Kisah Kehati hatian Ulama yang Diuji Raja : Wara’ (1)

1 min read

Wara’ nya ulama terhadap makanan

Bismillaahir rahmaanir rahmiim

Seorang Raja ingin mengetahui apakah masih ada manusia yang menduduki kedudukan tinggi dalam menjaga makanan. “Aku ingin tahu, apakah di kerajaanku ini masih ada orang yang bisa membedakan yang halal dan yang haram”.

Dalam disiplin ilmu tasawuf hal ini dinamakan Wara’. Wara’ artinya sikap hati hati, menjaga diri tidak terjerumus hal yang syubhat (tidak jelas halal haramnya). Orang yang wara’, jangankan hal yang jelas haram. Yang belum pasti haram, tapi tidak jelas halalnya, mereka tidak mau.

Raja itu kemudian mengadakan jamuan makan. Ia mengundang banyak orang. Dari kalangan pegawai, ulama, santri hingga masyarakat luas.

Dalam jamuan makan itu, ia menyiapkan makanan yang halal, dan sebagian lagi makanan haram. Ia pun membagi tempat jamuan menjadi dua. Satu kelompok untuk tempat duduk para pembantunya. Sedangkan satu kelompok untuk para tamu undangan.

Ketika seluruh tamu undangan telah hadir, raja menyuguhkan makanan. Ternyata makanan yang halal diletakkan di tempat para pegawainya, dan makanan yang halal ditempatkan di tempat para tamu undangan. Aroma masakan yang luar biasa, menggiurkan selera untuk segera melahapnya.

Tiba tiba seorang ulama yang juga diundang berdiri dan berkata, “Wahai raja, bolehkah aku meminta sesuatu”
“Tentu saja. Ini adalah jamuan untuk menghormatimu. Apa yang kau inginkan” Tanya raja.

Ulama itu kemudian meminta murid muridnya mengangkat makanan yang ada di depan mereka. Makanan itu dipindahkan ke tempat para pegawai sedangkan makanan yang ada di depan para pembantu raja diambil kemudian diletakkan di mejanya dan meja murid muridnya. Para tamu yang lain nampak heran, bahkan para pembantunya pun merasa heran.

Ketika sudah ditukar semua, ulama itu berkata, “Terima kasih. Inilah yang aku inginkan”
Raja bertanya, “Mengapa engkau melakukan itu”

“Tahukah tuan, Abu Yazid Al Busthami, jika melihat makanan yang syubhat, apalagi yang haram, bergetarlah salah satu uratnya. Sehingga dia tahu makanan itu haram. Sedangkan aku, bergetar urat nadiku ketika melihat makanan yang tuan sajikan. Maka aku meminta ditukar. Ketika ditukar, hatiku merasa tenang.

Tahulah raja bagaimana Allah menjaga hambaNya dari makanan yang syubhat dan haram. Tahulah raja, bahwa kedudukan orang seperti itu sangat tinggi dan khusus di sisi Allah Yang Maha Suci.

Saya teringat cerita seorang ustadz. Suatu ketika ia diajak oleh gurunya untuk makan di warung. Gurunya mengambil lauk tempe dan telur. Sedangkan dia mengambil irisan ayam goreng. Tiba tiba gurunya mengambil  ayam goreng yang diambil oleh muridnya dikembalikan ke tempat semula. Kemudian sang guru mengambilkan telur untuk muridnya.

Murid itu melihat ke arah gurunya. Meskipun tidak mengerti apa maksud gurunya melakukan itu, ia menganggukan kepala tanda taat dan tersenyum pada gurunya.

Selesai makan, sang guru meletakan tangannya menutupi mata si murid dan melepaskan, sambil mengusap wajah sang murid. Terkejutlah murid itu. Ternyata irisan ayam goreng yang hendak dimakan itu tampak seperti ayam busuk, bahkan berbelatung dan menjijikan.

 

Wallahu A’lam

Alhamdulillaahi robbil ‘alamin

Kertanegara, Wawan Setiawan

Kisah Abu Yazid yang lain dapat di baca di https://www.mqnaswa.id/secuil-keju-wara-2/ dan https://www.mqnaswa.id/menutupi-aib-1/

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *