Terjemah Kitab Punika Hadits Ghaithi (Pengajian ke-2)

3 min read

Terjemah Kitab Punika Hadits Ghaithi

Terjemah Kitab Punika Hadits Ghaithi (Pengajian ke-2)

 

Bismillahirrahmanirrahim

Pemahaman Pertama :

Simbah Kyai Sholeh Darat, memulai dengan satu persoalan keimanan yang paling dasar dalam kisah ini, yakni bahwa Kanjeng Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaih Wasallam menjalani Isra wal Mi’raj ini bukan mimpi, melainkan beliau diberangkatkan oleh Allah, secara “utuh” (jasad dan ruhnya).

Kesimpulan ini berdasar pada 2 argumentasi :

  1. Naqliyah (berdasarkan pemahaman terhadap nash)

Nash al-Qur’an yang mengabarkan Isra’ wal Mi’raj, menunjukkan makna tersebut (Kanjeng Nabi menjalaninya dengan jasad beserta ruhnya, bukan mimpi). Nash tentang Isra :

سُبْحٰنَ الَّذِيْ أَسْرٰى بِعَبْدِهٖ لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ اْلأَقْصَى الَّذِيْ بَارَكْنَا حَوْلَهٗ لِنُرِيَهٗ مِنْ اٰيَاتِنَا إِنَّهٗ هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ

“Maha Suci Allah, yang telah “meng-isra-kan / memperjalankan” hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”.

–              Secara dhohir ayat tersebut maknanya, Allah “meng-isra-kan hamba-Nya”, yakni Kanjeng Nabi. Memalingkan maknanya menjadi “Maha Suci Allah yang telah memberi hambaNya mimpi melakukan isra”, adalah takwil yang tidak benar.

–              Lafadz Subhaana (Maha Suci Allah) digunakan untuk perkara yang tidak terjangkau akal, yang agung dan  menunjukkan kemahadahsyatan Allah ta’ala, tidak tepat jika untuk “mimpi”.

–              Lafadz ‘abdihi (hamba-Nya), bermakna seorang hamba secara utuh, jasad dan ruhnya.

–              Penggalan ayat  linuriyahuu min aayaatinaa  (agar Kami perlihatkan kepadanya tanda-tanda kekuasaan/ kebesaran/ kedahsyatan Kami yang sangat banyak), menunjukkan bahwa, Nabi melihat langsung, karena melihat dalam mimpi tentu tidak termasuk “aayat / tanda kebesaran” Allah ta’ala.

–              Demikian juga ayat-ayat tentang mi’raj. Semuanya menunjukkan makna hakiki (Nabi mengalami langsung, bukan mimpi).

Menghubungkan dua hal :

Demikian pendapat yang disepakati para ulama. Yakni, Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam Isra wal Mi’raj dengan ruh dan jasadnya. Tapi tidak menutup kemungkinan, bahwa sebelumnya, Nabi telah berkali kali mengalami mi’raj (melihat fenomana alam malakut) dengan ruh saja atau di dalam mimpi beliau, hal ini tidak mustahil.

Imam Qusyairi, dari gurunya, Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan bahwa Nabi setiap waktu bermi’raj dengan sirr (bathin) beliau, melihat berbagai fenomena alam malakut. Sehingga ketika pulang Isra Mi’raj, Nabi tidak mengalami “perubahan” pada wajah dan batin beliau. Berbeda dengan Nabi Musa ‘alaihis Salam, ketika pulang dari bukit Thursina “bertemu” Allah ta’ala, beliau menggunakan penutup wajah dan jiwa beliau masih sangat terpengaruh terhadap peristiwa yang baru saja beliau alami.

Hal ini seperti dikisahkan dalam Al-Qur’an, ketika Nabi Yusuf ‘alaihis salam keluar (menampakkan wajah beliau), maka para wanita “terguncang” dan mengiris tangannya tanpa sadar.

Tapi, mengapa isteri pembesar mesir yang menjadi majikan Nabi Yusuf tidak mengalami guncangan sebagaimana wanita tersebut ? Karena ia telah terbiasa melihat “Cahaya” Nabi Yusuf, sedangkan para wanita itu baru pertama kali melihatnya.

  1. ‘Aqliyah (berdasarkan logika memahami rangkaian peristiwa)

Diantaranya :

–              Dalam kisah ini, Rasulullah mengendarai Buroq, tentu saja Buroq ini membawa jasad. Ruh tidak membutuhkan buroq. Dikuatkan lagi dengan kisah, bahwa buroq yang membawa Nabi itu, telah merindukan Nabi sejak lama sekali (40.000 tahun), hingga ia merana. Kemudian Allah mewujudkan harapannya bertemu dan menjadi kendaraan untuk Nabi. Maka tidak mungkin jika Buroq ini “dikirim ke dalam mimpi Nabi”.

–              Setelah peristiwa Isra Mi’raj ini, musyirikin Makkah semakin keras mengingkari Nabi, bahkan orang-orang yang lemah imannya menjadi murtad (keluar dari Islam).

Tidak mungkin mereka sampai ingkar dan murtad jika Nabi berkisah “semalam saya bermimpi melakukan isra mi’raj”. Itu terjadi karena Nabi berkisah Isra Mi’raj ruh dan jasadnya, yang bagi mereka hal itu adalah mustahil dan suatu kebohongan. Sedangkan bagi orang-orang yang imannya kuat, hal tersebut tidak mustahil bagi Allah ta’ala.

Pemahaman Kedua :

Dalam Isra wal Mi’raj Allah mengistimewakan Kanjeng Nabi Muhammad shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan memberi beliau kedudukan tertinggi, termulia, yang tidak diberikan kepada – siapapun – selain beliau.

Pada peristiwa ini, Allah menyebut Kanjeng Nabi dengan lafadz “bi’abdihi” yang maksudnya “Allah menyertai hambaNya (Nabi Muhammad) dengan pemeliharaan dan pertolongan-Nya, sehingga ia sanggup melaksanakan isra mi’raj dan sampai di maqom (kedudukan paling tinggi) tersebut.

Hal ini berbeda dengan “kebiasaan” Allah dalam memanggil Nabi Muhammad di dalam Al-Qur’an. Para nabi yang lainnya, dipanggil oleh Allah langsung “namanya”. Sedangkan untuk kanjeng Nabi, Allah memanggil dengan menyebut “pangkatnya, yakni, “Yaa ayyuhan Nabi” dan “yaa ayyuhar Rasuul”. Tetapi dalam kisah ini, Nabi Muhammad dipanggil dengan “sifatnya”, yakni “hamba-Nya”.

Mengapa demikian ?

  1. Karena sifat peng-hamba-an (‘ubudiyah) adalah sifat yang paling tinggi dan mulia. Rasulullah adalah gambaran seorang yang mengabdi (menghamba) kepada Allah, dengan sebenar-benarnya.
  2. Kenabian dan Kerasulan tidak bisa dicontoh oleh umat. Sifat ke-hamba-an lah yang bisa diikuti oleh umat beliau agar menjadi umat yang terbaik.

Sifat penghambaan ini tercermin sempurna dalam ibadah shalat (oleh – oleh Isra Mi’raj) :

–              Dalam gerakannya (terutama sujud), shalat menunjukkan sifat meng-hamba/ merendah dengan sebenar-benarnya.

–              Dalam bacaannya, merangkum semua bacaan yang selayaknya diucapkan seorang hamba di hadapan tuannya, yakni Allah ta’ala berupa : al-Qur’an (dhawuh Allah), tasbih (mensucikan Allah), tahmid (memuji Allah) takbir (mengagungkan Allah), tahlil (meng-esa-kan Allah), isitghfar (mohon ampunan Allah), Shalawat (memohon rahmat Allah), dan do’a (meminta-minta kepada Allah).

 

Dari gerakan dan bacaan yang demikian (jika difahami dan dihayati maknanya sebagaimana diajarkan Kyai Sholeh Darat pada kitab lathoifuth thoharoh wa asrorush sholah), diharapkan meresap ke dalam hati, menggerakan seluruh anggota badan untuk ber-ubudiyah (senantiasa dalam maqom penghambaan kepada Allah) dalam semua perbuatannya sebagai dicontohkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Dengan begitu akan Allah mengangkat umat beliau dalam derajat yang tinggi, sebagaimana Allah telah mengangkat derajat Kanjeng Nabi pada derajat yang paling tinggi.

Pemahaman Ketiga :

Dari pemaparan di atas, kita dapat memahami, bahwa mengaji tentang peristiwa Isra Mi’raj ini harus terimplementasi dalam 3 aspek :

  1. Iman / Aqidah, yakni meyakini terjadinya Isra Mi’raj (jasad dan ruh, dalam keadaan sadar, dan berbagai peristiwa di dalamnya, meskipun tidak terjangkau oleh akal kita)
  2. Islam/ Syari’ah, yakni mendirikan shalat (5 waktu ), sebagai bukti keimanan dalam wujud perbuatan
  3. Ihsan/ akhlak, yakni sifat penghambaan (dalam shalat dan semua aktifitas) sebagai ruh peristiwa Isra Mi’raj.

Wallahu A’lam. Alhamdulillaahi robbil ‘aalamin

Ahad Pagi, 30 Januari 2022 M / 26 Jumadil Akhir 1443 H

Wawan St,

 

Mengenai doa menyambut bulan suci Ramadlan baca di : https://islam.nu.or.id/ramadhan/doa-menyambut-bulan-suci-ramadhan-azZRy

Baca juga : https://www.mqnaswa.id/terjemah-kitab-punika-hadits-ghaithi-pengajian-ke-1/

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *