Tetap Beramal meski Belum Ikhlas (Masih Riya)

3 min read

Pengajian Kitab Tanbihul Ghafilin Bagian Kesebelas tentang anjuran terus beramal meskipun belum bisa ikhlas (masih riya)

Bismillaahirrahmaanirrahmiim

Berkata Al-Faqih Rahimahullah : Aku mendapat cerita dari orang yang terpercaya dengan sanad yang sampai kepada sahabat Jaballah Al-Yahshubi, beliau berkata : “Suatu ketika kami berada dalam barisan peperangan bersama khalifah ‘Abdul Malik bin Marwan, datangah seorang lelaki yang jarang sekali tidur malam, kecuali sebentar saja. Dia tinggal bersama kami selama beberapa waktu, tapi kami belum mengenal siapa sebenarnya lelaki itu. Ketika kami mengenalnya, ternyata ia adalah salah seorang sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Salah satu cerita yang kami dengar dari beliau adalah : “Ada salah seorang dari muslimin berkata : “Ya Rasulallah, hal apakah yang kelak menyelamatkan kami?”

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi  Wasallam bersabda, “Hendaknya kamu tidak menipu Allah?”

Ia bertanya lagi, “Bagaimana kami bisa menipu Allah?”

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi  Wasallam bersabda, “Engkau melakukan sesuatu yang diperintahkan Allah, tapi yang kau inginkan adalah bukan keridloan/ senangnya Allah. Takutlah kamu akan sifat riya, sesungguhnya riya itu syirik/ menyekutukan Allah”

Sesungguhnya orang yang riya akan dipanggil pada hari kiamat di hadapan seluruh manusia dengan 4 panggilan yang buruk, Yaa Kaafir ! (Hai Kafir), Yaa Faajir ! (Hai Pendosa), Yaa Ghaadir ! (Hai Pengkhianat), yaa Khaasir ! (Hai Orang yang Rugi), sungguh tersesat amalmu dan batal ganjaranmu. Tidak ada bagian ganjaran untukmu pada hari ini. Carilah balasan amal perbuatanmu kepada orang yang ingin kau dapatkan perhatiannya, wahai penipu !”

Berkata Jaballah Al-Yahshubi, “Demi Allah, yang tidak ada Tuhan kecuali hanya Dia. Apakah engkau benar mendengar hal ini dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?”

Laki laki itu berkata, “Demi Allah, yang tidak ada Tuhan kecuali hanya Dia. Aku mendengarnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali mungkin ada kesalahan ucapan dariku (tidak persis ucapan Rasul, hanya maksudnya sama). Kemudian laki laki itu membaca ayat yang artinya, “Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, (padahal sesungguhnya) Allah yang menipu mereka”. (QS. An-Nisa/4 : 142)

Berkata Al-Faqih Rahimahullah Ta’ala, “Barangsiapa yang ingin menemukan ganjaran amalnya di akhirat, hendaknya ia beramal dengan ikhlas karena Allah ta’ala, tanpa riya. Kemudian ia melupakan amalnya supaya sifat ujub (bangga dengan kebaikan dirinya) tidak membatalkan (pahala amalnya). Sesungguhnya dikatakan, “Menjaga ketaatan itu lebih berat daripada melakukannya”.

Berkata Syaikh Abu Bakar Al-Wasithi, “Menjaga ketaatan itu lebih berat daripada melakukannya”, karena sifat ketaatan itu seperti kaca yang mudah pecah, dan (jika sudah pecah) tidak bisa ditambal. Demikianlah amal. Jika ia tersentuh riya, riya akan memecahkan amal itu. Jika ia tersentuh ujub, ujub juga akan memecahkan amal itu.

“Jika seseorang ingin melakukan suatu amal dan takut terjatuh pada riya, jika dia mampu, maka ia sungguh sungguh berusaha untuk mengeluarkan riya dari dalam hatinya. Jika dia belum mampu, maka hendaknya ia tetap beramal. Jangan meninggalkan amal karena takut terjatuh dalam riya. (Tetaplah beramal) kemudian beristighfarlah (meminta ampun kepada Allah ta’ala) dari riya yang dilakukannya. Semoga saja Allah memberinya taufik untuk bisa ikhlas dalam amal amal yang lain”.

Dikatakan dalam sebuah ungkapan, “Sesungguhnya dunia ini rusak ketika orang-orang yang riya telah mati”. Maksud dari ungkapan itu adalah, karena mereka membuat amal amal kebajikan seperti membangun pondok pondok, gedung gedung dan masjid masjid yang bermanfaat untuk manusia, meskipun untuk riya (dilihat manusia). Tapi terkadang, ia akan mendapat pertolongan berkat do’a orang-orang yang mendapatkan manfaat dari amal amalnya itu”.

Hal itu sebagaimana diriwayatkan dari sebagian ulama terdahulu. Sesungguhnya sebagian dari mereka membangun sebuah rubath (pondok). Mereka berkata pada diri mereka sendiri, “Aku tidak tahu, apakah amalku ini benar benar karena Allah atau tidak”.

Maka dalam mimpnya ia didatangi oleh seseorang yang berkata, “Jika amalmu tidak karena Allah ta’ala, maka kaum muslimin yang mendapatkan manfaat dari amalmu akan mendoakanmu dengan ikhlas lillahi ta’ala. Maka gembiralah orang itu”.

Ada seorang laki laki yang mengucapkan, “Ya Allah, hancurkanlah orang-orang munafik !”. Ketika itu ia sedang bersama Hudzaifah Al-Yamani. Maka sahabat Hudzaifah menimpali, “Jika orang-orang munafik itu mati, maka kamu tidak bisa memerangi musuh musuhmu”. Maksudnya, orang orang munafik itu pun turut berperang mempertahankan Islam. Mereka pun memberi manfaat.

Diriwayatkan dari Sayidina Salman Al-Farisi radhiyallahu ta’ala ‘anhu, beliau berkata : “Allah menguatkan mukminin dengan kekuatan munafikin, dan Allah menolong munafikin dengan do’a mukminin”.

Berkata Al-Faqih Rahimahullah Ta’ala, “Para ulama sedang berbincang bincang tentang masalah fardlu (kewajiban), maka sebagian mereka berkata, “Riya tidak bisa masuk dalam amal amal fardlu, karena ia diwajibkan atas seluruh makhluk. Maka jika seseorang melakukan suatu amal fardlu, ia tidak bisa dikatakan riya (meskipun dalam hatinya ingin dilihat manusia)”. Sebagian yang lain berkata, “Riya bisa saja masuk kedalam setiap amal, baik fardlu maupun lainnya”.

(Menjelaskan hal tersebut di atas) berkata Al-Faqih Rahimahullah Ta’ala, “Menurutku, amal fardlu yang dicampuri riya itu ada dua macam. Pertama, orang itu melakukan amal fardlu karena riya (ingin dilihat oleh masyarakat), dan jika manusia tidak melihatnya, ia pun meninggalkan amal fardlu itu. Orang seperti inilah yang dinamakan munafik yang sebenarnya”

“Orang seperti inilah yang dimaksud dalam firman Allah ta’ala, “Sesungguhnya orang orang munafik itu berada dalam neraka paling bawah” (QS. An-Nisa/4 : 145) yakni dimasukkan ke dalam neraka Hawiyah bersama pengikut Fir’aun. Demikan itu sebab jika tauhidnya benar, tidak mungkin ia meninggalkan amal amal fardlu (hanya karena tidak dilihat manusia, karena bagaimana pun itu adalah kewajiban).

Kedua, seseorang yang beramal, jika dilihat oleh manusia orang itu melakukan amal fardlu dengan lebih baik dan lebih sempurna. Tapi jika manusia tidak melihat, ia melakukanya dengan asal asalan (penuh kekurangan). Maka baginya ganjaran dari amal yang penuh kekurangan itu (karena ikhlas tidak lihat manusia). Tapi ia tidak mendapatkan ganjaran untuk amalnnya yang sempurna (karena untuk riya), dan ia akan dihisab atas sifat riya nya itu.

Selesai Pengajian Tanbihul Ghafilin Bab Ikhlas. Insya Allah, dilanjutkan dengan Bab Kematian

Wallahu A’lam.

Alhamdu lillahi robbil ‘alamin

Catatan Pengajian PakNas di Musholla Ar-Raudlah MQ. Nasy’atul Wardiyah Bersama Ust. Hambali Ahmad

Kertanegara, Kamis Pahing, 21 Februari 2019 M / 16 Jumadil Akhir 1440 H 

Wawan Setiawan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *