Pahala amal seseorang apakah bisa bermanfaat (menjadi hadiah) untuk saudaranya yang sudah wafat ? Berikut penjelasannya.
Bismillaahir rahmaanir rahiim
Semua amal yang dilakukan seorang muslim senantiasa berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Namun, siapakah yang paling memahami maksud dari setiap ayat Al-Qur’an ? Tentu saja Rasulullah. Kemudian murid murid beliau (para sahabat), kemudian murid murid beliau (para tabi’in), kemudian murid-muridnya (tabi’u tabi’in) dan selanjutnya para ulama.
Mereka lah yang memahamai makna dari Al-Qur’an dan Sunnah. Kita harus mengambil dan mengikuti pendapat mereka (atau salah satu dari mereka), karena itu lebih dekat kepada kebenaran. Jangan kita hanya berdasar pada makna lahiriah (terjemah) saja.
Mari kita lanjutkan pengajian Kitab Tahiqiqul Amal fi ma Yanfa’ul Mayyiti minal A’mal (Mewujudkan Cita-cita, sebuah risalah yang menjelaskan tentang amal-amal yang bermanfaat untuk orang yang telah meninggal).
Kali ini kita akan memaparkan apa makna yang sebenarnya dari QS. An-Najm/53 : 39 menurut para ulama.
Lisayid Muhammad bin Alwi Al-Maliki Al-Fatihah,,,,
Bismillaahir rahmaanir rahiim
وَأَنْ لَّيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعٰى
“dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya” (QS. An-Najm/53 : 39)
Ayat yang mulia ini adalah salah satu nash penting yang dijadikan pedoman oleh kebanyakan orang yang hanya berpendapat dengan berdasar makna lahiriahnya semata, dan hanya melihat makna nash ini secara umum saja (yakni bahwa manusia tidak memperoleh selain yang diusahakannya atau amalnya. Maka berarti “hadiah” hadiah bacaan Qur’an, dzikir dan lain lain yang dibacakan oleh orang lain untuknya tida ada manfaat nya dan tidak akan sampai kepadanya).
(Mereka hanya melihat arti lahiriah dan makna umum saja). Mereka tidak melihat asal usul ayat ini dan keterkaitan keterkaitan lainnya yang membuat ayat ini memiliki makna khusus dan terbatas. Padahal, tidak mungkin memahami ayat dengan benar tanpa memerhatikan hal hal tersebut. (Tidak mungkin memahami ayat tanpa melihat kaitan dengan ayat-ayat lainnya).
Asal usul ayat dan hubungan satu ayat dengan lainnya harus dipahami agar semuanya berjalan pada satu poros, menghasilkan kesesuaian/ keserasian dan ikatan satu sama lain yang sesuai dengan maksud dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang terjaga dari kontradiksi.
(Rasulullah tidak mungkin mengucapkan sesuatu yang bertentangan satu sama lain), karena beliau tidaklah berbicara dengan nafsu, melainkan apa pun yang beliau ucapakan semata wahyu dari Allah ta’ala. (Sedangkan jika kita memahami ayat sepotong-sepotong tanpa memerhatikan keterkaitan dan hubungan dengan ayat lain, sangat memungkinkan terjadinya kontradiksi atau pertentangan satu sama lain).
Mari perhatikan lagi ayat ini :
وَأَنْ لَّيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعٰى
“dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya”
Secara dhohir, ayat ini seolah menolak adanya manfaat (dari hadiah bacaan quran, dzikir dan apa pun) setelah kematiannya. Karena ia hanya akan mendapat pahala dari apa –apa yang telah ia kerjakan ketika di dunia.
Tetapi, terdapat banyak nash-nash yang lain yang justru menetapkan adanya manfaat dari selain yang dia perbuat sendiri. (Sebagaimana akan kami paparkan di pembahasan yang akan datang dalam kitab ini).
Oleh karena itu, para ulama ahi tahqiq (ahli dalam memahami makna) dari kalangan “ulama sunnah” (ulama yang memahami hadits hadits Nabi), khususnya ulama yang moderat (tidak ekstrim) dari kelompok Salafi , misalnya, Syaikh Ibnu Taymiyah dan Ibnul Qoyyim, yang memahami ayat ini dengan benar, justeru menetapkan bahwa mayit bisa mendapatkan manfaat dari amalnya sendiri dan amal orang lain.
Mereka berdua telah menjelaskan ayat ini selaras dengan nash-nash yang lain yang membahas tentang hal ini (bahwa seseorang bisa mendapat manfaat dari amal orang lain).
(Selanjutnya mari kita simak, penjelasan yang benar dari para ulama mengenai maksud dari ayat ini) :
Pertama, Al-‘Allamah Syaikh Fakhruddin ‘Utsman bin ‘Ali Az-Zaila’i dalam Syarah Kanzud Daqo’iq Bab Haji, beliau berkata : “Adapun firman Allah ta’ala :
وَأَنْ لَّيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعٰى
“dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya”
Dinyatakan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu ‘Anh, bahwa ayat tersebut telah mansukh (dihapus maknanya) oleh firman Allah ta’ala : (QS. Ath-Thur/52 : 21)
وَالَّذِيْنَ آمَنُوْا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيْمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذًرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِّنْ شَيْءٍ
“Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikit pun dari pahala amal mereka”
(Ayat yang kedua ini menyatakan bahwa seorang yang beriman akan mendapatkan manfaat dari amal shalih keluarganya yang beriman. Ini adalah pendapat Ibnu Abbas. Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam)
Kedua, ada ulama yang berpendapat bahwa ayat ini khusus untuk umat Nabi Musa dan Nabi Ibrahim ‘alaihimas salam sebagaimana terdapat dalam shuhuf (lembaran wahyu Allah) untuk beliau berdua. Hal inilah yang dimaksud oleh ayat : (QS. An-Najm/ : 36)
أَمْ لَمْ يُنَبَّأْ بِمَا فِي صُحُفِ مُوْسٰى
“Ataukah belum diberitakan kepadanya apa yang ada dalam lembaran-lembaran Musa?”,
(yakni di dalam shuhuf Musa, terdapat firman Allah, bahwa Manusia tidak akan mendapat kecuali yang dia amalkan. Tetapi ini bersifat khusus untuk umat Nabi Musa. Demikian pendapat sebagian ulama ahli tafsir).
Ketiga, ulama berpendapat bahwa yang dimaksud ayat ini adalah ditujukan khusus untuk orang kafir saja. Sedangkan orang-orang yang beriman, mereka bisa menerima manfaat dari perbuatan baik saudaranya (sesama mukmin).
Keempat, ulama berpendapat, ayat ini harus dilihat dari dua sisi sifat Allah. Jika ayat ini hanya dilihat dari sifat “adil-nya Allah”, maka tentu setiap orang hanya menerima hasil/ ganjaran dari amal yang dia kerjakan sendiri. Itu adil.
Tapi jika kita melihat sifat “anugerah Allah”, maka bisa saja Allah memberi anugerah manfaat kepada seseorang dari perbuatan/ amal orang lain. (Dan Allah memiliki kedua sifat tersebut (adil dan fadhal – keadilah dan anugerah). Jika membatasi pada pengertian pertama saja, maka berarti kita membatasi sifat anugerah Allah yang Maha Memberi anugerah kepada siapa saja yang Dia Kehendaki).
Kelima, ulama berpendapat bahwa huruf “Lam” pada kata “lil – insan” bermakna “’alal insan”. (maksudnya maknanya khusus pada amal/ perbuatan-perbuatan buruk saja. Yakni setiap manusia hanya akan mendapatkan balasan dari perbuatan buruk yang dia lakukan. Dosa dari perbuatan buruk orang lain tidak akan ditimpakan padanya. Tetapi untuk amal shalih/ kebaikan tidak demikian ).
Hal ini senada dengan ayat : (QS. Al-isra/17 : 7)
وَإِنْ أَسَأْتُمْ فَلَهَا
“Jika kamu berbuat jahat maka kejahatan itu bagi dirimu sendiri”
Huruf Lam pada kata “falaha” itu maknanya ‘ala – ‘alaiha (yakni konteksnya khusus pada perbuatan jahat)”.
Sama juga dengan firman Allah ta’ala : (QS. Mukmin/ 40 : 52)
وَلَهُمُ اللَّعْنُةُ
“Bagi merekalah laknat”
Huruf “Lam” pada kata “Lahum” juga bermakna ‘ala (yakni dalam konteks keburukan/laknat)
(Jadi sekali lagi, maksud dari “manusia tidak mendapat selain yang telah dia usahakan/ lakukan” adalah dalam hal perbuatan buruk saja. Sedangkan dalam amal shalih, manusia mendapatkan manfaat dari amal shalih saudaranya sesama mukmin). Demikian pendapat sebagian ulama.
Keenam, ulama berpendapat, “Manusia tidak mendapat kecuali apa yang sudah ia lakukan/ perbuat”, Tetapi ada kalanya perbuatan baik manusia dalam pergaulannya ketika di dunia menyebabkan ia mendapat banyak teman. Lalu karena perbuatan baiknya, di antara temannya itu ada yang mendapatkan hidayah, keimanan dan lalu beramal shaleh.
Maka orang yang menjadi sebab, orang lain mendapatkan hidayah akan mendapatkan syafaat (pertolongan) dari amal shaleh teman-temannya itu. Karena mereka bisa beramal shalih disebabkan “jasa” orag tersebut. (Hal ini sesuai dengan hadits Nabi : Siapa saja yang melakukan suatu kebiasaan baik, maka ia mendapatkan ganjaran dari perbuatannya sendiri juga mendapatkan ganjaran dari orang-orang lain yang mengikuti perbuatan baiknya itu”.
Hadits ini nyata sekali menunjukkan amal shaleh orang lain, tapi pahala itu juga diberikan kepada dirinya, tanpa mengurangi ganjarang orang yang beramal itu sendiri)
Adapun hadits Nabi yang mengatakan :
إِذَ مَاتَ ابْنُ أَدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهٗ إِلَّا مِنْ ثَلَاثٍ
“Jika seorang Anak Adam meninggal dunia, maka terputuslah amalnya, kecuali tiga hal : shodaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang mendo’akan”.
Hadits ini sama sekali tidak menafikan (tidak menolak) bahwa hadiah bacaan Qur’an, dzikir atau amal shalih orang lain tidak bisa bermanfaat untuk diri orang yang sudah meninggal.
(Makna hadits ini adalah, jika seorang anak Adam meninggal, dia tidak bisa beramal apa apa lagi. Shalat, puasa dan lain-lain semuanya tidak bisa, ganjarannya putus/ habis. Kecuali tiga hal itu, maka ganjarannya terus mengalir meskipun sudah meninggal.
Sama sekali hadits ini tidak mengatakan bahwa “bacaan Qur’an dari mukmin, shadaqah dan amal shaleh yang dilakukan oleh kerabat tidak ada gunanya bagi orang yang sudah meninggal. Sama sekali bukan demikian maknanya).
Jika dikatakan bahwa “menghadiahkan pahala bacaan Qur’an atau dzikir atau shodaqoh itu tidak masuk akal, bagaimana caranya orang bisa menghadiahkan bacaan qur’an pada orang yang sudah meninggal ?” Memangnya bisa pahala diberikan ?” Pahalanya hanya untuk orang yang melakukannya saja. Tidak mungkin bisa diberikan / dihadiahkan kepada orang lain yang sudah meninggal”.
Masalah ini bukanlah perkara yang tidak masuk akal. Karena sesungguhnya yang menyampaikan pahala adalah Allah, bukan kita. Kita hanya meminta kepada Allah, dan Allah Maha Kuasa untuk melakukan apa saja yang dikehendaki-Nya. Wallahu A’lam bish Showab.
Alhamdulillahi robbil ‘alamin
Kertanegara, MQ Naswa
Jum’at Kliwon, 20 November 2020 M / 4 Robi’ul Akhir 1442 H
Wawan St
Pengajian Sebelumnya (Bagian 1) : https://www.mqnaswa.id/doa-indah-dari-abuya-dalam-kitab-tahqiqul-amal/
Biografi Abuya dapat dibaca di : https://santri.net/sejarah/biografi-ulama/abuya-biografi-as-sayyid-muhammad-alawi-al-maliki-al-hasani/