Rahasia Bersuci : Mengapa ketika Hadats Kecil Wajib Wudlu dan ketika Hadats Besar Wajib Mandi ?

3 min read

POengajian Kitab Lathoifuth Thoharoh Bagian Keempat tentang Hadats Kecil dan Hadats Besar

Bismillaahir rahmaanir rahiim

Allah adalah Dzat yang Maha Suci dan mencintai kesucian. Tentu yang dimaksud adalah kesucian lahir dan batin, luar dan dalam. Semua aturan, syari’at dan ajaran agama yang kita lakukan di dunia ini menuju kepada hal itu (kesucian jasad dan jiwa/ruh). Agar ketika kembali kepada Allah, kita diizikan menempati sebuah tempat yang suci dhaahiran wa baathinan, yakni syurganya Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Maka dalam setiap pelajaran agama, pelajaran pertama adalah tentang thaharah, bersuci. Dan kita diberi pelajaran secara secara bertahap, dari kesucian lahiriyah yakni berwudlu dan mandi, terus meningkat belajar kesucian batiniyiah, yakni rahasia rahasia yang terdapat di dalam wudlu dan mandi.

Para ulama membagi bersuci ini menjadi 2 : Pertama bersuci dari najis. Kedua bersuci dari hadats. Najis dibagi 3 (ringan, sedang dan berat) dan cara mensucikannya pun berbeda beda, sesuai dengan tingkatan najisnya. Hal ini dapat di lihat dan dipelajari dalam kitab kitab fikih.

Pelajaran yang akan kita bahas kali ini adalah hadats. Khususnya hadats besar. Dalam fikih kita mengetahui bahwa hadats dibagi dua. Hadats kecil dan hadats besar. Hadats kecil adalah perkara yang mewajibkan wudlu, misalnya buang air kecil dan buang air besar. Sedangkan hadats besar adalah perkara yang mewajibkan mandi. Misalnya junub/ jinabat/ berhubungan suami isteri.

Tapi kita bertanya tanya, mengapa hadats besar harus mandi, padahal penyebabnya adalah “mengeluarkan sesuatu yang suci” yakni mani. Sedangkan hadats kecil yang mengeluarkan kotoran (kencing dan tinja) justru hanya diwajibkan berwudlu.

Kiai Shaleh Darat dalam kitab Lathaifuth Thaharah menjelaskan hal ini, sebagai berikut :

Berkata Imam Tsa’labi ketika menafsirkan ayat ini (QS. Al-Maidah/5 : 6), yang bersumber dari Sayidina ‘Ali Karramallahu Wajhah, beliau berkata : Ada sepuluh orang Yahudi datang kepada Kanjeng Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, mereka berkata :

“Wahai Muhammad mengapa Allah Subhanahu Wa Ta’ala memerintahkan mandi setelah janabah (junub) dan mengapa Allah tidak memerintahkan mandi setelah kencing dan buang air besar, padahal tinja (kotoran manusia) itu jelas jelas najis, sedangkan junub/ keluar mani itu tidak najis?.

“Kok yang diperintah mandi orang yang mengeluarkan sesuatu yang suci (mani), sedangkan yang mengeluarkan najis tidak diperintah mandi?”

Bersabda Sayidina Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, “Sesungguhnya, ketika Nabi Adam ‘Alaihis Salam telah makan syajarah (buah khuldi), maka merasuklah seluruh saripati buah itu ke dalam otot dan rambutnya.

Ketika manusia itu jima’ (berhubungan suami isteri), keluarlah sari pati syajarah (buah khuldi) itu dari otot otot dan setiap helai rambutnya di sekujur tubuhnya. Oleh karena itu, Allah memfardlukan mandi kepadaku dan semua umatku. (Mandi dengan mengguyur/ membasahi sekujur tubuhnya).

Hal itu bertujuan untuk mensucikan (seluruh badan), sekaligus sebagai kifarat (tebusan) dan syukur atas nikmat Allah ta’ala. Bersyukur kepada Allah dari ladzat (kenikmatan jima’).

Hadits ini memberi pengertian kepada kita bahwa syajarah (buah khuldi) adalah makanan ternikmat yang ada di syurga. Tidak ada buah atau makanan apapun di syurga yang kenikmatannya melebihi syajarah (buah khuldi) ini. Kenikmatan jima’ seluruh anak Adam adalah atsar (bekas/ akibat) dari kelezatan buah khuldi yang telah dimakan oleh Nabi Adam dan Ibu Hawa ‘Alaihimash Sholaatu Was Salaam.

Disebutkan dalam kitab badaya’ish Shanayi’ fii Ahkaamisy Syaraa-i’ bahwa mengapa kok diwajibkan mandi dan membasuh sekujur badan sebab keluar mani, dan tidak diwajibkan mandi sebab keluar kecing (buang air kecil) dan tinja (buang air besar).

Ketika buang air kecil, kita hanya diwajibkan membasuh bagian tubuh tertentu, yakni tempat keluarnya kotoran (qubul dan dubur), dibasuh dari bekas najisnya. Kemudian membasuh bagian tubuh yang tertentu pula (yakni anggota wudlu), ketika akan mendirikan shalat. Mengapa demikian?

Jawaban dari pertanyaan tersebut dapat dikemukakan dalam 3 (tiga) sudut pandang :

  1. Sesungguhnya datangnya syahwat melahirkan istimta’ (mencari kenikmatan/ kesenangan) yang melibatkan seluruh anggota badan, yang kemudian terjadi inzalul mani’ (keluarnya mani). Itu dibarengi dengan rasa nikmat yang dirasakan oleh seluruh badan.

Maka diwajibkan mandi, membasuh seluruh badan/ anggota tubuh karena untuk bersyukur atas kenikmatan ini. Sedangkan untuk buang air kecil dan besar tidak demikian.

  1. Jima’ itu dilakukan dengan mengeluarkan kekuatan lahir (anggota badan) dan batin (nafsu), sehingga menjadi lemah kekuatan fisik dan batinnya. Untuk itu diwajibkan mandi, membasuh seluruh badan agar mengembalikan kesegaran jasmani dan rohani (anggota badan dan jiwa). Sebagaimana kita ketahui, air dijadikan oleh Allah sebagai sebab hidupnya segala sesuatu.

Sedangkan dalam hadats kecil (buang air kecil dan besar) tidak berlaku keadaan yang demikian. Dalam hadats kecil, kencing dan tinja keluar dari qubul dan dubur. Asalnya adalah makanan dan minuman yang masuk melalui mulut kita. Kita bisa makan dan minum karena “hasil usaha” kedua tangan dan kedua kaki. Tentu saja dengan menggunakan wajah (untuk berkomunikasi) dan kepala (untuk berfikir).

Oleh karena itu, selepas kita buang air kecil dan besar, kita wajib mencuci bagian keluarnya najis. Dan ketika hendak shalat (menghadap Allah), kita sucikan anggota yang menjadi sabab (perantara)nya, yakni wajah, tangan, kepala dan kaki. Demikianlah hikmah diwajibkannya wudlu.

  1. Sesungguhnya, baik mandi (membasuh selurh badan) atau wudlu (membasuh sebagian badan) itu diwajibkan karena menjadi wasilah (jalan/ perantara) untuk mendirikan shalat. Shalat adalah berbakti, menyembah, berdiri menghadap Allah ta’ala, Tuhan yang Maha Agung. Maka wajiblah kita mensucikan badan kita. Karena untuk mengagungkan Allah subhanahu wata’ala.

Kedua macam bersuci ini membuat kita faham bahwa ibadah yang kita lakukan adalah berkenaan dengan kesucian lahir dan batin. Kita tidak pantas menyembah/ menghadap Dzat yang Maha Suci dengan membawa kotoran badan apalagi kotoran dalam jiwa. Semoga kita diberi pertolongan untuk memperindah ibadah kita, hingga dianugerahi Allah kebersihan lahiriyah dan batiniyah. Amin.

Wallahu A’lam

Alhamdulillahi robbil ‘aalamiin

Kertanegara, Rabu Pahing, 28 November 2018 M/ 20 Rabi’ul Awwal 1440 H

Wawan Setiawan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *