Mencambuk Bumi Menyurati Sungai

3 min read

Kisah tentang Karomah Sayidina ‘Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘Anh yang “meng-khalifahi” bumi dan sungai.

Bismillaahir rahmaanir rahiim

Siang yang terik. Sangat terik. Wajah wajah penduduk mesir yang memerah karena sengatan matahari menjadi lebih gelap karena kemarahan yang hampir saja meledak. Sungai Nil tidak mengalir. Kebun kebun kekeringan. Penduduk sangat sulit mencari air. Sumur sumur yang ada di negeri itu sangat tidak mencukupi untuk kebutuhan. Nil lah yang menjadi sumber kesuburan negeri itu.

Ya, sungai Nil adalah sumber keberkahan mereka, penduduk Kan’an (Mesir) itu. Sungai Nil adalah sumber kehidupan dan ketentraman. Jika sungai Nil mengalir, tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi. Maka sebagai bentuk terima kasih, mereka rela mengorbankan perawan yang paling cantik untuk dipersembahkan kepada sungai Nil jika ia berhenti mengalir.

Tapi, sejak Islam masuk ke Mesir tahun 40 Masehi dan Amr bin Ash menjadi gubernurnya, mereka tidak boleh membuat persembahan seperti itu lagi. Kini mereka akan menuntut Gubernur Amr bin Ash agar bertanggung jawab akan kelangkaan sumber air yang selama ini menghidupi warga Mesir.

Wajah yang marah itu kini mulai mengeluarkan gumam yang semakin keras. Karena Gubernur tidak mengizinkan persembahan manusia kepada Sungai Nil.

“Kami tetap akan mempersembahkan wanita cantik dengan pershiasan lengkap untuk sunga Nil” kata mereka.

“Tidak” Amar bin Ash berkata dengan tenang dan penuh ketegasan.

“Hal itu tidak boleh dilakukan”

“Engkau sebagai pemimpin kami, seharusnya mengayomi kami. Bertanggung jawab dengan keputusan yang kau ambil. Jangan asal melarang tapi tidak memberi penyelesaian”

“Tentu saja aku bertanggung jawab atas kalian. Bersabarlah. Beri aku waktu” pinta Amr bin Ash.

Penduduk pulang dengan kecewa sekaligus berharap akan janji gubernur Amr bin Ash yang juga sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.

Amr bin Ash mengerahkan segala pengetahuan dan usaha untuk menyelidiki mengapa sungai Nil tidak mengalir. Tapi mustahil ia menelusuri sampai ke Laut tengah sebagai muara sungai yang mengalir sepanjang 6.650 kilometer ini. Bagaimana mungkin ia menemukan solusinya. Segala do’a pun ia panjatkan kepada Allah ‘Azza wa Jalla (Dzat yang Maha Perkasa lagi Maha Agung).

Akhirnya ia pun menulis surat dan mengirim utusan untuk menyampaikan keadaan yang menghimpitnya kepada Sayidina Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anh. Beliau adalah amirul mukminin, yang melanjutkan Rasulullah memegang tampuk urusan umat ini, secara lahir maupun batin. Sebagaimana Rasul pernah menyuruh “diam” kepada gunung Uhud yang bergetar. Maka Amr bin Ash berharap Umar bisa memberikan penyelesaian. Karena dialah yang berada di atas gunung Uhud itu bersama Rasulullah. Dia menyaksikan Rasul memerintahkan alam ini agar patuh padanya.

Bahkan Umar pernah mempraktikkannya, ketika terjadi gempa di kota Madinah, umar mencambuk bumi ini seraya berkata, “Diamlah wahai bumi. Aku telah berbuat adil kepadamu. Segera bumi pun berhenti dari guncangannya. Namun apakah Umar juga mampu mengatasi Nil? Amr bin Ash sejenak ragu. Tapi jika ia bersandar kepada Allah. Mengandalkan Allah dengan segala kekuasaannya, muncullah harapan dan keyakinan dalam dirinya. Walaa hawla walaa quwwata illaa billaah. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali karena pertolongan Allah saja.

Hari demi hari berlalu, tak terasa sudah tiga bulan penduduk mesir bertahan. Penderitaan yang semakin berat menjadikan kemarahan penduduk menjadi jadi. Bayi yang menangis kekurangan air susu, dan kebun kebun yang mereka tatap dengan masygul karena tidak bisa diharapkan buahnya, menjadikan mereka membutuhkan tempat meluapkan semua tumpukan kekesalan itu.  Gubernurlah yang paling bertanggung jawab. Demikian ujar mereka.

Maka hari itu dengan lantang mereka berkata, “Jika Nil masih kering. Kami tetap akan buat persembahan. Kami tidak perlu taat lagi kepadamu. Aturan yang  kamu buat tidak menyelesaikan persoalan kami yang paling pokok”. Mereka meninggalkan rumah gubernur tanpa menunggu jawaban sahabat Amr bin Ash. Sedangkan Amr bin Ash sendiri memang bingung akan menjawab apa. Dia sendiri tidak memiliki pengetahuan apa pun untuk menyelesaikan masalah ini. Sementara utusan yang dikirim kepada Khalifah umar juga belum datang. Dia hanya bersandar kepada Allah. Meminta berkah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bagaimanapun, sekarang ini ia sedang diberi amanah menjaga umat beliau.

Di saat yang sulit itu, datanglah utusan dari Sayidina Umar bin Khattab, amirul mukminin. Ternyata ia membawa surat. Dua buah surat. Yang satu ditujukan untuk gubernur. Yang satu ditujukan untuk sungai Nil. Gubernur pun merasa heran. Bagaimana bisa Umar mengirim surat untuk sungai. Maka ia membuka surat yang ditujukan padanya. Tertulis di sana :

“Engkau benar bahwa Islam telah menghapus tradisi tersebut.

Aku telah buat surat satu lagi dan lemparkanlah kertas surat itu ke sungai Nil”

Perintahnya jelas. Memang surat yang satu lagi untuk diberikan kepada sungai Nil. Maka ia menuju sungai Nil. Sebelum melemparkannya Amr bin Ash membuka lipatan kertas itu. Sayidina Umar menulis :

“Dari Khalifah Umar untuk sungai Nil di Mesir. Jika kamu mengalir karena dirimu sendiri, maka jangan mengalir selamanya. Namun jika Allah yang Maha Esa dan Maha Perkasa yang mengalirkanmu, maka kami mohon kepada Allah yang Maha Esa dan Maha Perkasa itu untuk membuatmu mengalir”

Amr bin Ash melemparkan secarik kertas itu, tepat sehari sebelum penduduk akan menyelenggarakan prosesi persembahan.

Ketika penduduk Mesir bersiap melakukan persembahan dan semuanya keluar dari rumah menuju sungai Nil untuk menyaksikan persembahan itu, ternyata sungai Nil telah penuh dengan air. Gembiralah hati mereka membayangkan kebun yang akan menghijau lagi, dan ternak yang akan gemuk lagi. Gadis yang akan dikorbankan pun lebih bahagia lagi.

Hikmah :

  1. Manusia adalah khalifah Allah di bumi ini. Bumi telah diperintahkan untuk tunduk. Maka tugas kita adalah mengemban amanah yang sangat berat yakni menjaga bumi, memperlakukannya sebagai makhluk Allah yang kebaikannya dititipkan kepada kita. Inilah yang telah berhasil dipraktikkan oleh Sayidina Umar ketika itu.
  • Segala sesuatu yang ada di langit maupun di bumi ini berada dalam kehendak Allah, baik yang dapat kita fikirkan, maupun yang di luar kemampuan kita memikirkannya. Karena kekuasaan Allah tidak mungkin dapat dipahami oleh fikiran manusia.
  • Allah memberi solusi kepada hamba hambaNya yang berusaha sungguh sungguh memenuhi tanggung jawabnya. Sebagaimana Allah memberi penyelesaian untuk Amr bin Ash sebagai gubernur dan ‘Umar bin Khattab (radhiyallahu ‘anhuma) sebagai khalifah.

Wallahu A’lam.

Alhamdu lillahi robbil ‘alamin

Kertanegara, Rabu Wage, 13 Februari 2019 M / 8 Jumadil Akhir 1440 H

Wawan Setiawan

Disarikan dari Bughyatul Adzkiya (terj) yang bersumber dari Asy Syaamilkarangan Imam Haromain.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *