Muraqqi dan Khatib Memegang Tongkat
Berawal di tahun 2017 saya diminta menggantikan jadwal khutbah KH Abdussomad Bukhari, Ketua MUI Jatim saat itu, untuk Khutbah di Masjid Nasional Al-Akbar, Surabaya. Setelah masuk ke ruang tamu di dalam Masjid Al-Akbar perwakilan takmir bertanya kepada saya: “Pakai Bilal-Tongkat-Mimbar atau tidak?”. Saya jawab tanpa ragu: “Enggih pakai”.
Pihak takmir memberi penjelasan bahwa para khatib di Al-Akbar berbeda-beda, ada yang memilih mimbar atau podium. Jika memakai podium tentu tanpa tongkat dan bilal. Saya memilih kebiasaan di masjid-masjid NU, karena kebetulan saya tahu dalilnya:
1. Khatib Pegang Tongkat
عَنْ شُعَيْبِ بْنِ رُزَيْقٍ الطَّائِفِىِّ قَالَ شَهِدْنَا فِيْهَا الْجُمُعَةَ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَامَ مُتَوَكِّئًا عَلَى عَصًا أَوْ قَوْسٍ (رواه ابو داود رقم 1098)
Diriwayatkan dari Syuaib bin Zuraiq, ia berkata: “Kami menyaksikan di Madinah di hari Jumat bersama Rasulullah, kemudian beliau berdiri dengan berpegang pada tongkat atau anak panah” (HR Abu Dawud No 1098)
2. Bilal, Atau Orang Yang Mengingatkan Agar Mendengar Khutbah
Berdasarkan hadis berikut:
عَنْ جَرِيرٍ أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ فِى حَجَّةِ الْوَدَاعِ لِجَرِيرٍ « اسْتَنْصِتِ النَّاسَ » (رواه البخارى)
Saat haji Wada’ (perpisahan) Nabi menyuruh Jarir: “Suruh orang-orang diam [dengarkan khutbah]” (HR al-Bukhari dan Muslim)
Imam Ibnu Hajar Al-Haitami dari Mazhab Syafi’i menjelaskan:
فَقِيَاسُهُ أَنَّهُ يُنْدَبُ لِلْخَطِيبِ أَمْرُ غَيْرِهِ بِأَنْ يَسْتَنْصِتَ لَهُ النَّاسَ وَهَذَا هُوَ شَأْنُ الْمُرَقِّي فَلَمْ يَدْخُلْ ذِكْرُهُ لِلْخَبَرِ فِي حَيِّزِ الْبِدْعَةِ أَصْلًا
Qiyas dari hadis tersebut dianjurkan bagi khatib untuk menyuruh orang lain mendiamkan jamaah. Inilah yang disebut Muraqqi (bilal). Maka hal ini bukan bid’ah karena disebutkan dalam hadis” (Ibnu Hajar, Tuhfah 9/310)
Keberadaan Bilal tidak hanya diamalkan oleh Mazhab Syafi’i, di antara Ulama Malikiyah juga menilai sebagai bidah Hasanah:
قَالَ الْأُجْهُورِيُّ وَعَلَّلَ الْكَرَاهَةَ بِأَنَّهُ لَمْ يُنْقَلْ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا عَنْ أَحَدٍ مِنْ الصَّحَابَةِ ، وَإِنَّمَا هُوَ مِنْ عَمَلِ أَهْلِ الشَّامِ ، وَلِي فِي دَعْوَى الْكَرَاهَةِ بَحْث مَعَ اشْتِمَالِهِ عَلَى التَّحْذِيرِ مِنْ ارْتِكَابِ أَمْرٍ مُحَرَّمٍ حَالَ الْخُطْبَةِ فَلَعَلَّهُ مِنْ الْبِدْعَةِ الْحَسَنَةِ (الفواكه الدواني على رسالة ابن أبي زيد القيرواني – ج 3 / ص 190أَحْمَدُ بْنُ غُنَيْمِ بْنِ سَالِمٍ النَّفْرَاوِيُّا الْمَالِكِيُّ)
“Al-Ajhuri berkata: Alasan kemakruhan Muraqqi (Bilal) adalah karena tidak diriwayatkan dari Nabi Saw maupun sahabat. Hal ini hanyalah perbuatan ulama Syam. Menurut saya, penilaian makruh perlu dikaji lagi, sebab tarqiyah (bilal) tersebut mengandung ajakan agar menghindari perbuatan yang diharamkan saat khutbah, maka masuk ke dalam bid’ah hasanah” (al-Fawakih ad-Dawani, Syaikh Ahmad an-Nafrani al-Maliki, 3/190)
3. Nabi Memakai Mimbar
عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ قَالَ كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي إِلَى جِذْعٍ إِذْ كَانَ الْمَسْجِدُ عَرِيْشًا . وَكَانَ يَخْطُبُ إِلَى ذَلِكَ الْجِذْعِ فَقَالَ رَجُل مِنْ أَصْحَابِهِ هَلْ لَكَ أَنْ نَجْعَلَ لَكَ شَيْئًا تَقُوْمُ عَلَيْهِ يَوْمَ الْجُمْعَةِ حَتَّى يَرَاكَ النَّاسُ وَتُسْمِعَهُمْ خُطْبَتَكَ ؟ قَالَ ( نَعَمْ ) فَصُنِعَ ثَلاَثُ دَرَجَاتٍ . فَهِيَ الَّتِي أَعْلَى الْمِنْبَرِ (رواه ابن ماجه 1414)
“Rasulullah salat dan khutbah di dekat pelepah kurma. Ada sahabat usul: “Bagaimana jika kami buatkan untuk Anda sebuah tempat yang dapat dilihat oleh orang dan suara khutbah Anda bisa didengar orang?” Nabi menjawab: “Ya”. Maka dibuatlah mimbar dengan 3 tangga (HR Ibnu Majah No 1414).
Sumber : Fb Kyai Ma’ruf Khozin (Aswaja Center Nahdlatul Ulama)
Mengenai dzikir tahlil setelah shalat baca di : https://www.mqnaswa.id/dzikir-tahlil-setelah-shalat/
Baca juga : https://islam.nu.or.id/jumat/dasar-hukum-bacaan-bilal-menjelang-khatib-naik-mimbar-khutbah-jDe9G