“Ketika Manusia Mati, Terputus Amalnya” hadits ini sering disalahpahami untuk melarang amaliyah Kirim Doa dan semacamnya. Padahal tidak demikian, berikut penjelasannya.
Pengajian Kitab Tahqiqul Amal Ke-4
Bismillaahir rahmaanir rahiim
Ketika Anak Adam telah Meninggal, maka Terputuslah Amalnya
Salah satu nash penting yang berhubungan dengan ayat di atas adalah hadits shahih dan masyhur yang diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu , sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, :
إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثٍ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ اَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْلَهُ
“Apabila seorang Anak Adam telah mati, maka terputus amalnya, kecuali 3 perkara : Shadaqah Jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak sholih yang mendoakan untuknya” (HR. Bukhari – Muslim)
Hadits ini telah dijelaskan dengan gamblang oleh ayahku, al- Imam ‘Alawi bin ‘Abas al-Maliki al-Hasani, semoga Allah mengasihinya, yang berkata :
Sabda Nabi : “Jika Anak Adam telah meninggal, maka terputus amalnya”
Ketahuilah bahwa terputusnya “dzat amal/ wujud amal” ketika seseorang telah mati adalah suatu hal yang jelas. Karena mayit (jelas) tidak bisa beramal dan tidak pula dibebani taklif (kewajiban beramal) setelah ia mati.
Maka maksud dari hadits tersebut adalah : Sesungguhnya sebagian dari amal amal yang pernah dilakukan ketika hidup, bekas dari amal tersebut terus berbuah sehingga setelah dia meninggal. Maka tidak terputus ganjaran dari hal
(Jadi maksud hadits tersebut adalah, “Kesempatan beramal sudah habis ketika mati, tapi ada sebagian amal-amal di dunia yang buahnya terus bisa dinikmati meski sudah meninggal)
Oleh sebab itulah Rasul bersabda, “Kecuali dari 3 hal”, yakni kecuali dari perkara yang tiga :
- Shadaqah Jariyah, yakni shadaqah yang terus mengalir, misalnya menggali sumur. (Menggali sumurnya ketika hidup, tapi pahalanya terus mengalir selama sumur tersebut memberi manfaat, meskipun yang menggalinya telah wafat), mewakafkan mushaf Al-qur’an, membangun masjid dan pesantren.
- Ilmu yang bermanfaat, yakni ilmu syar’i (ilmu syari’at agama) yang bermanfaat baginya, yang mengantarkan pada keberuntungan mendapakan nikmat yang abadi (di syurga), dan selamat dari siksa yang abadi (di neraka).
Termasuk dalam hal ini adalah menulis kitab dan mewakafkannya. Karena maksud dari “bermanfaat” adalah mutlak. Baik secara langsung (mengajar), atau dengan perantara (kitab yang ditulisnya).
- Anak yang shalih (muslim), yang mendoakannya. Karena anak yang shalih ini termasuk dari usahanya (sebagai orang tua untuk mendidik anaknya).
Dan sungguh Allah telah menganugerahkan dengan menulis pahala bagi orang tua semua kebaikan yang dilakukan oleh anak-anaknya, tapi tidak menuliskan (untuk orang tua), keburukan yang dilakukan oleh anak-anaknya.
Dan apa yang telah ditetapkan dari keterangan di atas, diketahui bahwa, tidak ada pembatasan tentang tiga perkara ini.
(Perhatikan ! apakah ada kalimat pembatasan pada hadits di atas ? Tidak ada. Lalu bagaimana dengan kata “Kecuali 3 perkara”. Fahamilah, bahwa kata “Kecuali” di situ bermakna istisna (pengecualian), bukan membatasi. Jadi “Jika manusia meninggal, dia tidak bisa beramal lagi, tapi ada pengecualian, ada 3 amal yang meskipun sudah meninggal, buahnya tetap bisa dinikmati. Jadi “Illaa min tsalatsin” maksudnya demikian, tapi tidak benar jika dimaknai membatasi hanya tiga hal itu saja).
Mengapa tidak benar jika dimaknai membatasi ?
Pertama, Jika pada hadits tersebut Nabi mengatakan tiga perkara, itu bukan suatu hujjah (argumentasi) bahwa hanya terbatas pada tiga perkara itu saja. Bisa jadi pada hadits lain Allah memberitahu Nabi akan tambahannya, sebagai bentuk karunia dan kemurahan Allah ta’ala.
Ini terbukti dalam hadits yang diriwayatkan Imam Ibnu Majah dari sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anh, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda :
“Sesungguhnya yang diikutsertakan dalam amalan dan kebaikan seorang mukmin setelah kematiannya adalah ilmu yang ia sebarkan, anak shaleh yang ditinggalkan, mushaf yang ia wariskan, masjid yang ia bangun, rumah untuk ibnu sabil (para musafir) yang ia bangun, air sungai yang ia alirkan, dan sedekah yang ia keluarkan dari hartanya sendiri saat ia masih sehat dan masih hidup dan diteruskan setelah ia meninggal”.
Hadits di atas mencakup 7 perkara yang jika digabungkan dengan tiga hal, maka menjadi sepuluh perkara. Imam Suyuthi menambahkan satu lagi dalam nadhamnya :
إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ لَيْسَ يَجْرِيْ ﴿﴾ عَلَيْهِ مِنْ خِصَالٍ غَيْرَ عَشْرِ
عُلُوْمٌ بَثَّهَا وَدُعَاءٌ نَجْلِ ﴿﴾ وَغَرْسُ النَّخْلِ وَالصَّدَقَاتُ تَجْرِيْ
وَرَاثَةُ مُصْحَفٍ وَرِبَاطُ ثَغْرٍ ﴿﴾ وَحَفْرُ الْبِئْرِ أَوْ إِجْرَاءُ نَهْرٍ
وَبَيْتٌ لِلْغَرِيْبِ بَنَاهُ يَأْوِيْ ﴿﴾ إِلَيْهِ أَوْ بِنَاءَ مَحَلِّ ذِكْرٍ
وَتَعْلِيْمٍ لِقُرْآنٍ كَرِيْمٍ ﴿﴾ فَخُذْهَا مِنْ أَحَادِيْثَ بِحَصْرِ
Jika seorang anak Adam meninggal, maka tidak ada bagian apapun yang ia peroleh kecuali sepuluh perkara
Ilmu yang ia sebarkan, doa anak keturunannya, pohon Kurma yang ditanam, dan sedekah jariah
Mushaf yang diwariskan, tempat pendidikan(benteng-benteng tapal batas) yang dibangun, sumur yang ia gali dan sungai yang ia alirkan
Rumah singgah dari para musafir, dan membangun tempat dzikir
Tempat untuk belajar Al-Qur’an. Ambillah hal ini dari hadits yang menyebutkannya.
Penjelasan terhadap Bait di Atas :
Adapun perkataan Imam Suyuthi : “Ilmu yang ia sebarkan, doa anak keturunannya, dan sedekah jariah” keterangan ini datang secara lengkap dalam hadits “Apabila seorang Anak Adam telah mati, maka terputuslah amalnya, kecuali 3 perkara : Shadaqah Jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak sholih yang mendoakan untuknya”.
Adapun ucapam Imam Suyuthi : “pohon Kurma yang ditanam, dan sumur yang ia gali” keduanya disebutkan dalam Hadits Marfu’ dari Anas bin Malik, yang artinya, “Ada 7 hal yang pahalanya terus mengalir untuk seorang hamba setelah kematiannya (ia berada di kubur), dan kemudian Rasul menyebutkan salah satunya adlah : Menggali sumur dan menanam pohon kurma.
(Catatan : Tentunya yang dimaksud Rasul, bukan terbatas pada pohon kurma saja. Tapi bisa dikiaskan dengan segala macam pohon yang bermanfaat)
Adapun ucapan Imam Suyuthi : “tempat dzikir”, yaitu masjid, maka telah disebutkan sebelumnya. (yaitu pada hadits “Sesungguhnya yang diikutsertakan dalam amalan dan kebaikan seorang mukmin setelah kematiannya adalah ilmu yang ia sebarkan, anak shaleh yang ditinggalkan, mushaf yang ia wariskan, masjid yang ia bangun, dan seterusnya sampai akhir hadits).
Kesimpulan : Jadi hadits “ketika manusia mati, maka terputus amalnya” di atas, sama sekali tidak ada pengertian bahwa “Do’a seorang mukmin untuk saudaranya yang sudah meninggal tidak ada manfaatnya. Karena yang bermanfaat hanya tiga perkara”. Tidak demikian maksudnya !
Secara ringkas, maksud hadits di atas adalah, seorang yang sudah meninggal, kesempatan dia untuk melakukan amal sudah terputus/ habis, karena sudah meninggal. Tapi ada 3 amal yang ganjarannya terus mengalir meski sudah meninggal, yaitu shadaqah jariyah, anak shalih dan ilmu yang bermanfaat. Tiga hal yang disebutkan ini pun bukan merupakan suatu pembatasan, tapi hanya pengecualian yang disebut Nabi pada saat itu. Terbukti ada hal-hal lain yang Nabi sebutkan dalam hadits lainnya.
Fasal ini fokus menyangkal penggunaan hadits ‘”Terputusnya Amal” sebagai dalil melarang amaliyah Mengirim Do’a dan Menghadiahkan Amal Shaleh. Lalu mana dalil mengirimkan do’a dan menghadiahkan amal shalih untuk orang yang sudah wafat ? keterangan dan penjelasannya sudah dibahas pada bagian sebelumnya. Silahkan baca pengajian sebelumnya di : https://www.mqnaswa.id/mayit-mendapat-manfaat-dari-amal-orang-lain/
Wallahu A’lam
Alhamdulillaahi robbil ‘alamin
Kertanegara, MQNaswa
Sabtu, 6 November 2021
Wawan St