Sohibul WC

4 min read

Kisah tentang seorang murid kinasih yang mendapat julukan sohibul WC

Bismillaahir rahmaanir rahiim

Pagi ini riuh rendah suara seluruh siswa Madrasah Aliyah berbaur dalam koor tawa dan tepuk tangan. Suara guru kesiswaan terdengar lantang, “Setelah penghargaan siswa ter-rajin, ter-pandai, ter-rapih dan ter ter lainnya, kini kita sampai pada “penghargaan” terakhir yaitu kategori “Siswa termalas”. Selalu terlambat hadir di sekolah, setiap pagi selalu dapat bonus hukuman membersihkan WC, sehingga kita memberinya gelar “Sohibul WC” alias “Pemilik WC”. Agar di masa depan bisa memperbaiki dan agar tidak dicontoh oleh siswa yang lainnya, kepadanya silahkan tampil ke depan untuk mendapatkan kenang-kenangan berupa sikat WC . . . .!”

Tepuk tangan, tawa, cemooh, atau sedikit pujian bercampur jadi satu. Mengiringi langkah murid itu ke tengah lapangan. Mukanya sedikit menunduk, tapi jalannya seperti orang yang menang perang, bukan seperti pesakitan. Sekilas tatapannya diarahkan kepada seorang guru BK sekaligus Kiai menempati tempat istimewa di hatinya.

Beliau adalah Guru yang jadi tempat mengadu setiap persoalan siswa. Tempat para guru meminta pertimbangan dan menjadi rujukan dalam keputusan keputusan. Tidak ada satu pun civitas akademika di Madrasah itu yang tidak menghormati beliau. Ilmunya luas, tuturnya santun, kalimat nya berbobot, setiap kata yang keluar, wujud dari kepribadiannya yang mantap. Setiap yang goyah bersandar padanya, setiap yang kebingungan bertanya, setiap yang putus asa meminta di do’akan. Guru yang istimewa. Menatap sang murid dengan tatapan yang tidak bisa diterka. Tapi matanya berkaca-kaca.

Akhirnya acara siswa terakhir sebelum acara perpisahan umum itu selesai. Madrasah ini biasanya menyelenggarakan perpisahan internal antara guru, siswa dan kelas XII sebagai kelas terakhir yang berisi kesan, pesan, nasihat dan sebagainya dan malamnya acara untuk umum yang mengundang wali murid dan masyarakat. Acara yang paling akhir di siang itu adalah mushafahah, bersalaman.

Setiap murid bersalaman dengan guru, dengan teman sebangku dengan teman sekelas. Gembira, sedih, cita-cita, janji dan tentu do’a berhamburan. Tentunya permitaan do’a yang paling banyak adalah ketika menyalami guru-guru yang membimbing mereka tiga tahun lamanya. Seperti sudah kebiasaan atau sudah merasuk dalam urat syaratnya, siswa yang dilabeli sebagai “termalas” itu mengambil bagian akhir dari barisan yang akan menyalami para guru.

Tapi, tidak dinyana, tidak ada yang menduga dan membuat seisi lapangan jadi iri melihatnya. Pak Kiai, sang Guru BK itu menyalaminya, murid terakhir ini dengan pelukan yang lama dan air mata. Sang murid hanya terdiam, hatinya berteriak “amiin amiin amiin” tiada henti dalam gemuruh detak jantungnya, mengiringi hujan do’a dari Kiai idolanya.

Semula lapangan sekolah itu riuh rendah sejenak terdiam, menyaksikan adegan yang belum pernah mereka liat 1000 hari lebih selama mereka sekolah. Sampai guru itu melepas pelukannya, matanya masih basah, senyumnya merekah, bibirnya berkata, “Semoga engkau selalu dalam kebaikan anakku”.

Murid itu kembali mencium tangan Gurunya yang kemudian melangkah kembali ke kantor bersama guru lainnya. Dalam iringan tanda tanya seluruh sekolah. Seluruh siswa dan tak kurang para guru juga. Kenapa murid ini dapat momen yang begitu istimewa.

Biasanya guru hanya menyalami dan menepuk pundak atau mengusap kepala. Kecuali murid itu sudah sangat dekat, seperti anak pesantren yang bertahun-tahun tinggal dengan Kiainya. Atau seorang murid yang memang istimewa di hatinya. Tapi, Kenapa dia ? murid yang punya label di dadanya selama 2 tahun sebagai “murid ter malas” dan “Sang Pemilik Toilet” dapat do’a istimewa dari orang istimewa? banyak spekulasi, banyak tanda tanya.

Beberapa bulan sebelumnya . . .

Guru Bimbingan Konseling Madrasah Aliyah itu duduk dengan tenang di bangku nya. Ketenangan yang dalam. Khas Kiai yang ilmunya “nyegara” (seluas lautan). Tidak gampang marah, tidak gampang memvonis, bahkan kalau kita masuk ke relung jiwanya, saya yakin tidak kita temukan buruk sangka di dalamnya. Tapi, beliau tidak habis pikir terhadap murid yang duduk didepannya ini. Murid yang baik, sopan, nurut. Hanya saja, satu penyakit abadinya selama 2 tahun 6 bulan ini.

