Mutaba’ah Khofiy dan Penyebab Shalat Tidak Khusyu’

1 min read

Pengajian Kitab Tajul ‘Arus Bagian Kelima tentang Penyebab Shalat tidak Khusyu’

Bismillaahir rahmaanir rahiim

Jika sebelumnya telah dikatakan bahwa Mutaba’ah (mengikuti) Kanjeng Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam itu ada 2 macam : Pertama, Mutaba’ah jaliy, yakni mengikuti Nabi dalam hal hal yang jelas, nyata, dhohir. Maka yang kedua adalah Mutaba’ah Khofiy.

Mutaba’ah Khofiy artinya mengikuti Kanjeng Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam hal yang tidak kelihatan, samar, batin. Misalnya, dalam masalah shalat, mutaba’ah jaliy adalah mengikuti semua syarat, rukun, do’a yang diajarkan dalam kitab kitab fikih/ fashalatan. Sedangkan mutaba’ah khafi dalam shalat adalah konsentrasi penuh (jam’an) dan tadabbur (menghayati makna) dari yang dibaca.

Ketika  membaca basmalah, engkau mengingat Allah yang maha belas kasih. Ketika mengucap Allahu Akbar, engkau mengingat betapa kecilnya dirimu di hadapan Allah. Jika shalat kita belum demikian, maka shalat kita barulah mutaba’ah jaliy, belum mutaba’ah khafiy.

Jika engkau melakukan ketaatan, seperti shalat dan membaca Al-Qur’an, tetapi engkau tidak menemukan jam’an (rasa kesadaran penuh / sepenuh hati) dan tadabbur (memikirkan makna yang dibaca), maka ketahuilah bahwa dalam dirimu ada penyakit yang bersifat batin. Penyakit itu bisa berupa sombong, atau ujub (bangga diri) atau selainnya.

Memang, Allah ta’ala tidak berkenan untuk menampakkan tanda tanda kebesarannya, kepada orang yang memiliki penyakit – seperti sombong – di hatinya. Allah ta’ala berfirman : QS. Al-A’raf/7 : 146

سَأَصْرِفُ عَنْ اٰيٰتِيَ الَّذِيْنَ يَتَكَبَّرُوْنَ فِى الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ

“Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa hak”

Maka, jika kita mendirikan shalat, kemudian kita tidak bisa sepenuh hati dalam shalat itu, maka periksalah diri. Penyakit apa yang ada dalam batin kita. Apakah ada kesombongan dalam batin kita?

Atau ada rasa ‘ujub (merasa diri bisa melakukan kebaikan lalu meremehkan orang lain) atau bangga diri. Merasa sudah Islam, sudah shalat dan merendahkan orang-orang yang tidak Islam, belum mendirikan shalat. Semua itu adala kesombongan yang tanpa hak.

Maka salah satu caranya adalah melihat “buruknya” diri sendiri. Berupa bahan baku penciptaan kita. Bahan baku yang Allah gunakan untuk menciptakan kita adalah “sesuatu yang menjijikkan”. Kemudian melihat diri kita adalah seperti “toilet berjalan”. Kalau “pintunya” terbuka, orang akan menjauh dari kita. Untung saja Allah memberi kita kendali sehingga pintu itu dapat terbuka dan tertutup sesuai kehendak kita. Kalau sudah jebol, pasti tidak ada yang mau dekat dengan kita.

Sekali lagi, harus dipahami bahwa, orang yang tidak bisa merasakan manisnya ibadah adalah orang yang punya penyakit dalam batinnya. Imam Ibnu Athailah Assakandari membuat perumpamaan :

“Seperti orang yang sedang sakit, ia mengatakan gula (makanan manis) yang diletakkan dibibirnya terasa pahit”. Demikian juga orang yang tidak bisa merasakan manis dalam shalat, menunjukkan keadaan (batin)nya sedang sakit.

Penting sekali, ibadah disertai jam’an  (sepernuh hati) dan tadabbur ini. Ibadah yang tidak disertai dengan penghayatan makna kebesaran Allah (tadabbur) justru seringkali melahirkan sifat sombong, merasa telah suci dan melihat orang lain kotor. Padahal, kemaksiatan yang diiringi rasa sedih, hina, dan rasa rendah serta membutuhkan ampunan Allah itu lebih baik dari ibadah yang disertai rasa bangga, mulia / sombong seperti itu.

Wallahu A’lam

Alhamdulillahi robbil ‘aalamiin

Kertanegara, Sabtu Pon, 24 November 2018 M/ 16 Rabi’ul Awwal 1440 H

Wawan Setiawan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *