Kisah tentang wasiat seorang ayah yang sangat aneh
Bismillahir rahmaanir rahiim
Seperti dirampas suara dari lidah mereka semua. Seluruh keluarga yang hadir di ruangan itu. Terdiam. Membisu. Apa yang baru saja mereka dengar membuat mereka bahkan berpikir pun tak mampu. Wasiat yang dituturkan dengan lengkap oleh ayah mereka seperti gelombang angin yang menghempas seluruh kekuatan lahir batin hingga jangankan berkata, membuka mulut pun tidak sanggup.
Bagaimana mungkin melakukan wasiat yang demikian mengerikan ?
Sang ayah adalah seorang muslim, dia bersyahadat, dia meyakini Allah, tapi sepengetahuan anak-anaknya, dia tidak pernah atau sangat jarang sekali menjalankan kewajiban agama. Jangankan puasa, shalat 5 waktu pun tidak dia kerjakan.
Para pendakwah agama sampai sampai ada yang mengatakan dia termasuk Islam KTP. Islam hanya di KTP saja, tapi tidak menunaikan rukun Islam. Setahu saya, rukun Islam ada 5. Yang pertama adalah syahadat. Berarti dia sudah menunaikan satu rukun Islam. Tapi kata banyak ustadz, percuma saja kalau tidak shalat. Karena dari semua amal manusia, yang pertama dilihat adalah shalat. Jika shalatnya bagus, maka amal yang lainnya bagus. Jika jelek, maka yang lainnya juga jelek.
Mungkin karena kepikiran kalimat “percuma”, atau karena stress menghadapi sakit yang lama. Kini ayah memanggil semua keluarga.
“Anak anakku, Aku ingin menyampaikan wasiat, yang harus kalian lakukan jika aku meninggal nanti” Sang Ayah berkata dengan pelan, tapi suaranya menusuk di setiap telinga anak anak dan keluarganya yang telah berkumpul.
Karena semua terdiam, maka sang Ayah berkata meminta kepastian, “Apakah kalian mau melakukan wasiat ayah ini”. Semua terdiam cukup lama, hingga anak yang paling tua berkata, “Tentu saja ayah, kami akan melaksanakannya. Tapi kami tetap berdo’a ayah sembuh seperti sedia kala”
Ayahnya tersenyum, “Terima kasih, tapi aku ingin kalian semua berjanji. Berjanji kepadaku, kalian akan melaksanakan wasiatku dan tidak akan bertanya apa pun padaku”
Anak sulung itu melihat adik adiknya, isteri dan adik adik iparnya. Agar ayah mereka tidak menunggu terlalu lama maka ia berkata, “Kami bersedia melakukannya”.
“Aku ingin kalian berjanji”
“Kami berjanji akan melakukannya”
Ayahnya sejenak menarik nafas berat, “Baiklah, jika aku mati nanti. Bakar mayatku dengan api pembakaran yang sangat panas hingga tubuhku benar benar hancur jadi debu. Setelah itu kumpulkan debu jenazahku, bawalah ke tengah lautan. Di sana, taburkan abu jenazahku ketika angin sedang bertiup kencang. Aku ingin benar benar hilang jejakku. Itulah wasiatku”
“Ayah. Itu tidak mungkin kami lakukan. Hal itu tidak dibenarkan dalam agama kita. Kita seorang muslim. Apa yang akan dikatakan orang pada anak anakmu?” Anak yang bungsu seketika menyangkal. Tidak menyangka wasiat sang ayah demikian mengerikan untuk dilakukan. Bagaimana mungkin mereka akan membakar ayah sendiri.
Jika dalam keyakinan umat agama lain, mungkin itu suatu kewajiban dan kemuliaan, tapi bagi dia yang muslim, tidak mungkin dilakukan. Membakar ayah adalah mengerikan meskipun itu adalah wasiat menjelang kematiannya.
Ayahnya menghela nafas sejenak dan berkata pendek, “Kalian telah berjanji padaku dan kalian pun telah sanggup untuk tidak bertanya”. Lalu ayah nya memejamkan mata. Seolah tak ingin terganggu dengan wajah wajah anak dan keluarganya yang kebingungan. Dan itulah pembicaraan terakhir mereka.
“Tidak mungkin” Kata si Bungsu. “Aku tidak mau melakukannya”. Berurai air mata ia berkata, terbata bata, sambil memandangi jenazah ayahnya.
“Kita sudah berjanji kepada ayah” kata putra yang sulung.
“Yang lain bagaimana? Jangan kalian diam saja. Jika kita akan berziarah padanya, kemana kita menuju?” Sang adik mengharap dapat pembelaan. Tapi yang lain tetap diam.
“Sudahlah adik, biarkan aku mengambil keputusan. Aku kira sulit untuk yang lainnya akan berpendapat. Jika kalian tidak mau. Aku yang akan mengurus jenazah ayah. Jika kalian mau. Ayo kita urus jenazah beliau dengan baik. Dengan penuh kecintaan kita kepadanya. Kecuali menguburkannya. Kita akan melakukan wasiatnya. Itu keputusanku”.
Akhirnya, semua keluarga mengurus jenazah itu sesuai dengan amanat yang ditinggalkannya. Dengan dada sesak, nafas dan air mata tertahan isak yang tak bisa mereka keluarkan karena rasa bingung dan duka yang mendalam. Kini abu jenazah ayah mereka telah hilang. Lenyap bersama hembusan angin dan gelombang lautan.
Akankah manusia lari dari Tuhan. Terkubur di dalam tanah lalu hancur dimakan cacing, atau menjadi debu di tengah samudera? Ternyata tidak. Keduanya sama saja bagi Tuhan. Tuhan tidak terhalang oleh jasad hancur terkubur atau yang hilang di telan angin.
Tuhan menggenggam ruh sang ayah itu dalam kekuasaanNya dan memerintahkan malaikat menghadapkannya. Berdiri di hadapanNya. Lalu ruh itu ditanya, “Apa yang membuatk kamu melakukan itu?”
Dengan gemetar, tertunduk ruh sang ayah menjawab, “Aku sangat takut bertemu denganMu. Aku begitu takut menghadapMu.”.
Lalu, Allah mengampuninya. Allah senang hamba ini begitu mengagungkanNya hingga sedemikian takut bertemu dan menghadap padaNya.
Hikmah :
- Tidak boleh kita berkata kepada mukmin yang tidak menjalankan syari’at, seperti shalat, puasa dan lain lain dengan kalimat, “Percuma”. Sama sekali tidak. Dia sudah beriman kepada Allah.
- Seringkali kita beribadah, seperti “masuk” dalam shalat, tidak dilandasi pengertian menghadap ke “hadiratNya”, maka kita tidak merasa takut sedikitpun. Bahkan setelah itu kita melakukan perkara – perkara yang dilarangNya.
Wallahu A’lam.
Alhamdu lillahi robbil ‘alamin
Kertanegara, Sabtu Wage, 23 Februari 2019 M / 18 Jumadil Akhir 1440 H (Repost)
Wawan Setiawan
Sumber (Ide) cerita : Kitab ‘Ushfuriyah