dengan keimanan. Perkataan yang baik dan diam adalah wujud baiknya keimanan seseorang.

Allah swt berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ أمَنُوا اتَّقُُوْا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلًا سَدِيْدًا

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan berkatalah dengan perkataan yang tepat” QC. Al-Ahzab/33 : 70

Maksud ayat di atas adalah kita hendaknya tidak berbicara kecuali “Qowlan sadiida”.
Apakah Qoulan sadiidaa? Yakni perkataan yang BERMANFAAT dan TEPAT.

Apa maksud perkataan yang bermanfaat ?

Batasan minimal dari pengertian “perkataan yang bermanfaat” adalah tidak membahayakan/ merugikan diri sendiri dan orang lain. Ini merupakan batasan yang minimal/paling bawah. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘Alaihi Wasallam :

الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيِدِهِ

“Seorang muslim adalah orang yang muslim lainnya selamat dari (keburukan/ bahaya) lidah dan tangannya”.

Tentu lebih baik lagi jika perkataan itu membawa keselamatan bagi diri dan orang lain, seperti tampak jelas dalam hadits di atas.

Sedangkan makna “Tepat/ sesuai” adalah memahami situasi dan kondisi serta lawan bicaranya. Di mana dan dalam kondisi apa. Bicara di pasar harus berbeda dengan bicara di majelis guru. Berbicara dengan orang tua harus berbeda dengan ketika berbicara dengan anak anak. Bicara dengan ‘awwam berbeda dengan bicara dengan alim. Bicara ketika keadaan suka cita pun berbeda dengan ketika dalam suasana berkabung.

Adakalanya orang berbicara baik tapi malah dosa. Misalnya, menyenandungkan shalawat dengan merdu, tapi ia berada di dalam toilet. Atau mengatakan sesuatu yang baik tapi “menyalahi adab”. Misalnya, ada sebuah kisah, suatu ketika ada murid yang datang di hadapan guru, kebetulan, desanya baru terkena musibah. Entah banjir atau apa saja. Murid itu menceritakan musibah di kampungnya dengan berkata, “Alhamdulillah, Pak Kiai rumah saya selamat”. Ia pun mendapat teguran karena ucapan itu justru memperlihatkan sifat egoisnya. Inilah pentingnya memahami konteks sehingga bisa “berkata dengan Tepat”.

Jadi yang dimaksud dengan diam bukan sama sekali tidak berbicara. Tapi meninggalkan perkataan yang tidak bermanfaat. Karena ukuran banyak sedikitnya bicara adalah bukan dilihat dari banyak sedikitnya kata kata. Tapi dilihat dari ada atau tidak manfaatnya, tepat atau tidak konteksnya. Inilah Qowlan Sadiida, inilah pengertian diam.

 

Apa yang harus diam ; Lisan jiwa dan bahayanya

Perlu dipahami bahwa manusia itu memiliki dimensi jiwa/nafsu. Dan nafsu ini pun memiliki lisan/ mulut yang terus berbicara. Lisannya nafsu berbicara dalam bentuk keinginan keinginan. Semakin banyak dia (nafsu itu) berbicara, maka semakin banyak keinginan yang diucapkan.

Jika kita tidak bisa mengendalikan maka akan sangat berbahaya. Minimal dari bahayanya adalah kita kehilangan fokus tujuan, atau terlambat untuk sampai di tujuan.

Misalnya, kita mau pergi ke pasar untuk membeli suatu keperluan. Di perjalanan kita melihat banyak hal hal yang menyenangkan dan menggerakan keinginan kita. Nafsu berkata ingin ini dan itu. Itulah bicaranya nafsu. Jika kita tidak bisa mendiamkannya bahkan mengikutinya, dapat di pastikan kita akan tidak sampai di tujuan, atau minimal terlambat sampai di sana.

Guru berkata, “Jika lisanmu bablas maka karep (keinginan)mu juga bablas, karena lisannya jiwa adalah khotir/karep/keinginan. Dan hal itu akan menambah beban pikiranmu, sedangkan pikiran itu paling banyak memakan energi dalam jiwa”.

Apakah tujuan kita, yakni bisa bersambung kepada Allah. Hal ini baru bisa dilakukan jika energi jiwa kuat. Menjadi jelas lah fokus kerugian dari “banyaknya bicara”. Banyak bicara (mulut atau nafsu) menyebabkan banyak pikiran. Banyak poikiran membuat energi jiwa menjadi lemah. Dan itu berakibat melemahkan kekuatan titik sambung kepada Allah karena terlalu banyaknya beban (urusan/karep/keinginan).

Maka benarlah sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :

عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((من حسن إسلام المرء: تركُه ما لا يعنيه)) حديث حسن؛ رواه الترمذي وغيره.

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata : Rasulullah shallallahu`alaihi wa sallam bersabda : “Merupakan tanda baiknya Islam seseorang, dia meninggalkan sesuatu yang tidak berguna baginya. (Hadits Hasan riwayat Turmuzi dan lainnya).

Hadits di atas adalah menggambarkan orang yang fokus kepada tujuan yang akan dicapainya. Meninggalkan hal hal yang tidak bermanfaat baginya. Coba perhatikan pengertian Diam di atas sekali lagi. Diam bukan berarti tidak berkata kata, tapi meninggalkan perkataan yang tidak ada manfaatnya. Jiwa juga dilatih untuk diam. Artinya diam dari keinginan yang tidak ada manfaatnya atau menghalangi ia sampai di tujuan.

 

Manfaat Diam ; Menjernihkan Jiwa

Mengapa kita tidak boleh banyak bicara kecuali yang bermanfaat?

Bicara yang simpel, tidak berlebihan dapat membersihkan jiwa manusia. Sebaliknya banyaknya bicara dapat mengotori jiwa. Sekali lagi harap diingat bahwa banyak bicara di sini maksudnya yang tidak ada manfaatnya. Bicara yang seperti ini dapat mengotori jiwa.

Kotornya jiwa ini ditandai dengan rusaknya gambar dalam mimpi-mimpi. Mimpi menjadi tidak jelas. Kacau. Yang berarti jiwa kita tidak mampu menangkap isyarah, ilham dan pentunjuk dari Allah ta’ala. 

Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘Alaihi Wasallam :

الرُّؤْيَا الصَّالِحَةُ جُزْءٌ مِنْ سِتَّةٍ وَأَرْبَعِينَ جُزْءًا مِنَ النُّبُوَّةِ

“Mimpi yang baik adalah 1 dari 46 bagian kenabian.” (HR. Bukhari 6989 & Muslim 6049)

Selain itu, banyak berbicara membuat kita banyak urusan. Sebagaimana syair di atas “Kudu meneng ing lisane supayane bisa kidik ing hisabe = harus diam lisannya agar sedikit urusannya”. Jika banyak / berlebih dalam bicaranya pasti banyak pula urusannya, banyaklah bebannya sehingga ia tidak fokus pada tujuannya. Tujuan yang ingin dicapai akan terhambat karena banyaknya urusan.

 

Mengamalkan ajaran “Meneng Ing Lisane Supayane Kidik Ing Hisabe”

Cara mengatasinya adalah dengan membersihkan hati dari pengaruh-pengaruh nafsu, cinta dan benci, senang dan tidak senang. semua itu akan mempengaruhi lisan (baik lisan mulut maupun lisan jiwa) untuk melenceng dari perkataan yang bermanfaat dan tepat. Dengan bahasa lain, solusinya adalah dengan menetapkan mata hati kepada Allah atau orang yang dekat dengan Allah. Sebab jika mata hati kepada Allah atau orang yang dekat denganNya ia akan menjauh dari pengaruh nafsu.

Bila hati telah tetap kepada Allah atau terikat dengan orang yang dekat dengan Allah, maka hati menjadi kuat/berenergi yang kemudian akan dialirkan/masuk dalam otak. Otakpun menjadi bersih dalam melihat masalah, dan menemukan solusi. Solusi yang didapatkan akan sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasulnya, karena hatinya terikat kepada orang yang dekat dengan Allah dan mengikuti ajaran Rasulullah.

 

Kertanegara, Jum’at Pon, 9 November 2018 M / 1 Rabiul Awwal 1440 H

Berdasarkan Shubah di Rubath Qashrul ‘Arifin Jogjakarta,

Malam Ahad legi, 25 Mei 2003 M/23 Rabi’ul Awwal 1424 H

Wawan Setiawan

 

 

 

6 Replies to “Makna “Diam” dalam Penjelasan KH. Irfa’i Nahrawi QS.”

  1. Salam. Mas tulisannya kok seperti belum diedit ya ? Kok sulit dipahami
    Yusuf al Baha’i

    1. Iya pa Usup,, maap mau saya edit ulang,,,

      Makasih banyak ya pa Usup atas perhatiannya.

    2. Alhamdulillah sudah diedit pa Usup, muga muga pas, dan bermanfaat,,

  2. Alhamdulillah…saya senang membaca hasil suhbah dari Mr.HSM.Abah kyai Irfa’i Nahrowi,Qs Al-Hajj.
    Semoga saya bisa mengamalkan”8 syarat murid yg sejati”agar menjadi generasi Naqsyabandi yg sejati amiiin
    Artikel yg bagus penuh makna,dengan ilustrasi ilustrasi sehingga mudah dipahami,semoga bermanfaat untuk semua jamaah amiiin.

    1. Amiin amiin,,, sangat bersyukur dan berterima kasih dikunjungi murid murid yang dekat di hati guru seperti Pak Usup dan Mbak Tri dan lainnya. Karena ilmu guru sebenarnya bukan di artikel tapi ada di panjenengan semua,,, Jazaakumullah,,

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *