Nabrak Kucing ; Perspektif Memahami Musibah

4 min read

Bismillahir rahmaanir rahiim

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah suri tauladan, yang sempurna. Bukan hanya untuk umat Islam, tapi untuk seluruh manusia. Allah memang menjadikan beliau insan kamil. Manusia yang sempurna. Beliau adalah pengecualian dari ucapan “Tak ada manusia yang sempurna”.

Di antara sifat beliau yang sempurna adalah beliau sama sekali tidak pernah berbohong dan menyakiti hati orang lain. Sepanjang hidup !

Satu satu nya ayat yang menegur beliau karena “dianggap mennyinggung perasaan orang” adalah sebagaimana termaktub dalam Qur’an surat ‘Abasa.

عَبَسَ وَتَوَلٰى. أَنْ جَاۤءَهُ الْأَعْمٰى

Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta kepadanya

Ayat ini adalah teguran buat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam karena wajahnya merengut ketika ada seorang yang buta datang kepada beliau. Meskipun sebenarnya, “agak pantas” beliau merengut karena beliau sedang berbicara dengan orang-orang penting, tiba tiba orang buta itu maen nyelonong nyerobot saja. Tapi apa yang sebenarnya “masih pantas” bagi kita, tapi tidak bagi manusia yang dijadikan Allah panutan sempurna. Maka Allah pun menegur beliau, “Mengapa kamu merengut dan berpaling?”

Ini mungkin satu satunya ayat yang “mengkritik” sikap Nabi yang dianggap menyakiti orang lain. Tapi sebagian ulama tafsir malah menjadikan ayat ini sebagai salah satu bukti keunggulan akhlak Nabi.

Lho?

Ya, karena yang datang orang buta, maka cemberutnya Nabi tidak akan menyakiti hatinya. Sebab dia tidak bisa melihat Nabi cemberut atau tersenyum. Nabi tidak marah, tidak bicara kasar, Nabi hanya merengut, karena Nabi tahu, merengut tidak akan sampai menyakiti hati orang itu. Itulah akhlak Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Tiba tiba saya teringat, ketika perjalanan pulang dari Cirebon untuk keperluan membeli kitab dan peralatan hadroh, saya nabrak seekor kucing. Waktu itu saya mengendarai motor dengan kecepatan yang rendah. Mungkin hanya 50 an km/ jam. Maka saya memilih sisi kiri jalan.

Tiba tiba dari arah perkampungan di pinggir jalan keluar dua ekor kucing. Satu ekor kucing berwarna putih berlari kencang dikejar satu kucing lainnya. Kedua kucing itu berkejaran di bahu jalan, di samping saya.

Entah karena motor saya yang kurang cepat atau kucing itu benar benar cepat larinya. Yang jelas lari keduanya menyamai laju motor saya. Saya pun sempat terkagum dan malah menonton adegan balapan kucing itu sambil terus mempertahankan kecepatan motor saya.

Tiba tiba, “Seeeet !!”. Kucing yang depan belok dengan mendadak (tanpa kasih lampu sen dan peringatan, seperti emak emak). Melintas di depan motor saya.

Saya terkejut luar biasa, “Ya Allah, Allah Allah,,,,”, sambil menarik tuas rem depan dan menginjak rem belakang. Untung saya masih bisa mempertahankan motor itu sehingga tidak melintir dan oleng kareng rem mendadak.

Saya mempertahankan motor sampai beberapa meter ke depan dan menepi. Perasaan indah nonton “action kucing berkejaran” hilang sudah, berganti kasihan, khawatir dan campur aduk. Saya menengok ke belakang. Kucing putih itu masih terdiam di tengah jalan.

Saya menyebut nama Allah tidak henti henti melihat kucing yang masih terdiam itu. Bahkan kucing yang tadi mengejar pun “melongo” di pinggir jalam. Berhenti tidak lanjut mengejar. Mungkin dia juga syok melihat “kawan main filmnya” tertabrak motor saya. Sementara mobil truk besar dari arah timur yang akan melintasi “lokasi drama” itu mengurangi kecepatan. Rupanya dia juga melihat dari kejauhan.

Saya sudah pasrah dan siap turun dari motor untuk mengambil kucing itu. Tidak dinyana. Kucing itu bangkit dan lari lagi. Menyeberang jalan ke arah utara. Kucing satunya yang semula mengejar pun seolah “tersadar” dan lanjut mengejar lagi. Perasaan aneh, senang pun memenuhi dada saya, karena saya masih bisa merasakan ketika ban sepeda motor saya menabrak badan kucing itu. Malah saya merasa kucing itu benar benar tertabrak dan sempat tereret laju ban motor. Tapi – aneh,, bukan aneh ! alhamdulillah,, – ternyata dia tidak mati, malah bangkit dan berlari lagi menyebarang jalan pantura yang besar.

Sampai di rumah, saya tidak langsung menceritakan kejadian ini. Saya kepikiran. Kata orang-orang, nabrak kucing beda dengan nabrak hewan lainnya. Saya pernah diceritai guru di musholla. Dulu, ketika beliau ikut menemani supir bis, pernah kejadian nabrak kucing.

Katanya, sudah terkenal di kalangan supir, siapa saja yang menabrak kucing, siap siap akan mendapat musibah. Maka, guru mushollah dan supir itu berinisiatif “mengurus jenazah” si Kucing. Dibungkus pakai kain, dikuburkan dengan baik, bahkan guru musholla itu membagi shadaqah (seperti ketika manusia yang meningal). “Shadaqah itu kan menolak bala” kilahnya.

Apa kata guru musholla itu selanjutnya, “Tetap saja kita terkena mushibah” katanya. Untung musibahnya tidak besar. Hanya ban yang meletus saja. Tidak sampai apa-apa. Wah ! saya jadi sangat tidak tenang. Sebab ini adalah pengalaman pertama yang “saya belum siap mental” untuk menghadapinya.

Beberapa hari saya “menunggu”, musibah apa ya yang akan menimpa saya?

Sampai tiga hari belum juga saya mendapat musibah. Ah, kenapa saya terlalu percaya seperti itu? Itukan mungkin kebetulan saja. Nabrak kucing ya nabrak kucing saja. Itu bukan pertanda kita akan mendapat musibah. Mungkin benar yang menjadi rumor di kalangan supir tentang nabrak kucing. Tapi kan bisa jadi saya “ada pengecualian”. Saya jadi berusaha “membesarkan” diri sendiri. Tapi memang nyatanya musibah itu tidak datang juga setelah tiga hari menunggu.

Tiba tiba, datang suara yang menegur saya dengan keras “Apa kamu pikir nabrak kucing itu bukan musibah ! Apa kamu kira menyakiti hewan itu bukan musibah !. Kamu menunggu musibah yang mana lagi setelah kamu menyakiti makhluk Allah yang tidak punya dosa!”

Astaghfirullahal adhim, saya tersadar dan beristighfar.

Ya, itulah musibah yang saya perbuat sendiri, tapi saya tidak merasa.

Suara itu datang lagi, “Apakah kamu seperti orang yang ketika ditimpa gempa bumi dan tsunami mereka mengatakan “Ini musibah”. Tapi memfitnah, menyebarkan berita bohong, kebencian dan menyakiti sesama manusia, tidak dikatakan musibah”.

“Menyakiti binatang pun musibah. Apalagi menyakiti sesama manusia. Nabi merengut saja sudah “dianggap musibah”. Apalagi menghina. Itu musibah besar. Tapi kamu tidak sadar juga! ketika Aku turunkan gempa barulah mengatakan musibah. Tidak ! kamu mendapat musibah setiap hari. Bahkan kamu menabung, menyiapkan musibah itu setiap waktu”.

Saya kembali sadar ketika suara itu tidak muncul lagi. Saya teringat ucapan Habib Luthfi, yang tegas dan keras, “Kalau ingin musibah ini tidak berhenti, teruslah saling menghujat satu sama lain”. Baca misalnya di http://www.muslimoderat.net/2018/10/habib-luthfi-jika-ingin-terus-terjadi.html

Mungkin Allah “senang memberi musibah”, karena ketika itu, kita semua saling mengasihi dan saling menolong. Tidak pandang siapa siapa. Tidak melihat bagaimana bagaima. Kita berusaha saling membantu satu sama lain. Lagi pula ketika Dia menimpakan musibah, Dia pun menurunkan ampunanNya kepada hamba-hambanNya yang mengalami derita.

Saya teringat perkataan seorang ulama, jika seseorang yang wafat ketika mengalami musibah/ bencana itu dihidupkan kembali, niscaya mereka akan meminta wafat dalam keadaan semula, karena telah melihat agungnya ampunan dan rahmat Allah ta’ala.

Saya berdo’a di dalam hati. “Ya Allah, angkatlah musibah ini dari bumi kami”. Dan hati saya berkata lagi, “Allah selalu siap, bahkan selalu merahmati. Tapi apakah kita siap untuk berhenti menabur benih musibah untuk kita sendiri” Entah mengapa, muncul keraguan di dada, yang saya tidak bisa menepisnya. Karena di dalam musibah pun kita masih bisa saling menghina.

 

Wallahu A’lam

Alhamdulillahi robbil ‘aalamiin

Kertanegara, Ahad Wage, 30 Desember 2018 M/ 22 Rabi’ul Akhir 1440 H

Wawan Setiawan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *