Puasa Dibagi 3 Tingkatan. Mengapa ?

2 min read

Pengajian Kitab Asrorush Shoum bagian kedua memahami tentang Pemahaman “Puasa dibagi 3 tingkatan” oleh para ulama.

Bismillaahir rahmaanir rahiim

Kyai Sholeh Darat berkata :

بَابُ اَسْرَارِ الصَوْمِ

وٛرُوْهَا سِيْرَا هَيْ مُؤْمِنْ سٛتُهُوْنَيْ صِيَامْ اِيْكُوْ اَنَا تٛلُوڠْ درَجَاتْ. سٛوِجِنَيْ صَوْمُ الْعُمُومْ تٛڮٛسَيْ فُوَاسَانَيْ عُمُومَيْ مٛنُوْسَا. لَنْ كَفِنْدَوْنَيْ صَوْمُ الْخُصُوصْ تٛڮٛسَيْ فُوَاسَانَيْ فِيْلِيْهَانَيْ مٛنُوْسَا. لَنْ كَفِيڠْ تٛلُوْنَيْ صَوْمُ خُصُوْصِ الْخُصُوصْ تٛڮٛسَيْ فُوَاسَانَيْ فِيْلِيْه٢هَانَيْ مٛنُوْسَا إِڠْكَڠْ سَمْفُرْنَا.

 

BAB ASRORUSH SHOUM

Weruha sira He Mu’min ! setuhune shiyam iku ana telung derajat. Sewijine Shoumul ‘Umum, tegese puasane umume menusa. Lan kapindone Shoumul Khusus, tegese puasane pilihane menusa. Lan kaping telune Shoumu Khushushil Khushush, tegese puasane pilih-pilahane menusa ingkang sampurna.

 

BAB RAHASIA-RAHASIA PUASA

Ketahuilah olehmu wahai orang yang beriman ! Sesungguhnya puasa itu ada tiga derajat.

Pertama, Shoumul ‘Umum, yakni puasaya manusia pada umumnya.

Kedua, Shoumul Khusus, yakni puasanya manusia pilihan

Ketiga, Shoumu Khushushil Khushush, yakni puasanya manusia pilihan yang sempurna

 

Pemahaman :  Mengapa ulama membagi puasa ini ke dalam tiga kategori ?

Pertama : Karena Menujukkan Kelembutan Allah

Allah menciptakan jin dan manusia semata untuk beribadah (mengabdi) kepada-Nya. Dalam menjalankan ibadah itu Allah menghendaki, bukan ibadah yang asal-asalan. Tetapi “ibadah yang sempurna”. Hal ini dapat terlihat dari beberapa hal :

  • Dalam syahadat, misalnya. Menggunakan lafadz “Asyhadu” yang artinya “Aku menyaksikan bahwa tidak ada yang menguasai semesta alam ini kecuali hanya Allah ta’ala. Tapi tidak semua hamba Allah berada dalam maqom musyahadah (kedudukan hamba Allah yang bisa menyaksikan Allah dengan mata batinnya). Maka para ulama menafsirkan “Asyhadu” (aku menyaksikan) sebagai “ayqonu” (aku meyakini). Karena meyakini, tidak mesti harus sampai pada derajat menyaksikan.
  • Dalam shalat, misalnya. Menggunakan lafadz “aqimish sholat”. Yang maknanya bukan “sekedar mengerjakan” shalat. Tetapi maknanya adalah mendirikan shalat dengan sempurna. Tapi tentu saja, tidak mampu kita mengerjakan shalat dengan sempurna.

Dan sebagainya.

Terkhusus puasa. Puasa ini dikerjakan agar manusia meraih derajat takwa. Sebagaimana firman-Nya : (QS. Al-Baqarah/2 : 183)

يَآ أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa

Dalam hal ini, takwa yang “diinginkan” Allah adalah ketakwaan yang sempurna. Sebagaimana firman-Nya : (QS. Ali ‘Imran/3 : 102)

يَآ أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِه

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya;

Sebagian mufasirin rahimahumullah menjelaskan makna ayat ini bahwa takwa yang sebenarnya itu :

“Ta’at kepada Allah, tidak mendurhakai-Nya. Ingat kepada Allah, tidak melupakan-Nya. Bersyukur kepada Allah, tidak kufur pada-Nya”

Maka, tidak akan mampu seorang hamba untuk mencapai itu semua, meskipun diberikan sejuta kehidupan sejuta kali, setiap kehidupannya diberi umur sejuta tahun. Tidak akan mampu ia bertakwa dengan sebenar-benarnya takwa. Meskipun, seluruh umurnya itu ia persembahkan untuk ta’at kepada Allah dan mengagungkan Allah.

Karena dalam mengagungkan Allah pun, tetap saja, tidak bisa seorang hamba mengagungkan-Nya dengan pengagungan yang sempurna. Sebagaima diisyaratkan dalam do’a Sayidina Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, orang yang paling utama dalam menegakkan pengabdian dan memuliakan hak Allah, beliau berdo’a :

لَا أُحْصِيْ ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلٰى نَفْسِكَ

Ya Allah, tidak mampu hamba ini memuji Tuan, sebagaimana Tuan memuji diri Tuan sendiri”

Yakni tidak mampu hamba menghaturkan ibadah, sanjungan pujian, yang sesuai dengan keagungan Allah jalla wa ‘alaa. Maka, dengan kelembutan-Nya, Allah tidak membebani hamba di luar kemampuan mereka. Allah pun memberi “keringanan” makna takwa dengan firman-Nya : (QS. At-Taghabun/64 : 16)

فَاتَّقُوا اللهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu

Maka puasa yang diperintahkan Allah agar manusia meraih derajat takwa pun, dibagi menjadi 3 bagian. Agar setiap hamba-Nya dapat melaksanakan perintah-Nya, untuk mendapat kasih sayang dan kelembutan-Nya.

Anak anak yang baru belajar berpuasa. Mukmin yang baru belajar mengerjakan perintah agama. Sampai para sufi yang menduduki maqom tinggi di sisi Allah, semuanya mengerjakan perintah Allah menurut kesanggupan, yang telah dianugerahkan Allah kepada masing-masing dari mereka.

Kedua : Agar Hamba Berlomba dalam Ketaatan dan Keikhlasan

Yakni agar hamba berusaha meraih derajat khusus di sisi Allah dengan mengerjakan puasa yang sebaik-baiknya. Ia akan fokus paa hal-hal yang dapat menyempurnakan puasanya. Dia tidak akan melihat puasa orang lain, karena salah satu syarat puasa khusus adalah menjaga mata. Terlebih lagi dengan menjaga hati dari selain Allah, terutama melihat amal ibadah orang lain.

Demikian pemahaman atas kalam Kyai Sholeh Darat dan para ulama tentang “Puasa dibagi 3” tingkatan. Semoga bermanfaat.

 

Baca Pengajian Ke-1 di : https://www.mqnaswa.id/category/kyai-sholeh-darat/asrorush-shoum/

Wallahu A’lam
Alhamdulillahi robbil ‘Alamin

Kertanegara, Naswa,
Senin, 19 Mei 2020 M / 26 Ramadhan 1441 H

Wawan Setiawan

2 Replies to “Puasa Dibagi 3 Tingkatan. Mengapa ?”

  1. Banyak terimakasih untuk share ilmunya.
    Saya merasakan ini sangat bermanfaat.
    Semoga berkah dan terus lanjut

    1. Alhamdulillaah,,,
      Amiin amiin,,,

      Matur suwun sudah mampir dan atas do’anya.
      salam,,,

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *