Pengajian Kitab Tanbihul Ghafilin Bagian Ke-12 tentang makna hadits senang bertemu Allah (senang menghadapi kematian)
Bismillaahir rahmaanir rahiim
Berkata Al-Faqih, dengan sanad dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anh dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :
مَنْ أَحَبَّ لِقَاءَ اللهِ أَحَبَّ اللهُ لَقَاءَهٗ. وَمَنْ كَرِهَ لِقَاءَ اللهِ كَرِهَ اللهُ لِقَاءَهٗ
“Barangsiapa senang/ cinta bertemu Allah, maka Allah pun senang/ cinta bertemu dengannya. Sebaliknya, barangsiapa tidak senang bertemu dengan Allah, maka Allah pun tidak suka bertemu dengannya”
Rincian penjelasannya adalah :
“Barangsiapa senang/ cinta bertemu Allah” maksudnya senang kembali ke kampung akhirat.
(Apakah bisa seseorang merasa “senang” ketika mati?”)
Maksud dari “mahabbah/ senang” adalah ketika dia dalam keadaan naza’[1] (sakaratul maut), ia mendapat berita bahwa ia akan mendapat keridloan Allah dan syurgaNYa, maka ia menjadi “senang” dengan kematian daripada kehidupan.
“Allah senang/ cinta bertemu dengannya”, maksudnya Allah menuangkan anugerahNya dan melimpahkan pemberian-pemberianNya yang banyak kepada orang itu.
Kami menafsirkan “cinta” dengan “melimpahkan anugerah dan pemberian” karena makna cinta adalah kecenderungan jiwa terhadap sesuatu. Tafsir semacam itu tidak pantas disandangkan kepada Allah ta’ala. Maka kami palingkan pada puncak dari cinta itu sendiri, yakni melimpahkan pemberian dan anugerah kepada yang dicintai.
“Barangsiapa tidak senang bertemu Allah”, maksudnya, sesungguhnya orang kafir itu, ditunjukkan kepada mereka siksaan siksaan yang telah dijanjikan Allah akan menimpa mereka. Maka mereka menangisi kesesatan yang dilakukannya, dan bencilah mereka kepada kematian dan Allah pun tidak suka bertemu dengannya.
Adapun makna “Allah tidak suka” adalah Allah menjauhkan orang itu dari rahmat kasih sayangNya, serta menambah bencana baginya di akhirat.
“Tidak suka/ benci” di sini bukan ketidak sukaan yang menimbulkan kepayahan/ kesusahan. (Jika kita bertemu dengan sesuatu yang kita benci/ tidak kita sukai, muncul kesusahan dalam diri kita). Bukan yang demikian. Karena makna yang demikian tidak tepat bagi Allah ta’ala.
Imam Tsuri berkata, “Hadits itu sama sekali tidak bermakna bahwa cinta mereka kepada Allah menyebabkan cinta Allah kepada mereka. Tidak suka mereka kepada Allah menyebabkan Allah tidak suka kepada mereka. Bukan demikian. Makna hadits itu adalah semata menjelaskan sifat mereka (orang mukmin) itu senang/ cinta bertemu dengan Allah (kematian).
Karena hakikatnya, kecintaan mereka kepada Allah itu disebabkan karena Allah mencintai mereka”. (Jadi, sebab Allah mencintai mereka, maka Allah menjadikan hati mereka cinta bertemu dengan Allah, bukan sebaliknya). Demikian penjelasan Imam Ats-Tsuri.
Penjelasan Imam Ats-tsauri itu maksudnya, mencintai itu adalah sifat Allah dan cintanya hamba kepada Tuhannya itu mengikuti cinta Allah kepada hamba itu. Hal ini dikuatkan dengan sebuah riwayat dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, beliau bersabda, “Jika Allah mencintai seorang hamba, maka Allah akan menyibukkan hamba itu denganNya”.
Mengapa hadits ini menyebutkan cinta hamba kepada Allah dulu, baru kemudian cinta Allah kepada hambaNya. Hal itu karena dalam Al-Qur’an pun demikian.[2] Dan hal ini mengandung hikmah yang sangat agung.
أَذَاقَنَا اللهُ مَحَبَّةً لِقَائَهٗ وَأَكْرَمْنَا بِهَا
“Semoga Allah mencicipkan kepada kita (mahabbah) rasa cinta bertemu denganNya dan semoga Allah memuliakan kita dengan mahabbah itu”
Kemudian para sahabat berkata, “Ya Rasulullah, kami semua tidak suka mati (ingin panjang umur)”. Rasulullah menjawab, “Rasa tidak suka menghadapi kematian itu tidak bermakna membenci kematian.[3]
Lagi pula, jika telah datang waktunya kematian bagi seorang mukmin, akan datang kepadanya berita gembira dari Allah dengan ditunjukkan padanya tempat kembali yang indah di syurga dan kenikmatan-kenikmatan yang akan ia terima. Sehingga tidak ada yang lebih disukainya melebihi bertemu dengan Allah, maka Allah pun suka bertemu dengannya”.
Dan sesungguhnya orang yang fajir / banyak berbuat dosa (atau
dalam riwayat lain : orang yang kafir), jika telah datang waktu kematiannya,
maka datanglah kepadanya ancaman tempat ia akan dikembalikan dan keburukan
keburukan yang akan dialaminya. Sehingga ia tidak suka bertemu dengan Allah,
dan Allah pun tidak suka bertemu dengannya.
[1] Naza’ adalah proses pencabutan ruh, suatu kondisi ketika orang bertaubat, orang menyatakan iman sudah tidak diterima lagi.
[2] Mungkin yang dimaksud adalah (antara lain) QS. Ali Imran : 31 yang artinya, “Katakan, jika kamu mencintai Allah, maka ikutilah aku (Muhammad), niscaya Allah akan mencintai kalian”. Seolah olah cintanya hamba kepada Allah dan ittiba’nya hamba kepada Rasulullah yang menyebabkan cinta Allah kepada hamba itu. Padahal, hakikatnya adalah sebaliknya. Cinta Allah kepada hamba tersebut yang membuat dia mencintai Rasul dan ittiba’ / mengikuti beliau. Wallahu A’lam.
[3] Maksudnya para sahabat takut termasuk dalam golongan “orang yang tidak suka bertemu dengan Allah, karena tidak suka menghadapi kematian”
Wallahu A’lam.
Alhamdu lillahi robbil ‘alamin
Catatan Pengajian PakNas di Musholla Ar-Raudlah MQ. Nasy’atul Wardiyah Bersama Ust. Hambali Ahmad
Kertanegara, Jum’at Pon, 22 Februari 2019 M / 17 Jumadil Akhir 1440 H
Wawan Setiawan