Sesuap Makanan yang Menyelamatkan

3 min read

Kisah tentang Keajaiban bersedekah Sesuap Makanan

Bismillaahir rahmaanir rahiim

Matahari sudah terik. Mungkin waktu dhuhur akan masuk beberapa saat lagi. Petani wanita itu beristirahat di bawah pohon rindang di sisi sawahnya yang kecil. Hanya sepetak sawah untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Hari ini suaminya tidak ke sawah. Maka ia berangkat sendiri membawa bekal, sebungkus nasi dengan lauk seadanya. Tubuh yang lelah, perut yang lapar, membuat lauk pauk tidak terlalu penting. Yang pokok dalam urusan makan adalah rasa lapar. Jika lapar sudah mendera, apa pun bisa dimakan.

Maka dia pun heran, ketika ia diajak keluarganya ke kota Bandung. Ia diberitahu restoran yang harga makanannya sangat mahal. Mungkin sekali makan di situ, bisa untuk makan sebulan orang orang miskin sepertinya. Entah apa yang membuat makanan di sana begitu mahal. Orang-orang bilang “sensasi” nya.

Bagaimana tidak? Restorannya dikelilingi hamparan teh yeng hijau. Ada kolam kolam dengan ikan warna warni. Meja meja makan lesehan yang dibuat sedemikian rupa di atas kolam kolam itu. Belum desain dan pernak pernik yang membuat orang yang makan di sana merasakan suasana yang tidak bisa diungkapkan.

Maka bagi orang orang kaya, tentu uang bukan masalah. Entah lapar atau tidak, bukan hal yang paling pokok. Karena hidup butuh hiburan. Jiwa yang terhibur dan bahagia pantas untuk dibayar dengan mahal.  Sedangkan petani miskin seperti dia, tidak bisa mengerti “hiburan” semacam itu. Masak rang makan yang dicari hiburannya. Orang makan yang dicari ya kenyangnya. Sebaliknya, orang-orang kota pun pasti banyak yang tidak mengerti “hiburan” apa yang membuat petani wanita miskin ini bisa tersenyum memandangi hijau padi dan makanan sederhana yang akan dilahapnya.

“Bismillah” wanita itu siap menyuapkan makanan ke mulutnya, sebelum suara serak dan tua menghentikannya.

“Neng”

Petani itu menengok. Pantas saja dia yang sudah punya anak dua dipanggil “Neng”, bapak ini sudah sangat tua rupanya. Tapi petani wanita itu tetap diam. Mungkin karena terkejut, hingga ia lupa membalas membalas sapaan kakek itu.

“Bapak sangat lapar. Boleh bapak minta nasinya?”.

Wajah petani wanita itu tampak berubah. Hatinya mengeluh. Ini nasi cuma sebungkus. Perut sendiri sangat lapar. Pekerjaannya belum selesai. Bagaimana dia bisa bekerja dengan perut lapar seperti itu. Mungkin pukul dua dia baru bisa pulang. Itu pun tak bisa diharapkan ada makanan di rumah. Sekarang musim paceklik. Bulir bulir padi di sawahnya masih bayi bayi hijau. Persediaan di rumah menipis. Maka menghemat adalah pilihan satu satunya.

“Nih pak. Bapak makan saja” entah malaikat apa yang menutupi otaknya. Tidak ada pikiran lain yang leluas bergerak kecuali terbentur matanya yang memandang kakek tua itu. Sepertinya keadaan kakek itu lebih parah dari keadaannya. Bagaimanapun dia masih punya rumah dan keluarga di rumah untuk berbagi sepiring nasi bersama. Bapak itu kelihatan kasihan sekali.

“Terima kasih Neng”. Ternyata bapak itu pergi. Tidak makan di situ. Petani wanita itu segera turun lagi ke sawah. Adzan dhuhur sudah berlalu. Dia akan shalat di akhir waktu. Dia harus melanjutkan pekerjaan menyiangi rumput rumput yang tumbuh di sekitar tanaman padinya. Ia ingin hasil panennya maksimal.

Beberapa waktu berlalu. Waktu panen pun tiba. Suami isteri itu bekerja di sawah mereka. Anak yang pertama sudah pergi ke sekolah. Anak kedua yang masih bayi harus dibawa ke sawah. Maka sang ibu membaringkan bayinya di bawah pohon. Bayak pohon yang rindang karena sawahnya berada di pinggiran hutan. Sang ibu meninabobokannya dan meninggalkan bayi kecilnya itu dibuai angin sepoi. Kemudian ia kembali ke sawah membantu suaminya.

Disebabkan kesibukan dalam pekerjaannya, suami isteri itu tidak mengetahui bahwa seekor srigala sedang berjalan menuju bayinya. Penciuman yang tajam membuat ia mengenal kemana ia akan mendapatkan makanan segar. Ayah dan ibunya baru selesai menumpuk padi padi yang baru saja dipotong dengan sabit. Mereka berdua menyiapkan “gebot” (Alat untuk menghempaskan tanaman padi, agar bulir padi rontok) sementara serigala itu semakin dekat pada bayinya.

Manusia diberi Allah insting hingga seringkali mengetahui bahaya yang akan mendatanginya. Apalagi bayi yang masih suci. Alam bawah sadarnya masih sangat kuat. Maka menangislah ia dengan kencang ketika jarak serigala itu tinggal beberapa langkah saja. Kedua orang tuanya terlonjak dan serentak berlari menuju bayinya. Sayang, mereka terlambat, serigala itu sudah sangat dekat.

Ayah ibu itu tak mampu berteriak ketika serigala itu hampir mengoyak anak bungsunya. Untung tak dapat diraih malang tak dapat ditolak. Tidak ada yang terjadi kecuali hanya dengan kehendak Allah semata. Dari arah yang tidak terlihat oleh keduanya, muncul lelaki yang tangkas dan cekatan menubruk serigala dan dengan sengit bergumul dengan serigala itu. Dengan cepat pula sang ayah mengambil bayinya yang masih menangis.

Dengan pertarungan yang cukup lama akhirnya serigala itu dipukul roboh ke tanah.  Dengan tertatih tatih  serigala masuk lagi ke dalam hutan. Lelaki perkasa itu membiarkannya. Kemudian ia menengok ke arah suami isteri itu seraya berkata, “Sesuap makanan yang kau berikan kepada fakir yang mengemis adalah sebagai ganti dari sesuap makanan untuk serigala ini”

Dalam takut dan takjub sepasang suami iseri itu melihat orang asing tersebut telah lenyap menghilang di antara rimbunnya hutan.

Hikmah : Perbuatan baik apa saja, walau seberat biji sawi, pasti mendapat balasan dari Tuhan. Dan terserah Tuhan akan membalas dengan cara apa.

Wallahu A’lam.

Alhamdu lillahi robbil ‘alamin

Kertanegara, Sabtu Wage, 23 Februari 2019 M / 18 Jumadil Akhir 1440 H (Repost)

Wawan Setiawan

Sumber (Ide) Cerita : Buku Syaikh Muzaffer Ozak Al Jerrah.

Baca juga kisah keajaiban sedekah lainnya di : https://www.mqnaswa.id/peziarah-haji-dan-ular-yang-kehausan/

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *