Kemarin ada yang bertanya, mengapa “Bancakan AlQur’an”? Yang benar “Khotmil Qur’an” ujar beliau. Memang ada banyak istilah dalam membaca AlQur’an yang dipraktikkan para santri. ada Semaan, ada muqodaman, ada takriran, setoran dan lain lain.
Secara garis besar mengkhatamkan AlQur’an biasanya dilakukan dengan 2 cara :
1. Semaan/ Tadaarusan, yakni satu atau beberapa orang membaca AlQur’an yang lainnya mendengarkan sekaligus untuk mengoreksi bacaan. Jika yang membaca hafal alQur’an, lebih lazim dengan sebutan semaan. Jika tidak maka lebih condong pada pengertian tadarusan.
2. Muqodaman, yakni bersama sama membaca alQur’an. Ada yang juz 1 ada yang juz 2. Ada yang setengah juz 3 dan seterusnya. Khataman model ini disebut juga khataman kilat (Khatmul Barqi). Sebab model kedua ini lebih cepat dalam mengkhatamkan AlQur’an. Apalagi jika jumlah pesertanya banyak.
Nah Bancakan AlQur’an berada di model kedua ini. Tidak ada beda. Yang beda hanya nama saja. Kita orang Nusantara telah sangat familiar dengan “cara pengemasan” seperti ini. Syaikh atau ustadz di Arab, dipanggil dengan Kiai di bumi kita ini. Padahal di Solo ada Kerbau juga dinamakan Kiai. Di Jogja dan kerajaan kerajaan Nusantara banyak senjata pusakanya yang dinamakan Kiai. Shalat disebut sembayang dan sebagainya.
Tapi, bancakan kan identik dengan menyantap makanan secara keroyokan. Kenapa digunakan untuk membaca AlQur’an? Apakah ada alasan “ilmiahnya?”
Tentu ada.
Seorang mufassir (ulama pakar tafsir) mengatakan bahwa AlQur’an itu ma’dubatullah (hidangan dari Allah). Hidangan yang dibuat oleh Dzat yang menciptakan manusia. Yang mengetahui jumlah sel, darah, otot syaraf dan seluruh diri manusia. Yang tampak maupun tidak. Yang lahir maupun batin.
Maka pasti saja, hidangan itu telah “diramu” sedemikian rupa hingga akan meresap masuk ke dalam seluruh “atmosfer” kita. Dari sel kulit, sampai ke dalam jantung. Dari permukaan wajah, sampai kedalaman jiwa.
Kedua, hidangan itu disajikan oleh Allah dengan penuh kasih sayang. Lihat saja pembukaannya di awal Fatihah (awal AlQur’an). Allah berfirman “Mulailah membaca AlQur’an, “Menyantap hidangan Ilahi” yang Maha Pengasih dan Penyayang”.
Makanan yang disajikan dengan kasih sayang memiliki dampak positif. Ini telah diteliti oleh Profesor Masaru Emoto dari Jepang. Ia meneliti Makanan yang dimasak ibu, masakan pabrik/ kalengan dan masakan yang dibuat dalam suasana hati yang kesal. Ketiga tiganya berbeda.
Dan Rasulullah telah mulai sejak awal. Ketika Siti Fathimah meminta kepada Rasul seorang pembantu untuk mengurus rumah tangga, Rasul malah mengijazahi dzikir subhanallah 33x, alhamdulillah 33x, allahu akbar 33x. Kata guru kita, ketika lelah, kemudian membaca dzikir itu maka Allah kembalikan kekuatan kita.
Ulama menjelaskan, Rasul ingin yang memasak dan menyuapi cucu beliau adalah ibunya sendiri. Karena seorang ibu biasanya memasak dengan cinta, agar buah hatinya tumbuh sehat dan sempurna.
Jika seperti itu dampak dari “hidangan cinta bunda”, bagaimana dampak dari “Hidangan Sang Maha Pengasih dan Penyayang”?
Lagi pula, bagi saya yang malas baca AlQur’an, biasanya kalau baca bersama sama agak semangat karena ada temannya. Sama seperti makan bersama sama, nasi habis banyak tidak terasa,,,
Siap Bancakan ya,,,
Kereta Fajar Utama Jogja – Haurgeulis,
Ahad Pon, 4 November 2018 M / 26 Shafar 1440 H