Kisah tentang kesalehan Imam Syafi’i yang disaksikan langsung oleh putri Imam Ahmad
Bismillahir rahmaanir rahiim
Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal adalah Guru dan Murid yang harus diteladani. Keduanya saling memuji satu sama lain. Bahkan saling mengunjungi. Pernah suatu ketika Imam Syafi’i membuat syair memuji Imam Ahmad :
“Mereka berkata, “Ahmad mengunjungimu dan kaupun mengunjunginya”
Aku pun berkata, “Keutamaan itu tidak pernah beranjak dari kedudukannya”
Ia mengunjungiku atau aku yang mengunjunginya
Dalam dua keadaan itu, keutamaan adalah baginya”
Maksudnya, menurut Imam Syafi’i, jika Imam Ahmad bin Hambal yang mengunjunginya, maka itu suatu keutamaan akhlak bagi Imam Ahmad. Sedangkan jika Imam Syafi’i yang mengunjungi Imam Ahmad, maka itu juga keutamaan Imam Ahmad, yang telah memberikan kebanggaan terhadap para ulama.
Sebaliknya Imam Ahmad bin Hambal selalu memuji dan mendoakan gurunya, Imam Syafi’i. Dihadapan keluarganya, di hadapan murid murid dan khalayak ramau. Beliau selalu menyebut nyebut nama gurunya dengan kemuliaan dan penghormatan.
Hingga suatu hari puteri Imam Ahmad bin Hambal yang dikenal shalihah dan suka qiyamullail (beribadah di malam hari) bertanya, “Ayah, mengapa engkau selalu menyebut nyebut, memuji, dan mendoakan Imam Syafi’i?”
“Puteri ku, Imam Syafi’i itu bermanfaat bagi masyarakat, kita tidak mampu membalas jasa jasanya”.
Hingga suatu waktu, Imam Syafi’i dan beberapa santri mengunjungi Imam Ahmad bin Hambal. Seorang guru agung mengunjungi muridnya. Sungguh luar biasa.
“Inilah kesempatanku” kata puteri Imam Ahmad dalam hati. Ia akan melihat seperti apa Imam Syafi’i yang selalu disanjung sanjung ayahnya itu.
Makan malam telah dihidangkan. Imam Ahmad mempersilahkan gurunya dan mereka pun makan bersama. Tapi ada satu yang janggal di mata puteri Imam Ahmad. Imam Syafi’i makan dengan lahap. Beliau makan banyak.
Biasanya seorang ulama itu makannya sedikit, apalagi ini sekelas Imam. Imam bukan gelar sembarangan. Dia seperti baju yang tidak boleh dipakai oleh sembarang orang, Imam harus menguasai sekian puluh cabang ilmu. Mengahafal sekian ratus ribu hadits dan sebagainya. Ayahnya saja hafal 1 juta hadits. Tentu gurunya orang yang lebih hebat. Tapi kenapa, adab makannya seperti “kurang”.
Ketika malam mulai larut, selesai berbincang, Imam Ahmad mempersilahkan gurunya beristirahat di ruangan yang sudah disiapkan dengan khusus.
Setiap jam puteri Imam Ahmad bangun dan memeriksa mihrab (tempat shalat), apakah Imam Syafi’i qiyamullail (beribadah malam) atau tidak. Dia kecewa, setiap ia memeriksa, ia tidak menemukan Imam Syafi’i. Akhirnya ia mengira, karena banyak makan, Imam Syafi’i tidur lelap dan tertinggal untuk ibadah di malam hari. Padahal ayahnya sangat memerhatikan ibadah di kala orang tidur lelap. Bukankah itu waktu terbaik untuk bermunajat kepada Allah. Kenapa Sang Guru tidak?.
Puterinya bertanya kepada sang ayah, “Ayah, sepanjang malam ku lihat beliau hanya tidur saja dan baru bangun menjelang fajar. Sedangkan kita berdua mendirikan ibadah di malam hari (qiyamul lail)”
“Puteriku, sesungguhnya Imam Syafi’i melakukan ibadah yang kita berdua tidak akan mampu meneladaninya. Jika engkau penasaran, aku akan tanyakanlah langsung kepadanya. Dengarkanlah jawabannya”.
Namun jawaban itu sama sekali tidak mencukupi, bahkan menambah rasa penasaran puteri Imam Ahmad akan perilaku gurunya.
Imam Syafi’i memang keluar kamar beberapa saat sebelum shubuh, beliau langsung menuju masjid untuk mengikuti shalat shubuh berjamaah. Ketika shalat akan didirikan Imam Ahmad meminta gurunya menjadi Imam. Tapi Imam Syafi’i menolak. Beliau mengatakan singkat saja, “Jamaah di sini lebih mengenal suaramu”.
Akhirnya, waktu Imam Syafi’i berpamitan pun tiba. Pagi itu udara bersih, Imam Syafi’i dan para santri akan berpamitan. Imam Ahmad bin Hambal melepas kepergian gurunya dengan hati kehilangan. Tapi sebelum Sang Guru beranjak Imam Ahmad bin Hambal meminta kesempatan untuk menanyakan beberapa hal yang mengganjal di hati puterinya.
Imam Syafi’i menjawab “Aku semalam makan dengan lahap di rumahmu, karena aku tahu makananmu adalah makanan yang halal dan berkah. Aku mengharapkan keberkahanmu untukku. Kemudian ketika aku masuk kamar. Aku meletakkan kepalaku di atas bantal. Allah membukakan Al-Qur’an dan hadits untukku sehingga malam tadi aku menggali hukum dari 100 masalah yang dibutuhkan kaum muslimin. Oleh karena itu aku keluar menuju masjid telah dekat waktu shubuh”.
“Lalu mengapa Tuan tidak wudlu terlebih dahulu sebelum shalat?” tanya Imam Ahmad.
“Karena sejak malam memang wudlu ku belum batal, aku tidak tertidur, maka aku langsung mendatangi shalat shubuh berjamaah”.
Wallahu A’lam
Alhamdulillaahi robbil ‘alamin
Kertanegara, Selasa Pon, 12 Februari 2019 M / 7 Jumadil Akhir 1440 H
(repost)
Wawan Setiawan
One Reply to “Puteri Imam Ahmad “menguji” Kesalehan Imam Syafi’i”