Mendapatkan Lailatul Qadar adalah sebuah keberuntungan, inilah kuncinya
Bismillaahir rahmaanir rahiim
Kyai Muhammad Irfa’i Nahrawi QS dalam sebuah suhbah mengatakan, “Untuk mendapatkan kasih sayang Allah di bulan Ramadhan ini, kita harus lebih dermawan”.
Dermawan artinya suka memberi, ini adalah sifat yang dimiliki Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Beliau benar benar suka memberi. Disebut “suka memberi” karena pada saat keadaan sulit, berat, hingga tidak memiliki apa apa pun, beliau tetap berusaha memberi.
Ketika seorang
datang meminta kepada Rasul dan Rasul tidak memiliki sesuatu, maka rasul
memerintahkannya untuk datang kepada orang lain, dengan jaminan, Kanjeng Nabi
yang akan menyelesaikannya. Sampai sampai dikatakan dalam hadits, ““Tidaklah pernah sama sekali
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam diminta sesuatu lalu beliau berkata tidak.”
Dan di bulan Ramadhan Rasulullah shallallahu ‘alaih wasallam
begitu ringan dalam memberi bantuan apa saja kepada orang lain. Hingga
digambarkan kedermawanan beliau seperti angin yang sedang berhembus. Ringan,
tanpa beban, tentu saja menyejukkan.
Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia yang paling dermawan, dan kondisi beliau paling dermawan adalah di bulan Ramadhan di saat bertemu Jibril ‘Alaihis salam, di mana Jibril ‘alaihis salam sering bertemu beliau pada setiap malam dari bulan Ramadhan, lalu Jibril mengajarkannya al-Qur`an, dan sungguh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia paling (cepat) dermawannya daripada angin yang berhembus.”
Tapi dalam shuhbah malam itu, Syaikh Irfa’i secara khusus memberi makna bahwa kedermawanan yang dimaksud adalah “murah pemaafan” mudah memaafkan.
Mengapa beliau secara khusus memberi penekanan pada “memaafkan”? Jika kita mencoba menghayatinya, ternyata sungguh maknanya sangat dalam dan kompleks.
Pertama, dari satu sisi, tidak seperti hal yang bersifat materi. Maaf bisa dimiliki siapa saja. Si kaya maupun miskin. Beda dengan kedermawanan yang berupa materi, maka si kaya lah yang punya kesempatan besar, sedangkan si miskin tentu akan sangat berat.
Kedua, di sisi lain, memaafkan seringkali merupakan hal yang sangat berat bagi kebanyakan kita. Orang kaya harta atau miskin harta, sama saja, jika “stok” maafnya sedikit, maka beratlah baginya untuk memaafkan.
Maka dalam satu ayat (QS. Al-Baqarah : 219)[1], “al-‘afwu” bermakna “menyedekahkan/ memberikan kelebihan (harta), yang kita merasa ringat (tidak berat) untuk memberikannya (karena kita punya “stok” lebih).
Perhatikan ayatnya :
وَيَسْأَلُوْنَكَ مَاذَا يُنْفِقُوْنَ قُلِ الْعَفْوَ
“Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan (atau infakan) ?. Katakanlah “(yang diinfakkan) adalah “al-‘afwa” (yang lebih dari keperluan).”
Ternyata di surat yang lain (QS. Al-A’raf : 199), “Al-‘Afwu” bermakna “menyambung orang yang saling memutuskan, memaafkan orang yang berdosa dan bersikap lembut kepada kaum beriman”.[2]
Perhatikan ayatnya :
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِيْنَ
Jadilah engkau “afwa” (pemaaf) dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh.
Jadi memaafkan juga termasuk dalam kategori “memberi infak/ sedekah”. Memberi maaf termasuk dalam kedermawanan. Dan hanya yang “punya banyak kelebihan stok maaf” yang bisa dengan mudah/ tanpa beban dalam memberi maaf.
Siapa yang paling banyak memiliki stok maaf?
Tentu saja Allah ‘azza wa jalla. Maka Dia menamakan dirinya “Afuwwun Kariim”, yang Maha Pemaaf lagi Maha Dermawan. Bahkan Allah menamakan Dirinya juga sebagai Dzat yang suka memberi maaf. Tentu kita sudah sangat mengenal “Do’a agar kita mendapatkan Lailatul Qadar” yang sangat masyhur :
أَللّٰهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ كَريْمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفَ عَنِّي
“Ya Allah, tuan adalah Dzat yang Maha Pemaaf lagi Maha Dermawan, bahkan Tuan sangat suka memaafkan, Maka tolong maafkanlah hamba”.
Di sinilah kita menemukan korelasinya dari ucapan Kyai Irfa’i pada bagian awal, yakni :
“Di bulan puasa, harus menjadi orang yang lebih dermawan. Dermawan artinya murah pemaafan”. kemudian “Lailatul Qadar hanya bisa didapatkan ketika Allah “memaafkan kita”. Dan tahukah kita? “Kita tidak dapat memeroleh kemaafan Allah, jika di antara sesama kita sendiri tidak saling memaafkan”.
Untuk memahami “tidak saling memaafkan” menghalangi kemuliaan Lailatu Qadar dapat dibaca di : https://www.mqnaswa.id/lailatul-qadar-tidak-jadi-dikabarkan-nabi-apa-sebabnya/
Jadi, jika digambarkan dengan singkat seolah Kyai mengatakan, “Jadilah orang yang dermawan, suka memberi, mudahlah memaafkan, saling memaafkan satu sama lain. Jika sudah saling memaafkan barulah bisa mendapat maaf dan kasih sayang Allah. Jika mendapat maaf dan kasih sayang Allah, itulah kunci mendapatkan kemuliaan Lailatul Qadar”
Wallahu A’lam
Alhamdulillaahi robbil ‘alamin
Kertanegara,
Kertanegara, Sabtu Pahing, 1 Juni 2019 M / 27 Ramadlan 1440 H.
Sumber :
Shuhbah bersama Syaikh Irfa’i Nahrawi QS di
Rubath Qashrul Arifin Yogyakarta dan sumber lain
[1] Lihat misalnya Tafsir Qurthubi, Juz 3, hlm. 447
[2] Lihat misalnya Tafsir Qurthubi, Juz 9, hlm. 418
Baca juga artikel artikel tentang Lailatul Qadar :
Asal Mula Lailatul Qadar : https://www.mqnaswa.id/asal-mula-lailatul-qadar/
Sebab Lailatul Qadar menjadi malam yang rahasia : https://www.mqnaswa.id/lailatul-qadar-tidak-jadi-dikabarkan-nabi-apa-sebabnya/
Hikmah dirahasiakannya Lailatul Qadar : https://www.mqnaswa.id/lailatul-qadar-dirahasiakan-inilah-5-hikmahnya/]