Kisah tentang Wara’ (kehati-hatian) terhadapam Makanan dan dampaknya
Bismillahir rahmaanir rahiim
Dalam ilmu fikih dasar, misalnya dalam kitab Mabadiul Fiqhiyah Jilid 1, menyebutkan Adzkaarul Wudlu. Adzkaarul wudlu maksudnya dzikir / do’a yang dibaca di setiap basuhan dan usapan. Ketika membasuh telapak tangan ada dzikirnya, ketika membasuh wajah ada dzikirnya dan seterusnya.
Ketika membasuh telinga, kita anjurkan untuk membaca do’a :
أَللّهُمَّ اجْعَلْنِيْ مِمَّنْ يَّسْتَمِعُوْنَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُوْنَ أَحْسَنَه
“Ya Allah, jadikanlah hamba termasuk golonga orang yang suka mendengarkan ucapan kebaikan dan mudahkanlah hamba untuk dapat mengikuti ucapan itu”.
Memang yang diharapkan dari orang yang berwudlu adalah ia menjadi senang berbuat baik dengan seluruh anggota badan yang dipakainya untuk berwudlu. Tangannya ringan untuk berbuat baik, matanya ringan ketika membaca AlQur’an dan sebagainya. Inilah yang dinamakan atsarul wudlu, bekasnya wudlu yang tampak dalam akhlak kehidupan.
Tapi seringkali kita merasakan, kita mudah lupa ketika mendengar kebaikan, dan mudah lalai dalam menjalani kebaikan. Tidak kuat untuk istiqomah. Hal ini pun pernah dialami oleh seorang wali agung, Syaikh Abu Yazid Al Busthami.
Abu Yazid Al-Busthami dikenal sebagai seorang waliyullah (kekasih Allah). Ia dianugerahi ketaatan sejak kecil. Ia pun orang yang sangat gemar berbuat kebajikan. Tapi ketika ia mulai menekuni ilmu dan istiqamah, ia merasa mudah lupa, mudah lalai dalam suatu kebaikan. Akhirnya beliau bertanya keoada sang Ibunda.
“Ibu, aku mudah lupa pada suatu ilmu dan mudah lalai dalam suatu kebaikan. Apakah ibu pernah memakan suatu yang haram ketika mengandung atau menyusuiku?” tanya Abu Yazid
“Tidak anakku ! Ibu sangat menjauhi perkara yang haram” jawab ibundanya
“Atau syubhat barangkali?” tanya Abu Yazid yang ingin mencari solusi dari persoalannya. Mengapa demikian kuat ia menginginkan istiqomah tapi sulit untuk dicapai. “Apakah ibu pernah memakan sesuatu yang tidak jelas halalnya?”
Setelah sang ibu merenung, akhirnya beliau bercerita, “Ketika aku mengandung dirimu. Aku datang di rumah si fulan. Di meja tamu disajikan makanan dan kue. Aku melihat keju dalam sajian itu dan aku sangan menginginkannya. Maka aku pun mengambilnya sedikit tanpa sepengetahuan pemiliknya”
Mendengar kisah ibunya, Abu Yazid pun berpamitan menuju rumah yang dimaksud. Ketika sampai di sana Abu Yazid berkata, “Wahai bapak, ibuku pernah datang ke rumahmu dan memakan keju tanpa sepengetahuanmu. Sekarang aku mohon engkau memaafkannya atau menetapkan harganya untuk aku bayar”.
Pemilik keju itu berkata, “Aku memaafkan ibumu, bahkan tidak menganggap itu suatu kesalahannya”
Abu Yazid, “Aku ingin engkau menghalalkan dan mengikhlaskannya”
“Aku telah menghalalkannya”
Sejak saat itu, Abu Yazid tak pernah lupa bila mendengar suatu kebaikan dan tidak mudah lalai dalam menjalaninya.
Memang makanan yang haram berdampak melemahkan kekuatan untuk berbuat kebaikan, apalagi untuk istiqamah dalam kebaikan itu. Orang yang sudah terbiasa melakukan kebaikan pun bisa tiba tiba menjadi berat untuk melakukannya gara gara makanan tidak halal. Meskipun ia memakannya secara tidak sengaja.
Suatu malam 3 orang habib berkumpul setelah melakukan kegiatan/ pengajian. Kemudian disediakan makanan berupa sate yang dibeli di suatu tempat. Mereka bertiga makan bersama dan menyelesaikan pertemuan itu lalu pulang ke rumah masing-masing.
Soal tidur lewat larut malam, itu sudah biasa bagi para da’I (pendakwah), ulama, Kiai. Tapi tidur yang larut malam bahkan menjelang pagi itu tidak menghalangi para beliau untuk shalat malam dan shalat shubuh pada waktunya. Mereka telah sangat terbiasa dengan tidur yang sebentar. Hal itu sama sekali tidak memberatkan karena memang demikianlah kesehariannya.
3 Habib ini adalah figur yang sangat tekun bukan hanya dalam mendidik umat, tapi mendidik diri mereka sendiri. Memperbanyak shalat sunnah, terutama shalat malam. Memperbanyak dzikir dan shalawat adalah amaliah mereka yang dipegang teguh bak pusaka dari para guru. Apalagi yang namanya ibadah fardlu, dan terutamanya shalat, sangatlah mereka jaga. Karena shalat dikatakan waktunya “menghadap” Allah ta’ala.
Tapi shubuh kali ini sang Habib terkejut, karena ia bangun kesiangan. Shubuhnya kelewat. Ia beristighfar banyak banyak dan segera mengambil air wudlu untuk shalat. Dalam penyesalannya ia merenung mengapa ia sampai “bisa kesiangan”, padahal sudah pasang alarm dan sebelumnya (tanpa alarm sekalipun) tidak pernah beliau sampai kesiangan seperti kali ini.
Maka beliau pun menelpon 2 orang kawan yang bersamanya semalam untuk curhat. Tidak dinyana, ternyata 2 habib yang semalam bersamanya pun shubuhnya kesiangan. Maka mereka kemudian menelisik apakah sebabnya. Hingga mereka menemukan bahwa sate yang mereka makan ternyata bukan dari binatang yang halal dimakan.
Wallahu A’lam.
Alhamdu lillahi robbil ‘alamin
Kertanegara, Senin Legi, 25 Februari 2019 M / 20 Jumadil Akhir 1440 H
Wawan Setiawan