Dia adalah siswa yang selalu terlambat masuk sekolah. Selalu benar benar selalu. Hanya satu semester saja di kelas 10 dia tepat waktu, setelah itu kebiasaan terlambatnya bertahan hingga kelas 12.

Pantas saja jika seluruh siswa, guru, TU, bahkan -mungkin- jin jin yang ada di Madrasah itu memberinya label, Pemalas, Sibasi (Si Bangun Kesiangan), Shahibul Mirhadl dan Master of WC, karena hukuman bagi siswa terlambat adalah membersihkan WC.

Itulah Labelling. Labelling artinya pemberian label/ julukan kepada seseorang berdasarkan tangkapan dan pemahaman kita pada orang itu. Labelling adakalanya berdasar fakta, adakalanya berdasar prasangka. Misalnya kasus siswa yang suka terlambat itu. Memang kenyataanya dia selalu terlambat dan selalu dihukum bersihkan WC. Jadi memang nyata, tapi seringkali yang nyata ini pun mengandung rahasia. Ini ilmu para kiai.

“Nang (nak, panggilan untuk anak laki2 dalam bahasa Indramayu), seluruh anak kelas 12 sudah bapak panggil, untuk bapak ajak bicara mengenai rencana mereka setelah lulus madrasah Aliyah ini. Kamu yang terakhir”

Pak Guru sejenak diam, melihat respon muridnya. Muridnya tetap diam. Kiai memang Kiai, ketika bicara, menyejukkan hati, siapa pun lawan bicaranya tetap bisa mengimbangi. Beliau tidak mendikte tapi menghargai muridnya dan apapun gerak pemikiran dan pembicaraanya. Hingga murid merasa senang berbincang dengannya. Terlibatlah mereka berdua dalam obrolan yang panjang, urusan keseharian, keluarga dan masalah sehari-hari atau harapan di masa depan. Benar-benar figur guru.

“Bapak sudah lebih mengenal kamu sekarang. Bapak do’akan semoga cita citamu berhasil”. Semilir angin dari kipas amgin kantor turut meng amini do’a yang tulus ini.


“Tapi, ada yang bapak belum pahami dari kamu, sampai saat ini. Bapak mengenal kamu sejak kelas 10, tapi sampai kita bicara demikian lama, bapak belum ngerti, kenapa kamu itu terlambat setiap hari”. Semua warga sekolah sepakat memberimu predikat “Sohibul WC”, sang pemilik WC.

Sebelum perpisahan, semua siswa berprestasi akan dipanggil di lapangan upacara. Dan kamu pun akan dipanggil dengan predikat itu. Bapak tidak setuju, tapi yang lain sepakat. Ini tidak untuk merendahkan, tapi untuk pelajaran siswa yang lain. Toh forumnya juga hanya siswa dan guru saja. Setiap bapak tanya. Kamu hanya bilang, “maaf saya bangun kurang pagi”. Tapi dari ceritamu tadi, kamu selalu bangun sebelum shubuh. Sebelum kamu lulus apa kamu tidak ingin bicara pada bapak?

Sejenak ruang itu senyap. Lalu “Pak, saya cerita hanya pada bapak, mohon bapak tidak menceritakan pada siapa pun, saya bangun sebelum shubuh, tapi saya merasa kurang pagi. Para ulama tahajjud sejak jam 2 atau 3 pagi. Jadi saya tidak bohong pada bapak. Setelah satu semester di sini, saya menyadari, ada satu tempat yang kurang diperhatikan. Kamar mandi dan WC kita kotor serta bau.

Siswa di sini 200 an, semuanya butuh bersuci sebelum shalat dhuhur. Tapi piket WC tidak berjalan baik. Saya sengaja terlambat 10 menit setiap hari agar saya dihukum membersihkan toilet. Kalau tanpa hukuman, saya mungkin juga malas dan tidak mau sukarela membersihkan bekas najis orang lain, kalaupun saya mampu kerjakan, saya yakin tidak akan mampu menahan keinginan untuk dipuji teman dan guru-guru”

“20 menit sebelum masuk kelas kan selalu ada baca qur’an dan kultum siswa di lapangan. Saya tetap bisa mengikuti mendengarkan, dan saya pun tidak tertinggal masuk kelas. Biar saja, di sekolah ini saya dapat predikat Sang Pemilik WC. Paling tidak ada yang dikenang dari warga sekolah untuk saya”

Pak Guru masih tetap termenung, muridnya sudah pergi 10 menit yang lalu ia berkata :
“Semoga kamu selalu dalam kebaikan anakku, sangat banyak murid yang “bersedia” menyandang predikat terpandai dan terbaik. Tapi tidak banyak yang bersedia “menjadi pelayan” untuk orang lain. Dan langka yang mampu menahan rahasianya sampai begitu lama” bibir pak Guru melantunkan do’a yang langsung diamini malaikat.

Wallahu A’lam.

Alhamdu lillahi robbil ‘alamin

Kertanegara, Sabtu Pahing, 16 Februari 2019 M / 11 Jumadil Akhir 1440 H (Repost)

Wawan Setiawan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *