Perintah Makan dalam al-Qur’an

3 min read

Perintah Makan dalam al-Qur’an : Redaksi, obyek dan dampaknya.

Bismillaahir rahmaanir rahiim

Setelah satu bulan kita diwajibkan berpuasa, maka Hari Raya Idul Fitri adalah hari kita haram berpuasa. Kita diperintah untuk makan. Setiap hari pun kita diperintah untuk makan. Kalimat “kuluu” (makanlah kalian semua), terulang sangat banyak dalam al-Qur’an (lebih dari 40 kali). Padahal, tanpa diperintah pun, kita pasti makan. Iya kan ?

Mengapa perintah makan sangat banyak ?

Wallaahu A’lam (hanya Allah yang tahu alasan sebenarnya). Yang pasti, kita jadi tahu, bahwa makan adalah “perintah Allah”. Artinya, jika kita makan dengan mengingat itu sebagai perintah Allah, niat melaksanakan perintah Allah. Maka, makan kita mendapat pahala dari Allah. Kesempatan kita mendapat pahala jadi banyak.

Juga, bisa jadi, karena makan memang perkara yang harus kita perhatikan, karena makan adalah sumber energi manusia untuk beraktifitas. Jika “makannya baik”, tentu dorongan energi yang ditimbulkan mengarah kepada hal yang baik. Sebaliknya, jika “makannya buruk”, dorongan yang ditimbulkan mengarah pada hal-hal yang buruk pula.

Dampak dari secuil makanan dapat dibaca di kisah berikut ini : Kisah Seculi Keju

Dalam hal makan, manusia sangat komplit. Segala tumbuhan yang merambat, buah yang beraneka rasa boleh mereka makan. Hewan darat, hewan laut, hewan udara, bisa mereka makan. Juga cara manusia makan, dari yang sederhana di pematang sawah, sampai yang menghabiskan uang jutaan rupiah untuk sekedar menikmati “makanan biasa” dengan sensasi yang mewah.

Tapi, jika kita menelaah dalam al-Qur’an, kita dapat menemukan indah dan halusnya Allah dalam memerintahkan soal makan ini. Perintah makan di dalam al-Qur’an diarahkan kepada (kita ringkas saja menjadi) 3 golongan :

Pertama, manusia pada umumnya.

al-Qur’an (satu kali) memberikan perintah makan yang ditujukan untuk manusia pada umumnya (dengan redaksi “Yaa ayyuhann naas : wahai manusia”), yaitu pada QS. Al-Baqarah/2 : 168 :

يا أيها الناس كلوا مما في الأرض حلالا طيبا ولا تتبعوا خطوات الشيطان إنه لكم عدو مبين

2:168 Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.

Pada ayat tersebut, perintah makan ditujuakn kepada semua manusia, atau manusia pada umumnya. Perhatikanlah, setelah perintah makan itu, Allah sambungkan dengan kalimat “janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan”.

Ya, karena makan bagi kita manusia pada umumnya, selain sumber kekuatan untuk aktifitas, ternyata juga merupakan sumber dorongan untuk menguatkan hawa nafsu, untuk mengikuti langkah setan, dalam perbuatan yang buruk.

Banyak sekali hadits tentang faidah lapar, yang salah satunya adalah menjadi rem untuk nafsu. Di antaranya hadits tentang perintah berpuasa bagi laki-laki yang sudah “seneng perempuan”, tapi belum mampu menikah. Karena perempuan adalah syahwat yang terbesar sebagaimana tampak dalam ayat : “Dijadikan indah bagi manusia, mencintai syahwat-syahwat (berupa) wanita,, ilaa akhiri ayat”.

Makan juga bagi kita menjadi “simbol kerakusan”. Sehingga muncul kata-kata, “makan aspal, makan proyek, makan segala-gala dimakan”.

Maka indah dan halus sekali firman Allah di atas, “Wahai sekalian manusia, (kamu semua butuh makan, maka) makanlah (apa saja, banyak sekali) yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan (ingat) janganlah (setelah makan mendorong) kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu (yang akan menjerumuskan dalam keburukan dan hal yang menjijikan).

 

Kedua, Orang yang beriman.

al-Qur’an (satu kali juga) memberikan perintah makan yang ditujukan untuk orang yang beriman (dengan redaksi “Yaa ayyuhal ladziina aamanuu : wahai orang-orang yang beriman”), yaitu pada QS. Al-Baqarah/2 : 172 :

يا أيها الذين آمنوا كلوا من طيبات ما رزقناكم واشكروا لله إن كنتم إياه تعبدون

2:172 Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu menyembah.

Perhatikanlah, bagi orang yang beriman, makan adalah potensi untuk bersyukur kepada Allah. Syukur artinya berterima kasih atas pemberian Allah dengan cara menggunakannya dalam suatu kebaikan yang disukai Allah. Tangan untuk bekerja dan membantu sesama manusia. Lisan untuk berdzikir dan mengucap kata yang baik.

Jika setelah makan, kita terdorong untuk menggunakan anugerah yang diberikan Allah kepada kita sebaik-baiknya sebagai wujud syukur atas segala pemberian-Nya, maka kita (muga-muga) termasuk pada golongan orang yang diperintah makan dengan redaksi “yaa ayyuhall ladziina aamanuu,,,, wahai orang-orang yang beriman,,,, makanlah,,,, dan bersyukurlah”.

 

Ketiga, para Rasul (hamba terpilih dan terkasih) Allah ta’ala.

al-Qur’an (satu kali juga) memberikan perintah makan yang ditujukan untuk para Rusulullah (dengan redaksi “Yaa ayyuhar Rusulu : wahai para rasul”), yaitu pada QS. Al-Mukminuun/23 : 51 :

يا أيها الرسل كلوا من الطيبات واعملوا صالحا إني بما تعملون عليم

23 : 51 : Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang shaleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Perintah makan juga berlaku untuk para utusan Allah, hambaNya yang paling istimewa, yang Allah jaga meraka dari segala luput salah dan dosa.

Makan bagi para Rasul adalah dorongan untuk beramal shaleh, dan “muroqobah” kepada Allah. Muroqobah artinya selalu merasa diawasi oleh Allah. Jadi dalam hal makan (perkara yang seolah bukan ibadah), Allah memberikan derajat “muroqobah” atau derajat “ihsan” bagi para Rasul.

Maka tidak heran, muncul ucapan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bahwasanya jika ada sebutir makanan jatuh, (selagi masih mungkin tentunya), agar dibersihkan dan dimakan.

Berapa sih harganya sebutir nasi ?

Adakah yang mau membelinya dengan harga 1000 rupiah ? 500 perak ? tidak ada.

Tapi bagi para Rasul bukan harga nasinya, tapi sebutir itu yang memberinya adalah Allah. Demikian para ulama juga sangat memuliakan hal yang bagi kita biasa saja. Ada ulama yang jika mau dahar (makan), memakai pakaian yang rapih.

Ketika ditanya mengapa harus begitu ?

Mereka menjawab, “Saya takriman, ta’dhiman (menghormati dan memuliakan) pemberian Allah ta’ala”.

Kisah kisah lain tentang makanan baca :

Kemampuan Gus Dur mengetahui makanan halal

Kisah Ulama yang Diuji oleh Raja

 

Wallaahu A’lam
Alhamdulillaahi robbil ‘aalamin.

Diskusi KopiQU Hangat (Komunitas Pecinta al-Qur’an, Hadits, Ilmu Pengetahuan dan Nasihat)
Rutin setiap malam Ahad di MQNaswa,
Sabtu Pahing, 16 April 2022 M / 14 Ramadlan 1443 H

Wawan St

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *