Mengqadla Shalat Mayit Menurut Fikih

1 min read

Mengqadla Shalat Mayit Menurut Fikih

Bismilahi rahmanir rahim

Pertanyaan :

Seorang yang selama hidupnya rajin melakukan shalat, kemudian menjelang wafatnya tidak sadarkan diri sehingga tidak melakukan shalat, wajibkah bagi ahli warisnya melakukan qadla shalat orang tuanya tersebut?

Jawaban :

Dalam Madzhab Syafiiyah tidak ada kewajiban bagi ahli waris untuk mengqadla shalat al-Marhum yang ditinggalkan selama masa sakitnya atau hidupnya, yang ada hanyalah puasa dan haji yang berdasarkan hadits-hadits sahih. Namun, di kalangan warga NU sering mengamalkan qadla shalat ini dan bersumber dari ijtihad Imam al-Subki, sebagaimana disampaikan oleh Syaikh Ibnu Hajar al-Haitami:

قال ابن أبي عصرون ليس في الحديث ولا القياس ما يمنع وصول ثواب الصلاة للميت وروي فيها أخبار غير مشهورة واستظهر السبكي ما قاله لحديث مرسل { من بر الوالدين إن تصلي لهما مع صلاتك } قيل تدعو لهما ولا مانع من حمله على ظاهره قال ومات لي قريب عليه خمس صلوات ففعلتها عنه قياسا على الصوم ا ھ

“Ibnu Abi Ishrun berkata: Tidak ada di dalam hadits atau Qiyas yang mencegah sampainya pahala shalat untuk Mayit. Dalam masalah ini telah diriwayatkan beberapa hadits yang tidak sahih. Al-Subki menjelaskan apa yang telah disampaikan dengan hadits mursal’ [Diantara berbakti kepada orang tua adalah melakukan shalat {doa} untuk kedua orang tuamu bersama shalatmu]’ (HR. Muslim) ⁸⁷). Dikatakan bahwa makna shalat di sini adalah doa. Tapi tidak ada halangan untuk memaknai sesuai teksnya (shalat). Al-Subki berkata: kerabat saya meninggal dan punya hutang 5 shalat, lalu saya lakukan shalat untuknya sebagai qiyas kepada puasa.” ⁸⁸)

Tidak ditemukan dalil Al Quran tentang mengqadla shalat yang ditinggalkan si mayit. Akan tetapi penegasan hadits tentang qadha’ atas puasa yang berbunyi :

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنه قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم فَقَالَ رَسُوْ لَ اللهِ إِنَّ أُمِّى مَاتَتْ وَعَلَيْهَا صَوْمُ شَهْرٍ أَفَأَقْضِيْهِ عَنْهَا قَالَ《نَعَمْ قَالَ فَدَيْنُ اللهِ أَحَقُّ أَنْ يُقٌضَى》(رواه البخاري رقم ١٩٥٣ و مسلم رقم ٢٧٥٠)

“Ada seseorang datang kepada Rasulullah Saw, ia berkata : Wahai Rasulullah, ibu saya meninggal dan punya tanggungan puasa 1 bulan, apakah saya meng-qadla’ atas nama beliau? Rasulullah menjawab: “Ya. Dan hutang kepada Allah lebih berhak untuk ditunaikan” (HR Bukhari 1953 dan Muslim 2750 dari Ibnu Abbas)

Hadis ini kemudian diperluas kandungannya oleh Imam Syafi’i dalam qaul qadim (Madzhab terdahulu ketika di Baghdad) mencakup pada shalat-shalat yang ditinggalkan, karena shalat juga termasuk haqqullah.

(فَاءِدَةٌ) مَنْ مَاتَ وَعَليْهِ صَلَاةٌ فَلَا قَضَاءَ وَلَا فِدْيَةَ. وَفِي قَوْلٍ – كَجَمْعٍ مُجْتَهِدِيْنَ – أَنَّهَا تُقْضَى عَنْهُ لِخَيَرِ الْبُخَارِي وَغَيْرِهِ، وَمِنْ ثَمَّ اخْتَارَهُ جَمْعٌ مِنْ أَئِمَّتِنَا، وَفَعَلَ بِهِ السُّبْكِي عَنْ بَعْضِ أَقَارِبِهِ. وَنَقَلَ ابْنُ بُرْهَانٍ عَنِ الْقَدِيْمِ أَنَّهُ يَلْزَمُ الْوَلِيَّ إِنْ خَلَفَ تِرْكَةً أَنْ يُصَلِّيَ عَنْهُ، كَالصَّوْمِ. وَفِي وَجْهٍ – عَلَيْهِ كَثِيْرُوْنَ مِنْ أَصْحَابِنَا – أَنَّهُ يُطْعَمُ عَنْ كُلِّ صَلَاةٍ مُدًّا (إعا نة الطالبين – ج ١/ص ٣٣)

“Disebutkan bahwa : “Ibnu Burhan mengutip dari qaul qadim, sesungguhnya wajib bagi wali/orang tua jika mati meninggalkan tirkah (warisan) agar dilakukan shalat sebagai ganti darinya (mengqadha’ shalat yang ditinggalkan), seperti halnya puasa” (Syaikh Abu Bakar Syatha, I’anatu at-Thalibin, Juz I, Hlm. 24).

Pendapat ini diperkuat oleh ulama Syafi’iyah, bahkan Imam as-Subki melakukan qadla’ salat yang ditinggalkan mayit dari sebagian kerabatnya. Ini adalah amaliyah yang sudah masyhur di sebagian kalangan masyarakat Indonesia.

Sementara ulama Syafi’iyah yang lain berpendapat bahwa “Salat yang ditinggalkan mayit dapat diganti dengan membayar makanan sebanyak 1 mud (6 ons) bagi setiap salatnya”. Pendapat ini disampaikan oleh Imam Qaffal. (Itsmid al-‘Ainain 59)

Sedangkan dalam madzhab Hanafiyah disebutkan bahwa ahli waris dapat memberi fidyah atas salat yang ditinggalkan mayit, jika si mayit berpesan demikian, dan tidak harus diqadla’ (Syaikh Abu Bakar Syatha, I’anatu at-Thalibin, Juz I, Hlm. 24)

Alhamdulillahi rabbil ‘aalamiin

_______________

⁸⁷) Hadits ini dinilai dhaif oleh Imam Muslim sendiri karena sanadnya terputus (munqathi’). Pendapat ini juga dinilai dhaif oleh Imam An-Nawawi dalam syarah Muslim.
⁸⁸) Tuhfatul Muhtaj, 13/500

Sumber : Buku yang berjudul “Jawaban Amaliyah & Ibadah yang dituduh Bid’ah, sesat, kafir dan syirik” dan buku yang berjudul “Menjawab Amaliyah & Ibadah yang dituduh bid’ah 2”

Penulis : KH. Ma’ruf Khozin

_______________

Ubaidillah Fadhil Rohman

Mengenai larangan shalat ba’diyah ashar dan shubuh baca : https://www.mqnaswa.id/larangan-salat-badiyah-ashar-dan-shubuh/

Baca juga : https://islam.nu.or.id/post/read/127308/belajar-dari-perdebatan-imam-syafii-dan-sufyan-ats-tsauri

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *