Salah Naro Ayat dan Kisah Anak Sufi yang Diuji Ayahnya

3 min read

Menggali Makna Ayat “Inna Akromakun ‘indallahi atqookum

Bismillaahir rahmaanir rahiim

Saya mengira, salah satu sebab terbesar dari keributan yang menggunakan dalil Al-Qur’an adalah karena kita salah dalam meletakkan ayat. Ayat yang ditujukan untuk orang kafir kita tujukan untuk menghantam orang beriman. Ayat yang dimaksudkan untuk orang lain dipajang untuk diri sendiri. Dan yang untuk diri kita sendiri malah dilempar kepada orang lain.

Maka muncullah pertanyaan “Kamu muslim?”, “Kamu munafik”, “Saya orang beriman dan bertakwa”, “Saya syar’i” dan sejenisnya.

Misalnya ayat :

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْ

“Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah, adalah yang ATQOO (paling bertakwa) di antara kalian”. (QS. Al-Hujurat/49 : 13)

Lalu kita meletakkan ayat ini “untuk diri kita” dengan cara membandingkan kita dengan orang lain. Sehingga muncul dugaan dalam benak kita“kayaknya saya lebih bertakwa”. “Kayaknya saya lebih Islami”. “Kayaknya saya lebih syar’i”. “Kayaknya saya lebih mulia”. Dan seterusnya. Kalau memandang orang lain yang lebih baik dan bertakwa sih mending.

Ayat ini memang memiliki arti “Orang yang paling mulia, bukan diukur dari harta, jabatan apalagi penampilan, tapi diukur dari ketakwaan”.

Tapi ini sama sekali tidak bisa diterapkan kepada kita. Apalagi sekarang, di dunia dan saat ini. Mengapa ?

  1. Tidak ada yang bisa mengetahui ketakwaan seseorang kecuali Allah ta’ala. Ilmu, penampilan, bahkan amal sekalipun tidak bisa menjamin tingginya ketakwaan. Misal ada yang bersedekat 1 jt tiap hari. Apakah lantas dia bertakwa? Belum tentu juga. Ada yang sedekah hanya 10.000 tiap hari Jum’at. Apakah berarti dia kurang bertakwa. Tidak bisa kita men-judge Kita hanya ber-husnudhan (berprasagka baik) saja, keduanya adalah orang bertakwa.
  2. Takwa itu berproses hingga akhir hayat. Sedangkan manusia itu kan tidak pernah tetap. Kadang ia tekun dalam kebaikan. Seringkali ia bosan. Yang hari ini beramal shalih belum tentu esok hari. Hari ini menjadi fajir (orang berdosa) besoknya jadi wali (kekasih Allah). Bisa saja kan?

Apakah bisa kita menetapkan sekarang, siapa yang lebih bertakwa? Sementara kepastian untuk manusia apakah baik atau buruk ada pada ujung hidupnya (husnul khotimah atau su-ul khotimah). Itu pun tidak bisa diketahui kecuali oleh Allah. Kita hanya bisa ber-husnudhan saja.

Jadi, tepatkah jika kita berkata : “Aku Akrom (lebih/ paling mulia?”, “Aku Atqoo (yang lebih/ paling bertakwa?”.  Tentu saja tidak tepat.

Lantas untuk siapa label ATQOO (paling bertakwa) dalam ayat itu?

Label atqoo (paling bertakwa) dalam ayat ini ternyata untuk Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Karena beliau memang mendapat Jaminan Predikat Takwa dari Allah Yang Maha Mengetahui. Perhatikan penjelasan hadits berikut ini :

Diriwayatkan dari beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, sesungguhnya beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah ‘Azza wajalla, membagi makhluk menjadi 2 bagian, dan Allah ta’ala menjadikanku masuk dalam bagian yang terbaik dari keduanya. Itu adalah firman Allah ta’ala :

وَأَصْحٰبُ الْيَمِيْنِ مَا أَصْحٰبُ الْيَمِيْنِ.

وَأَصْحٰبُ الشِّمَالِ مَا أَصْحٰبُ الشِّمَالِ

“Golongan Kanan, betapa beruntungnya golongan kanan” (QS. Al-Waqi’ah/56 : 27)

“dan Golongan Kiri, betapa celakanya golongan kiri” (QS. Al-Waqi’ah/56 : 41)

Kemudian Allah membagi dari 2 golongan itu menjadi 3 golongan, dan Allah ta’ala menjadikanku masuk dalam bagian yang terbaik dari ketiganya. Itu adalah firman Allah ta’ala :

فَأَصْحٰبُ الْمَيَمَنَةِ مَا أَصْحٰبُ  الْمَيَمَنَةِ. وَ أَصْحٰبُ الْمَشْئَمَةِ مَا أَصْحٰبُ الْمَشْئَمَةِ. وَالسّٰبِقُوْنَ السّٰبِقُوْنَ.

“Yaitu Golongan Kanan. Alangkah dimuliakannya golongan kanan. Dan Golongan Kiri. Alangkah dihinakannya golongan kiri. Dan orang-orang terdepan (Sabiqun)” (QS. QS. Al-Waqi’ah/56 : 8-10)

Kemudian Allah menjadikan 3 golongan itu menjadi Kabilah kabilah[1], dan Allah ta’ala menjadikan kabilahku terbaik dari kabilah kabilah itu. Itu adalah firman Allah ta’ala :

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَّأُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوْا. إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقٰكُمْ.

“Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berkabilah-kabilah dan bersuku suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang ATQOO (paling bertaqwa) di antara kamu” (QS. Al-Hujurat/49 : 13)

Maka Akulah ATQOO (orang yang paling bertakwa)nya keturunan Adam. Ini bukan kesombongan.

Kemudian Allah menjadikan kabilah itu keluarga keluarga (ahli bait), maka Allah menjadikan keluargaku yang terbaik. Itu adalah firman Allah ta’ala :

إِنَّمَا يُرِيْدُ اللهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِرُّكُمْ تَطْهِيْرًا.

“Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghapus dosa dari kalian, wahai ahli bait, dan membersihkan kamu sebersih bersihnya”(QS. Al-Ahzab/33 :33). Maka aku dan keluargaku disucikan Allah dari ‘aib, dosa dosa, dan noda.[2]

Jadi, maksud ayat itu adalah :

  1. Manusia yang mendapat jaminan Predikat Paling Bertakwa hanyalah Rasulullah shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Kita dan semua manusia berusaha mengikuti (ittiba’) pada beliau agar mendapat “percikan” dari ketakwaan.
  1. Kita dan orang lain adalah sama sama sedang berusaha untuk bertakwa hingga ajal tiba. Tidak ada yang bisa menentukan siapa yang lebih berhasil dalam usaha itu. Hanya Allah yang mengetahui.
  1. Dalam melihat siapa pun, maka kita melihatnya lebih baik dari diri kita. Ketika melihat orang beribadah, kita melihat ibadahnya lebih baik dari kita. Ketika kita melihat orang bermaksiat, kita menyangka bahwa besok atau suatu waktu dia akan menjadi orang yang dekat dan dimuliakan Allah ta’ala, sedangkan kita belum tentu.

Alkisah ada seorang anak. Ia dididik oleh ayahnya dengan pendidikan yang luar biasa. Di usia yang masih belia telah memiliki ilmu dan jiwa yang sulit dicari bandingannya. Setelah menamatkan suatu kitab, ia diperintah oleh ayahnya untuk pergi ke pasar dan mencari seseorang yang dipandangnya buruk. Apakah karena ia ghibah (membicarakan keburukan orang lain), curang atau apa pun.  Tidak boleh pulang sebelum mendapatkan hasil.

Maka pergilah sang anak ke pasar sesuai dengan perintah ayahnya. Lama sekali. Hingga lewat tengah hari bahkan menjelang sore, si anak baru pulang ke rumah. Kemudian ia menghadap kepada ayahnya.

“Mengapa lama sekali anakku” tanya sang ayah.

“Setiap saya melihat seseorang, saya langsung dapat melihat keburukannya. Tapi setelah saya merenung, saya melihat dengan yakin. Ternyata dia lebih baik dari saya. Terus saja seperti itu ayah. Saya harus merenung lama sehingga saya menyimpulkan. Tidak ada seorang pun di sana yang lebih buruk dari saya” jawab si anak dengan tenang dan mantap.

“Mengapa demikian anakku? Tidak adakah orang yang curang di sana?” tanya ayahnya

“Ada ayah. Bahkan banyak. Tapi, hati saya kemudian berkata, mungkin esok lusa mereka akan mendapat taufik dan pertolongan Allah sehingga menjadi orang yang dikasihi. Sementara saya bisa jadi terhalang dari itu. Maka saya tetap lebih buruk. Bukankah baik dan buruk manusia dilihat di akhirnya?” jawab sang anak.

Terbersit senyum tipis di bibir ayahnya. Wajahnya lebih cerah mendengar jawaban sang anak yang sama sekali tidak dia kira. Anak belia ini telah memberi jawaban bukan dari pengetahuannya. Tapi benar benar hasil perenungannya.

Tapi kemudian sang ayah bertanya, “Bagaimana dengan anjing dan kucing kucing pasar? Apakah seharian engkau tidak menemukan mereka ?”

“Tentu saja saya melihat ayah. Anjing dan kucing berkeliaran di pasar”

“Lalu, bukankah mereka binatang? Lebih buruk dan rendah dari manusia. Dari kamu?” sergah sang ayah.

“Tidak ayah. Setelah saya pikirkan. Anjing dan kucing tidak mungkin masuk dalam neraka. Tapi saya, sangat mungkin masuk dalam neraka. Maka saya lebih buruk daripada mereka”.

Wallahu A’lam.

Alhamdu lillahi robbil ‘alamin

Kertanegara, Senin Legi, 25 Februari 2019 M / 20 Jumadil Akhir 1440 H

Wawan Setiawan

[1] Kabilah artinya kaum yang berasal dari satu ayah, dalam terjemah umum diartikan dengan bangsa.

[2] Syaikh Nawawi Banten, Maulid Ibriz, hlm. 5-6

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *